Kasus Kampung Pulo Jakarta, dampak pembiaran pemanfaatan
tanah negara secara ilegal
Pola pemilikan, penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah negara secara ilegal maupun banyaknya orang
mendirikan bangunan (khususnya rumah liar, kumuh, tidak layak huni) di tanah
ilegal, di tanah terlantar, di bantaran sungai, rel kereta api, di kolong
jembatan layang, menjadi menu resmi di depan mata penyelenggara pemerintah provinsi
DKI Jakarta.
Penjaringan dan penyaringan
pendatang baru seolah hanya dilakukan resmi setahun sekali, pasca pemudik
lebaran balik ke Jakarta. Padahal pintu masuk ke Jakarta bisa dari segala arah.
Bahkan pendatang ilegal dari manca negara bebas melenggang masuk. Di pihak
lain, rumah bisa dibeli/dimiliki oleh WNA. Bahkan pulau kecil bisa disewa beli
oleh investor asing.
Jakarta sebagai minatur Nusantara, buka 24 jam,
berbagai suku, agama, ras dan antar golongan kumpul bareng mencari nafkah, adu
nasib, adu nyali, berjibaku. Penduduk siang hari bisa berlipat dibanding
penduduk malam hari. Mental pendatang merasa bak raja, apalagi dengan modal
minimal ingin hasil optimal. Tak salah jika "dikei ati ngrogoh rempelo" menjadi
pedoman hidup.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar