Aroma irama kefasikan media massa di era SBY,
entah diperiode 2004-2009 atau 2009-2014, dimanfaatkan mentah-mentah oleh oknum
pengamat politik atau lembaga survei bayaran, amatiran, mencari sensasi, sesuai
pesanan, dengan ilmu hitung mundur. Acara, adegan maupun atraksi di media
penyiaran TV, host merasa cerdas dan sarat ilmu membuat pernyataan yang
sensasional sekaligus memberondong bintang tamu dengan pertanyaan standar, baku
dan dangkal. Tidak beda jauh dengan editorial dengan bintang tamu dari kandang
sendiri, sehingga kadar analitisnya beraliran menghujat sekaligus menjilat.
Bangga bisa mengunakan istilah ‘negara terjun bebas’, bangga mengungkapkan kata
‘negara autopilot’.
Aroma irama kefasikan media massa di era pasca
SBY, tepatnya periode 2014-2019, mencapai klimaks, titik nadir atau titik
kritis. Ahli fasik yang berhasil mendukung jagonya berhasil disumpah jadi
presiden/kepala negara, bukan tanpa pamrih. Berbagai skenario langsung beredar
dan jalan sesuai skenario dukungan, relawan dan politik balas jasa. Selain
kebagian kursi kekuasaan, berharap jatah uang negara melalui pengadaan
barang/jasa pemerintah berbasis aturan e-procurement yang bisa diatur.
Lengkap sudah dayab tarik berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya). Negara,
selain dianggap sebagai warisan, masa depannya sudah digadaikan secara
sistematis, masif, berkelanjutan, tanpa tedeng aling-aling, tanpa mengenal
malu.
Akhir kata, semester pertama atau tahun
pertama 2014-2019, ilmu hukum, ilmu politik, ilmu ekonomi tak berdaya
menghadapi kenyataan hidup. Bukan juga salah penyandang ilmu dalam melaksanakan
tugas fungsi sebagai penyelenggara negara. Kalau sudah begini dan begitu, perlu
doa, aksi teatrikal, pembacaan puisi dan orasi ilmiah massal tolak bala. Diimbangi
rawatan dan ruwatan Nusantara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar