Revolusi Mental 2014-2019 vs Dampak PDI-P Tidak Siap
Menang
Sejarah Nasional
membuktikan betapa selama dua periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, PDI-P
duduk manis di bangku cadangan pasca pesta demokrasi. Secara politis, kawanan
parpolis dibawah kendali bandar politik, memposisikan diri sebagai oposisi
setangah hati, oposisi banci, oposisi manipulasi diri.
Popularitas maupun
elektabilitas bandar politik tidak mampu meraih simpati wong cilik untuk
memilihnya di pilpres 2004 dan 2009, serta merta menghiba jual tangis merasa dicurangi.
Sungguh, sangat, amat, terlalu ironis, menjual nama baik bapaknya saja tidak
mujarab, kurang laku, apalagi hanya modal nama sendiri. PDI-P getol meraih
kursi kepala daerah, atau bahkan merasa jatah karena jabatan kepala negara tak
dapat diraih.
Pengalaman dua
periode tadi tidak menjadikan PDI-P siap menang. Menjual nama Joko Widodo,
menjadikan PDI-P sebagai juara umum di pemilu legislatif 9 April 2014 dan
didaulat sebagai juara utama di pilpres 9 Juli 2019. Akhirnya Megawati
Soekarno Putri kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDIP periode 2015-2010
dengan sistem aklamasi, karena tak satupun kader yang mengusulkan nama lain.
Meskipun demikian, sebenarnya putri Bung Karno ini mengaku tidak menyangka jika
dirinya kembali diminta untuk menjadi pinpinan di partai dengan lambing banteng
bermoncong putih ini. (sumber : BALI (SPNews) Jumat, 10 April 2015 10:28) Sudah nasib diri
kalau PDI-P menjadi perusahaan politik dinasti, perusahaan keluarga. Merasa
negara sebagai warisan turun-temurun.
Revolusi Mental yang
didendangkan Joko Widodo sebagai hasil daya endus terhadap modus operandi
parpol atau mental politik pendukungnya, relawan yang bantu dongkrak pencitraan,
koalisi yang ahli praktek politik transaksional. Terbukti ketika Kabinet Kerja
dihuni kawanan parpolis kw2, minimal sebagai pecundang yang dikirim, bukan
petarung. Terlebih oknum suruhan PDI-P.
Contoh nyata yang
terang-benderang yaitu :
Mendagri : Banyak Parpol Takut Kalah
Selasa,
4 Agustus 2015 - 21:56
Jakarta,
indopos.co.id – Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada)
serentak, masih ada daerah dengan jumlah calon yang hanya sepasang. Menteri
Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo melihat hal tersebut sebagai salah satu cerminan
partai politik yang tidak siap. Ketidaksiapan itu ditunjukkan dengan tidak
adanya parpol yang mengajukan bakkal pasangan calon.
Menurutnya, parpol harus mampu berpartisipasi dalam
semua pesta demokrasi, tidak hanya Pemilihan Presiden (Pilpres). "Fungsi
Parpol tidak hanya dalam rekrutmen Presiden, tapi pemilihan Gubernur dan
Walikota juga. Itu agenda rutin jauh-jauh hari. Tapi kecenderungan saat ini, Parpol tidak siap kalah," ujar Tjahjo
di gedung Lemhanas, Jakarta, Selasa (4/8).
Seharusnya, tiap partai politik yang berkomitmen bisa
mempersiapkan pasangan bakal calon sebagai pesaing. Sehingga dalam pilkada
nanti, calon yang hanya sepasang tidak terganjal langkahnya. Saat ini,
diperlukan aturan-aturan dan perembugan untuk memuluskan langkah pasangan bakal
calon yang hanya sepasang itu.
Bahkan, hal tersebut membawa resiko Pilkada di
daerah-daerah dengan sepasang bakal calon akan diundur ke 2017.
"Harusnya kan fight, dengan parpol tidak siap kalah, calonnya hanya
sepasang. Merugikan partai lain yang calonnya hanya sepasang," tutur
Tjahjo.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai saat ini memastikan
pilkada di 7 daerah ditunda hingga tahun 2017. Pasalnya ke 7 daerah itu tidak
mengalami penambahan bakal pasangan calon alias calon tunggal sampai masa
perpanjangan pendaftaran ditutup Senin (3/8) pukul 16.00 WIB kemarin.
Mendagri sendiri masih akan menunggu laporang resmi
dari KPU untuk menentukan sikap. "Nanti dibahas di menkoplhukam. Sudah disiapkan
opsi-opsi itu. Mungkin nanti sore ada rapat kabinet. Supaya bisa diambil
sikap," kata Tjahjo.
Menurut dia, pada prinsipya ia tak menginginkan
hak-hak politik pasangan bakal calon yang hanya satu itu dirampas. Harus ada
pelindung dan penjamin bagi mereka untuk mengikuti Pilkada 2015.
"Kalau ini diundur, siapa yang menjamin 2017 bisa
muncul dua pasang calon. Soal mekanismenya nanti dibahas, kami juga tidak
setuju kalau otomatis dilantik," imbuh Tjahjoo.
Soal pembuatan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) Tjahjo mengaku tak menutup kemungkinan pemerintah akan
mengambil langkah itu. Mantan sekjen PDIP menegaskan, keputusan pemerintah
mengeluarkan perppu tergantung hasil laporan KPU hari ini.
"Yang penting satu pasang calon bisa ikut
pilkada. Mekanismenya bagaimana nanti dirembug. Mungkin minggu ini (sikapnya)
bisa keluar," pungkasnya (adn)
Kata yang empunya sejarah, kita punya jargon “deso
mowo coro, negoro mowo toto”. Tidak perlu saya terjemahkan, oknum mendagri
sudah hafal luar kepala.
Pilkada serentak dalam rangka mendapatkan kepala
daerah. Mengacu UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 122 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
l.
Gubernur dan wakil gubernur;
m.
Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n.
Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,
walau ada semangat otonomi daerah. Secara de facto, kepala daerah,
khususnya bupati/walikota berperan sebagai raja kecil, sebagai penguasan
tunggal selama lima tahun. Kepala daerah bukan alat kelengkapan negara serta
tidak memiliki fungsi kenegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). UU
9/2015 menjadikan tugas kepala daerah semakin jelas, terukur, luas tapi
terbatas.
Kembali ke judul, oknum mendagri yang notabene orang
suruhan PDI-P, dalam berkomentar menunjukkan pengalaman pribadi sekaligus isi
otak dan kandungan nuraninya.
Rakyat sudah puas sabar, ternyata PDI-P tidak siap
menang. Selain bandar politik menjadi presiden seumur hidup di partainya,
bolodupak PDI-P yang masuk jajaran pembantu presiden . . . tidak bisa
dikomentari, karena memang bukan petarung.
Muncul pertanyaan saya, apakah tidak ada kawanan
parpolis PDI-P yang lebih jelek untuk menjadi pejabat negara, minimal masuk
kategori penyelenggara negara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar