ketahanan politik Nasional, pasal hina presiden vs
pasal presiden hina
Saat kita bercermin, tujuannya adalah mematut diri.
Mencari stelan busana pantas pakai yang bisa mendongkrak citra diri. Mencari
gaya sisiran rambut yang menunjukkan kadar isi kepala. Mencari tampilan diri untuk
menutupi rasa kurang percaya diri. Mencari cara sapa, salam dan senyum untuk
dihafalkan sesuai lingkungan. Mencari irama jalan agar nampak berbobot, sopan
dan bermartabat. Mencari ekspresi bicara agar nampak sebagai pemikir, hemat
bicara boros kerja.
Ketika ada yang memberi masukan (bentuk penghalusan
makna : kritik, caci, maki, cerca, cela, semooh, ejek, hujat, hardik, sindir, protes, saran,
himbau, tuding) langsung kepada kita, apapun reaksi kita masuk kategori
manusiawi. Karena mereka bisa melihat diri kita, yang kita tidak bisa melihat
sendiri. Apalagi tujuannya adalah agar kita lebih benar dan baik. Bahkan orang
yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ dengan sikap lugu, polos, jujur ternyata
bisa menilai kita.
Ketika kita merasa risi, terusik bahkan tersinggung
atas masukan orang lain, anggap sebagai uji diri, uji nyali, uji mental, uji
syukur. Terlebih jika masukan bernuansa menggurui. Memang, ada orang jika
dimintai pendapat hanya sekedar meng-amin-i. Jika saat tidak dibutuhkan
sarannya, tiba-tiba tanpa pemanasan langsung memberi masukan dengan gagahnya.
Merasa dirinya lebih bisa, lebih benar dan lebih baik.
Memberi masukan butuh ilmu. Ada rukunnya, bahkan agama
juga punya resep jitu cara memberi nasihat, saling mengingatkan. Apalagi
masukan kepada yang bukan satu level, bukan satu kasta. Bisa-bisa bisa bak
meludah ke atas, terpercik wajah sendiri.
Bagaimana jika kita adalah bukan diri sendiri.
Tegasnya sebagai presiden. Ternyata pasal hina-menghina bisa ada sanksinya.
Kita simak berita sampai disiarkan media massa secara
utuh :
“Digugurkan
MK, Pasal Penghinaan Presiden Tak Bisa Dihidupkan Kembali”
Githa Farahdina -
03 Agustus 2015 12:01 wib

Ketua Komisi III DPR Aziz
Syamsuddin,--Foto: MI/Sumaryanto

Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Komisi III DPR Aziz
Syamsuddin menegaskan, usulan dihidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang
dimasukkan pemerintah dalam draf UU KUHP tak bisa diterapkan. Pasalnya, pasal
itu sudah pernah digugurkan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, yang dibatalkan di MK tidak bisa lagi dihidupkan kembali di UU yang baru," tegas Aziz di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/8/2015).
Saat ini, tim Komisi Hukum sedang mempersiapkan daftar inventaris masalah. Mereka masih melihat pasal demi pasal, ayat demi ayat, hingga draf secara keseluruhan. "Biarlah pembahasan dilakukan panitia kerja dalam bentuk daftar inventaris masalah," tambahnya.
Presiden maupun pemerintah, kata politikus Partai Golkar ini, tak bisa memaksakan kehendak di negara hukum ini. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada celah bagi pasal tersebut untuk kembali dihidupkan.
"MK putusannya final dan mengikat. Dihidupkan kembali pun akan dibatalkan lagi sama MK. Kita tidak mau membahas dua kali, membatalkan dua kali," tandasnya.
MBM
Berita Selanjutnya
Kita bandingkan dengan berita ini :
“Diam di Kongres PDIP, Jokowi Dinilai Hina Lembaga Kepresidenan”
Antara

Presiden Joko Widodo.
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Presiden Jokowi menghadiri Kongres PDIP ke-4 di Bali pada Kamis
(10/4). Hanya saja, Jokowi datang dengan status sebagai kader PDIP. Dia datang
mengenakan jas merah dan duduk di barisan terdepan bersama Ketua Umum Megawati
Soekarnoputri, Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua DPP Puan Maharani.
Jokowi datang ke Bali menggunakan fasilitas negara didampingi beberapa menteri. Uniknya, meski menyandang status presiden RI, Jokowi tidak diberi kesempatan pidato di Kongres PDIP.
Jokowi datang ke Bali menggunakan fasilitas negara didampingi beberapa menteri. Uniknya, meski menyandang status presiden RI, Jokowi tidak diberi kesempatan pidato di Kongres PDIP.
Aktivis antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyoroti kejadian aneh yang menimpa Jokowi tersebut. "Ketika Presiden Hadir dalam satu acara hanya diam terbisu dan duduk manis...!!! Di NEGERI ini," katanya melalui akun Twitter, @Dahnilanzar.
Ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah tersebut mempertanyakan mengapa panitia Kongres PDIP tak memberi kesempatan Jokowi untuk berpidato. Padahal, setiap presiden yang hadir di acara partai selalu diberi kesempatan tampil di depan.
"Kepresidenan itu lembaga. Dan, lembaga negara. Ketika seseorang jadi Presiden tak bisa dia dipisahkan, Antar dia sebagai 'Jokowi', dia sebagai 'Presiden'," katanya. "Wibawa lembaga Kepresidenan itu, ya wibawa Indonesia juga."
Dahnil pun kembali menegaskan, status Jokowi sebagai presiden RI tidak bisa dilepaskan, meski hadir di acara sebagai kader partai. "Klo mau dipisahkan, ketika dia jadi 'Jokowi' ya tak ada fasilitas apapun terkait dia sebagai Presiden. Tapi kan impossible."
Dia melanjutkan, "Mohon maaf saya harus sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga Kepresidenan." "Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt, ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina lembaga Kepresidenan."
* * * * * **
Artinya,
. . . . [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar