Halaman

Minggu, 23 Agustus 2015

menanti kinerja optimal otak kanan Jokowi

menanti kinerja optimal otak kanan Jokowi

Daya guna dan daya juang otak kanan Jokowi dipengaruhi/ditentukan oleh langgam dan ragam Jawa yang dianutnya. Tanggal dan bulan serta tahun kelahiran (weton), bahkan golongan darah, maupun urutan anak dalam keluarga tidak bisa masuk sebagai faktor pertimbangan dalam menerawang nasib dan karir politiknya. Nilai kejawen yang adiluhur, adiluhung, adiguna tidak bisa diterapkan pada langkah politiknya. Primbon yang menjadi pegangan dan acuan Jokowi ternyata tidak ampuh dan mujarab menjadi penuntun yang dapat dipercaya, akurat sekaligus menjawab tantangan zaman.

Akal politik Jokowi, mau tak mau, diwarnai olah akal saat menimba ilmu dan makan bangku kuliah di UGM yang lebih mengedepankan posisi, status, strata sebagai ‘abdi masyarakat’. Jokowi alergi luar dalam terhadap aliran politik yang digeber oleh PDI-P, walau dengan dalih membela wong cilik. Kualifikasi dan klasifikasi PDIP sebagai kendaraan politik setelah di dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 menjadi semakin bias. Hanya diuntungkan oleh ulah tipikor oknum pengurus dan anggota Partai Demokrat yang berakibat loyalis beralih pilihan di pesta demokrasi 2014. Benturan politik akibat Jokowi mengedepankan citra sebagai ‘abdi masyarakat’ (yang a.l gemar blusukan agar tidak keblusuk dan keblasuk di lubang yang sama) berhadapan langsung dengan kekuatan politik penyembah berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) yang mengatasnamakan rakyat.

Gaya dan suara ketawa, cengar-cengir, senyum sungging Jokowi sebagai satu-satunya penanda diri, apakah sedang dalam tekanan politik, sedang menjaga perasaan pembantu dan wakilnya, sedang memanipulasi watak diri, sedang menghibur diri sendiri, atau sedang mentertawakan parpol pendukung dan rakyat pemilihnya. Atau penyakit politik mempengaruhi gaya dan suara tawanya. Memang susah menamakan gaya dan suara tawa Jokowi. Terbahak jelas tidak, terkekeh-kekeh juga bukan.

Ironis, otak kanan yang menyebabkan Jokowi gemar dan mudah terpengaruh kelakuan orang lain. Mulai kawanan parpolis PDIP yang setiap saat mengendalikan kaki tangan Jokowi, mengarahkan langkah kepresidenan Jokowi, mendikte kebijakan yang akan diterapkan oleh Jokowi, menyetir substansi sambutan pidato yang akan dibaca Jokowi, menentukan siapa kebagian apa dan  menjadi apa selama 2014-2019. Apakah otak politik Jokowi sudah terkontaminasi, sudah cuci otak, sehingga memang sebagai kurir parpol, orang suruhan PDIP.

Yang bikin miris secara historis, Jokowi merasa mampu sebagai walikota Surakarta, setelah memasuki periode kedua atau turun di tengah jalan? Terjadi saat menjadi gubernur Jakarta, lengser keprabon tanpa didemo oleh berbagai elemen penduduk lokal sebelum jatuh tempo, lantas merasa bisa jadi DKI-1.  Jangan-jangan, sekarang, peran Jokowi hanya sebagai pelaksana tugas, pelaksana harian atau pejabat sementara presiden, sambil menunggu jatuh tempo. Atau tak mampu mendaki sampai puncak gunung. Atau tak kuat lari kencang sampai batas finish.

Walau Jokowi tertatih-tatih, terseok-seok, terlunta-lunta menyelesaikan ronde demi ronde, jangan sampai kita malah melubangi kapal Nusantara dari dalam. Niarkan saja perilaku pihak yang merasa berjasa menjadikan Jokowi-JK sebagai RI-1 dan RI-2 dengan prinsip no free lunch. Di media televisi, muncul manusia tanpa malu. tidak mengenal sungkan, bergaya bak strata RI-1,5 (atau bahkan ada yang mematut diri jadi RI-0,5) mengumbar kata, fatwa bak orator ulung. Atau bandar politik menjadi dalang mengandalkan dinasti, silsilah dan trah, serta menganggap negara sebagai warisan. Duduk manis berkipas-kipas sambil tinggal main tunjuk, tinggal terima bonus politik. Jokowi, sebagai kurir politik terpaksa pasang badan sebagai tandai kesetiaan, kepatuhan dan loyalitas total.

Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai ajang rebut kursi, menjadi wahana adu kuat, menjelma menjadi palagan antar kepentingan. Panggung politik, industri politik, syahwat politik berbasis utamakan keselamatan diri sendiri. Argo politik, asumsi politis, kaca mata politik, kalkulasi politis menjadikan politik sebagai panglima. Akhirnya Jokowi terjebak dalam kubangan politik Nusantara. Tidak bebas memainkan seni menyelenggarakan negara. Ruang gerak dibatasi rambu-rambu politik. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar