menanti kinerja optimal otak kanan
Jokowi
Daya guna dan daya juang otak kanan Jokowi dipengaruhi/ditentukan
oleh langgam dan ragam Jawa yang dianutnya. Tanggal dan bulan serta tahun
kelahiran (weton), bahkan golongan darah, maupun urutan anak dalam keluarga
tidak bisa masuk sebagai faktor pertimbangan dalam menerawang nasib dan karir
politiknya. Nilai kejawen yang adiluhur, adiluhung, adiguna tidak bisa
diterapkan pada langkah politiknya. Primbon yang menjadi pegangan dan acuan
Jokowi ternyata tidak ampuh dan mujarab menjadi penuntun yang dapat dipercaya, akurat
sekaligus menjawab tantangan zaman.
Akal politik Jokowi, mau tak mau, diwarnai olah akal saat
menimba ilmu dan makan bangku kuliah di UGM yang lebih mengedepankan posisi, status,
strata sebagai ‘abdi masyarakat’. Jokowi alergi luar dalam terhadap aliran
politik yang digeber oleh PDI-P, walau dengan dalih membela wong cilik.
Kualifikasi dan klasifikasi PDIP sebagai kendaraan politik setelah di dua
periode 2004-2009 dan 2009-2014 menjadi semakin bias. Hanya diuntungkan oleh
ulah tipikor oknum pengurus dan anggota Partai Demokrat yang berakibat loyalis
beralih pilihan di pesta demokrasi 2014. Benturan politik akibat Jokowi mengedepankan
citra sebagai ‘abdi masyarakat’ (yang a.l gemar blusukan agar tidak keblusuk
dan keblasuk di lubang yang sama) berhadapan langsung dengan kekuatan
politik penyembah berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) yang mengatasnamakan
rakyat.
Gaya dan suara ketawa, cengar-cengir, senyum sungging
Jokowi sebagai satu-satunya penanda diri, apakah sedang dalam tekanan politik,
sedang menjaga perasaan pembantu dan wakilnya, sedang memanipulasi watak diri,
sedang menghibur diri sendiri, atau sedang mentertawakan parpol pendukung dan
rakyat pemilihnya. Atau penyakit politik mempengaruhi gaya dan suara tawanya.
Memang susah menamakan gaya dan suara tawa Jokowi. Terbahak jelas tidak,
terkekeh-kekeh juga bukan.
Ironis, otak kanan yang menyebabkan Jokowi gemar dan
mudah terpengaruh kelakuan orang lain. Mulai kawanan parpolis PDIP yang setiap
saat mengendalikan kaki tangan Jokowi, mengarahkan langkah kepresidenan Jokowi,
mendikte kebijakan yang akan diterapkan oleh Jokowi, menyetir substansi
sambutan pidato yang akan dibaca Jokowi, menentukan siapa kebagian apa dan menjadi apa selama 2014-2019. Apakah otak
politik Jokowi sudah terkontaminasi, sudah cuci otak, sehingga memang sebagai
kurir parpol, orang suruhan PDIP.
Yang bikin miris secara historis, Jokowi merasa mampu
sebagai walikota Surakarta, setelah memasuki periode kedua atau turun di tengah
jalan? Terjadi saat menjadi gubernur Jakarta, lengser keprabon tanpa
didemo oleh berbagai elemen penduduk lokal sebelum jatuh tempo, lantas merasa
bisa jadi DKI-1. Jangan-jangan,
sekarang, peran Jokowi hanya sebagai pelaksana tugas, pelaksana harian atau
pejabat sementara presiden, sambil menunggu jatuh tempo. Atau tak mampu mendaki
sampai puncak gunung. Atau tak kuat lari kencang sampai batas finish.
Walau Jokowi tertatih-tatih, terseok-seok,
terlunta-lunta menyelesaikan ronde demi ronde, jangan sampai kita malah
melubangi kapal Nusantara dari dalam. Niarkan saja perilaku
pihak yang merasa berjasa menjadikan Jokowi-JK sebagai RI-1 dan RI-2 dengan
prinsip no free lunch. Di media televisi, muncul manusia tanpa malu.
tidak mengenal sungkan, bergaya bak strata RI-1,5 (atau bahkan ada yang mematut
diri jadi RI-0,5) mengumbar kata, fatwa bak orator ulung. Atau bandar politik
menjadi dalang mengandalkan dinasti, silsilah dan trah, serta menganggap negara
sebagai warisan. Duduk manis berkipas-kipas sambil tinggal main tunjuk, tinggal
terima bonus politik. Jokowi, sebagai kurir politik terpaksa pasang badan
sebagai tandai kesetiaan, kepatuhan dan loyalitas total.
Legislatif,
eksekutif dan yudikatif sebagai ajang rebut kursi, menjadi wahana adu kuat,
menjelma menjadi palagan antar kepentingan. Panggung politik, industri politik,
syahwat politik berbasis utamakan keselamatan diri sendiri. Argo politik,
asumsi politis, kaca mata politik, kalkulasi politis menjadikan politik sebagai
panglima. Akhirnya Jokowi terjebak dalam kubangan politik Nusantara. Tidak
bebas memainkan seni menyelenggarakan negara. Ruang gerak dibatasi rambu-rambu
politik. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar