Halaman

Kamis, 06 Agustus 2015

Revolusi Mental 2014-2019 vs Dampak PDI-P Tidak Siap Menang

Revolusi Mental 2014-2019 vs Dampak PDI-P Tidak Siap Menang

Sejarah Nasional membuktikan betapa selama dua periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, PDI-P duduk manis di bangku cadangan pasca pesta demokrasi. Secara politis, kawanan parpolis dibawah kendali bandar politik, memposisikan diri sebagai oposisi setangah hati, oposisi banci, oposisi manipulasi diri.

Popularitas maupun elektabilitas bandar politik tidak mampu meraih simpati wong cilik untuk memilihnya di pilpres 2004 dan 2009, serta merta menghiba jual tangis merasa dicurangi. Sungguh, sangat, amat, terlalu ironis, menjual nama baik bapaknya saja tidak mujarab, kurang laku, apalagi hanya modal nama sendiri. PDI-P getol meraih kursi kepala daerah, atau bahkan merasa jatah karena jabatan kepala negara tak dapat diraih.

Pengalaman dua periode tadi tidak menjadikan PDI-P siap menang. Menjual nama Joko Widodo, menjadikan PDI-P sebagai juara umum di pemilu legislatif 9 April 2014 dan didaulat sebagai juara utama di pilpres 9 Juli 2019. Akhirnya Megawati Soekarno Putri kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDIP periode 2015-2010 dengan sistem aklamasi, karena tak satupun kader yang mengusulkan nama lain. Meskipun demikian, sebenarnya putri Bung Karno ini mengaku tidak menyangka jika dirinya kembali diminta untuk menjadi pinpinan di partai dengan lambing banteng bermoncong putih ini. (sumber : BALI (SPNews) Jumat, 10 April 2015 10:28) Sudah nasib diri kalau PDI-P menjadi perusahaan politik dinasti, perusahaan keluarga. Merasa negara sebagai warisan turun-temurun.

Revolusi Mental yang didendangkan Joko Widodo sebagai hasil daya endus terhadap modus operandi parpol atau mental politik pendukungnya, relawan yang bantu dongkrak pencitraan, koalisi yang ahli praktek politik transaksional. Terbukti ketika Kabinet Kerja dihuni kawanan parpolis kw2, minimal sebagai pecundang yang dikirim, bukan petarung. Terlebih oknum suruhan PDI-P.

Contoh nyata yang terang-benderang yaitu :

Mendagri : Banyak Parpol Takut Kalah
Selasa, 4 Agustus 2015 - 21:56
Jakarta, indopos.co.id –  Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, masih ada daerah dengan jumlah calon yang hanya sepasang. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo melihat hal tersebut sebagai salah satu cerminan partai politik yang tidak siap. Ketidaksiapan itu ditunjukkan dengan tidak adanya parpol yang mengajukan bakkal pasangan calon. 

Menurutnya, parpol harus mampu berpartisipasi dalam semua pesta demokrasi, tidak hanya Pemilihan Presiden (Pilpres). "Fungsi Parpol tidak hanya dalam rekrutmen Presiden, tapi pemilihan Gubernur dan Walikota juga. Itu agenda rutin jauh-jauh hari. Tapi kecenderungan saat ini, Parpol tidak siap kalah," ujar Tjahjo di gedung Lemhanas, Jakarta, Selasa (4/8). 

Seharusnya, tiap partai politik yang berkomitmen bisa mempersiapkan pasangan bakal calon sebagai pesaing. Sehingga dalam pilkada nanti, calon yang hanya sepasang tidak terganjal langkahnya. Saat ini, diperlukan aturan-aturan dan perembugan untuk memuluskan langkah pasangan bakal calon yang hanya sepasang itu.  

Bahkan, hal tersebut membawa resiko Pilkada di daerah-daerah dengan sepasang bakal calon akan diundur ke 2017.  "Harusnya kan fight, dengan parpol tidak siap kalah, calonnya hanya sepasang. Merugikan partai lain yang calonnya hanya sepasang," tutur Tjahjo. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai saat ini memastikan pilkada di 7 daerah ditunda hingga tahun 2017. Pasalnya ke 7 daerah itu tidak mengalami penambahan bakal pasangan calon alias calon tunggal sampai masa perpanjangan pendaftaran ditutup Senin (3/8) pukul 16.00 WIB kemarin. 

Mendagri sendiri masih akan menunggu laporang resmi dari KPU untuk menentukan sikap. "Nanti dibahas di menkoplhukam. Sudah disiapkan opsi-opsi itu. Mungkin nanti sore ada rapat kabinet. Supaya bisa diambil sikap," kata Tjahjo. 

Menurut dia, pada prinsipya ia tak menginginkan hak-hak politik pasangan bakal calon yang hanya satu itu dirampas. Harus ada pelindung dan penjamin bagi mereka untuk mengikuti Pilkada 2015. 

"Kalau ini diundur, siapa yang menjamin 2017 bisa muncul dua pasang calon. Soal mekanismenya nanti dibahas, kami juga tidak setuju kalau otomatis dilantik," imbuh Tjahjoo. 

Soal pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Tjahjo mengaku tak menutup kemungkinan pemerintah akan mengambil langkah itu. Mantan sekjen PDIP menegaskan, keputusan pemerintah mengeluarkan perppu tergantung hasil laporan KPU hari ini. 

"Yang penting satu pasang calon bisa ikut pilkada. Mekanismenya bagaimana nanti dirembug. Mungkin minggu ini (sikapnya) bisa keluar," pungkasnya (adn)

Kata yang empunya sejarah, kita punya jargon “deso mowo coro, negoro mowo toto”. Tidak perlu saya terjemahkan, oknum mendagri sudah hafal luar kepala.

Pilkada serentak dalam rangka mendapatkan kepala daerah. Mengacu UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 122 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
l.               Gubernur dan wakil gubernur;
m.          Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n.            Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, walau ada semangat otonomi daerah. Secara de facto, kepala daerah, khususnya bupati/walikota berperan sebagai raja kecil, sebagai penguasan tunggal selama lima tahun. Kepala daerah bukan alat kelengkapan negara serta tidak memiliki fungsi kenegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). UU 9/2015 menjadikan tugas kepala daerah semakin jelas, terukur, luas tapi terbatas.

Kembali ke judul, oknum mendagri yang notabene orang suruhan PDI-P, dalam berkomentar menunjukkan pengalaman pribadi sekaligus isi otak dan kandungan nuraninya.

Rakyat sudah puas sabar, ternyata PDI-P tidak siap menang. Selain bandar politik menjadi presiden seumur hidup di partainya, bolodupak PDI-P yang masuk jajaran pembantu presiden . . . tidak bisa dikomentari, karena memang bukan petarung.

Muncul pertanyaan saya, apakah tidak ada kawanan parpolis PDI-P yang lebih jelek untuk menjadi pejabat negara, minimal masuk kategori penyelenggara negara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar