Halaman

Selasa, 04 Agustus 2015

ketahanan politik Nasional, pasal hina presiden vs pasal presiden hina

ketahanan politik Nasional, pasal hina presiden vs pasal presiden hina

Saat kita bercermin, tujuannya adalah mematut diri. Mencari stelan busana pantas pakai yang bisa mendongkrak citra diri. Mencari gaya sisiran rambut yang menunjukkan kadar isi kepala. Mencari tampilan diri untuk menutupi rasa kurang percaya diri. Mencari cara sapa, salam dan senyum untuk dihafalkan sesuai lingkungan. Mencari irama jalan agar nampak berbobot, sopan dan bermartabat. Mencari ekspresi bicara agar nampak sebagai pemikir, hemat bicara boros kerja.

Ketika ada yang memberi masukan (bentuk penghalusan makna : kritik, caci, maki, cerca, cela, semooh, ejek, hujat, hardik, sindir, protes, saran, himbau, tuding) langsung kepada kita, apapun reaksi kita masuk kategori manusiawi. Karena mereka bisa melihat diri kita, yang kita tidak bisa melihat sendiri. Apalagi tujuannya adalah agar kita lebih benar dan baik. Bahkan orang yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ dengan sikap lugu, polos, jujur ternyata bisa menilai kita.

Ketika kita merasa risi, terusik bahkan tersinggung atas masukan orang lain, anggap sebagai uji diri, uji nyali, uji mental, uji syukur. Terlebih jika masukan bernuansa menggurui. Memang, ada orang jika dimintai pendapat hanya sekedar meng-amin-i. Jika saat tidak dibutuhkan sarannya, tiba-tiba tanpa pemanasan langsung memberi masukan dengan gagahnya. Merasa dirinya lebih bisa, lebih benar dan lebih baik.

Memberi masukan butuh ilmu. Ada rukunnya, bahkan agama juga punya resep jitu cara memberi nasihat, saling mengingatkan. Apalagi masukan kepada yang bukan satu level, bukan satu kasta. Bisa-bisa bisa bak meludah ke atas, terpercik wajah sendiri.

Bagaimana jika kita adalah bukan diri sendiri. Tegasnya sebagai presiden. Ternyata pasal hina-menghina bisa ada sanksinya.

Kita simak berita sampai disiarkan media massa secara utuh :

“Digugurkan MK, Pasal Penghinaan Presiden Tak Bisa Dihidupkan Kembali”
Githa Farahdina - 03 Agustus 2015 12:01 wib
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin,--Foto: MI/Sumaryanto
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin,--Foto: MI/Sumaryanto
http://d.metrotvnews.com/delivery/lg.php?bannerid=3&campaignid=1&zoneid=43&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fnews.metrotvnews.com%2Fread%2F2015%2F08%2F03%2F417680%2Fdigugurkan-mk-pasal-penghinaan-presiden-tak-bisa-dihidupkan-kembali&cb=40dd12720b
Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menegaskan, usulan dihidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang dimasukkan pemerintah dalam draf UU KUHP tak bisa diterapkan. Pasalnya, pasal itu sudah pernah digugurkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, yang dibatalkan di MK tidak bisa lagi dihidupkan kembali di UU yang baru," tegas Aziz di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/8/2015).

Saat ini, tim Komisi Hukum sedang mempersiapkan daftar inventaris masalah. Mereka masih melihat pasal demi pasal, ayat demi ayat, hingga draf secara keseluruhan. "Biarlah pembahasan dilakukan panitia kerja dalam bentuk daftar inventaris masalah," tambahnya.

Presiden maupun pemerintah, kata politikus Partai Golkar ini, tak bisa memaksakan kehendak di negara hukum ini. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada celah bagi pasal tersebut untuk kembali dihidupkan.

"MK putusannya final dan mengikat. Dihidupkan kembali pun akan dibatalkan lagi sama MK. Kita tidak mau membahas dua kali, membatalkan dua kali," tandasnya.
MBM
Berita Selanjutnya

Kita bandingkan dengan berita ini :

“Diam di Kongres PDIP, Jokowi Dinilai Hina Lembaga Kepresidenan”
Jumat, 10 April 2015, 09:08 WIB

Antara
Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo.
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Jokowi menghadiri Kongres PDIP ke-4 di Bali pada Kamis (10/4). Hanya saja, Jokowi datang dengan status sebagai kader PDIP. Dia datang mengenakan jas merah dan duduk di barisan terdepan bersama Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua DPP Puan Maharani.

Jokowi datang ke Bali menggunakan fasilitas negara didampingi beberapa menteri. Uniknya, meski menyandang status presiden RI, Jokowi tidak diberi kesempatan pidato di Kongres PDIP.

Aktivis antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyoroti kejadian aneh yang menimpa Jokowi tersebut. "Ketika Presiden Hadir dalam satu acara hanya diam terbisu dan duduk manis...!!! Di NEGERI ini," katanya melalui akun Twitter, @Dahnilanzar.

Ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah tersebut mempertanyakan mengapa panitia Kongres PDIP tak memberi kesempatan Jokowi untuk berpidato. Padahal, setiap presiden yang hadir di acara partai selalu diberi kesempatan tampil di depan.

"Kepresidenan itu lembaga. Dan, lembaga negara. Ketika seseorang jadi Presiden tak bisa dia dipisahkan, Antar dia sebagai 'Jokowi', dia sebagai 'Presiden'," katanya. "Wibawa lembaga Kepresidenan itu, ya wibawa Indonesia juga."

Dahnil pun kembali menegaskan, status Jokowi sebagai presiden RI tidak bisa dilepaskan, meski hadir di acara sebagai kader partai. "Klo mau dipisahkan, ketika dia jadi 'Jokowi' ya tak ada fasilitas apapun terkait dia sebagai Presiden. Tapi kan impossible."

Dia melanjutkan, "Mohon maaf saya harus sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga Kepresidenan." "Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt, ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina lembaga Kepresidenan.
"

* * * * * **
Artinya, . . . . [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar