Halaman

Jumat, 28 Agustus 2015

PELAYANAN PUBLIK, DARI HULU SAMPAI HILIR UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUNA AKHIR

PELAYANAN PUBLIK, DARI HULU SAMPAI HILIR UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUNA AKHIR.

oleh : Arni Nurwida

KEBUTUHAN MASYARAKAT
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, secara merata nasional didominasi oleh kebutuhan pelayanan adminsitrasi. Masyarakat sebagai penduduk, familiar dan faham dengan pelayanan publik ketika berjuang untuk mendapatkan/ memperpanjang KTP, yang bersifat prosedural dan birokratis mulai dari tingkat bawah.

Berurusan dengan pihak berwajib terkait SIM, terlebih memperpanjang STNK tiap tahun sekali, menambah beban moral dan mental masyarakat. Beban masyarakat yang sering dihadapi adalah adanya tambahan biaya, prosedur yang berbelit, waktu penyelesaian yang lebih lama, tidak sekali jadi, atau hambatan akses.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung (UU 25/2009 “PELAYANAN PUBLIK”).

Dalam tulisan ini, masyarakat dibatasi sebagai warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan sebagai penerima manfaat pelayanan publik
atau pengguna akhir (end user).

Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan dampak atau sisi lain dari penyelenggaraan/pelaksanaan pelayanan publik, khususnya pada aspek penyuluhan kepada masyarakat, tentunya dalam koridor hak dan kewajiban bagi masyarakat maupun peran serta masyarakat. Kebutuhan masyarakat, kondisi lingkungan dan kemampuan penyelenggara akan menentukan standar pelayanan.

Keterbukaan dan kebebasan di era Reformasi, menyebabkan masyarakat menuntut pelayanan yang praktis, adanya jaminan kepastian. Masyarakat tidak perlu bergerilya dari meja ke meja, dipingpong kesana-kemari, atau memakai asas uang semir. Sebaliknya, penyelenggara/pelaksana pelayanan publik dituntut tetap sesuai dengan standar pelayanan minimal. SDM aparatur sebagai pelayan publik dituntut lebih faham dan peduli lagi terhadap hak-hak sipil, hak-hak sosial dasar masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan pelayanan, bisa bersifat berkala dan mendasar (KTP, STNK, dll) sampai insidentil sesuai kebutuhan saat itu (khususnya izin Gangguan*); izin Usaha dan/atau Kegiatan, dll); bisa bersifat individual sampai kelompok masyarakat; bisa bersifat sosial sampai usaha/kegiatan komersial).

*) : Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 4 Tahun 2011 tentang “IZIN GANGGUAN”).

POLA JEMPUT BOLA
Perekaman E-KTP serentak secara nasional, petugas di Kecamatan kewalahan dari aspek SDM dan fasilitas. Masyarakat sudah dijatah per kelurahan/ desa sampai tingkat RW. Rakyat taat dan patuh hukum. Berjubel antri sampai malam, menggerutu apa adanya. Apa daya, sejauh usaha E-KTP belum tuntas atau sesuai target, akhirnya petugas praktek di Kantor Lurah/Kepala Desa untuk menjaring masyarakat yang belum sempat potret.

Kebutuhan terhadap pelayanan publik, memposisikan masyarakat sebagai subyek maupun obyek. Masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan jelas tidak mempunyai posisi tawar. Masyarakat berada di antara dua pilihan, pelayanan sosial atau pelayanan komersial. Pelayanan gratis di Puskesmas kecamatan tanpa mengabaikan profesionalisme pelayanan maupun, khususnya profesi.

Mengandalkan asas nepotisme, memakai layanan dengan biaya/tarif plus, ternyata :
§  bukan jaminan akan menemukan kenyamanan;
§  bukan ukuran untuk mendapatkan kemudahan;
§  bukan harapan agar memperoleh kecepatan;
§  bukan garansi bisa memetik transparasi; bahkan
§  bukan tolok ukur segera menerima pelayanan prima.

Birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik, dengan segera meninggalkan dan menanggalkan pendekatan kekuasaan. Beralih ke profesionalisme dalam mengoperasikan tugas dan wewenang sebagai pelaksana pelayanan publik dapat terwujud secara nyata.

DUKUNGAN PEMERINTAH
Pemerintah masih belum bisa mewajibkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menerapkan standar pelayanan publik karena belum ada peraturan teknis terkait pelaksanaan UU 25/2009. Peraturan Pemerintah (PP) yang merespon UU 25/2009 adalah PP 64/2012 tentang “SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PADA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”.
Deputi Bidang Pelayanan Publik, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Wiharto, mengatakan kewajiban penyusunan standar layanan publik sudah dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang layanan publik.

PP layanan publik, masih belum bisa ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena harus menunggu persetujuan 5 menteri perihal beberapa perubahan dalam beleid tersebut. RPP pelayanan publik harus terlebih dulu disetujui oleh Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri BUMN, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM.

PP itu sangat penting karena mewajibkan seluruh penyelenggara layanan publik merumuskan 14 komponen standar pelayanan publik bersama masyarakat dalam 6 bulan setelah PP diundangkan. Petunjuk teknisnya melalui peraturan menteri, semua harus ada standar termasuk pelayanan publik swasta.

Setelah standar dirumuskan, masyarakat memiliki acuan untuk mengadukan pelayanan yang buruk termasuk bisa meminta ganti rugi atas pelayanan yang tidak sesuai standar (diolah dari sumber : http://www.bisnis.com/ articles/layanan-publik -standar-penerapan-masih-disusun)

Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman atau ORI, adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyeleng -garakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD (UU 37/2008 tentang “OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”).

Pola sebaran penduduk Indonesia, secara geografis maupun administrattif,  dalam tatanan dan tataran perkotaan dan perdesaan, akan memperngaruhi skala prioritas pelayanan publik, bahkan bisa menentukan organisasi perangkat daerah. Dimaklumi, organisasi perangkat daerah provinsi tidak bisa tipikal, apalagi di tingkat kabupaten/kota, khususnya pada dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Aktivitas komersial masyarakat, mulai skala rumah tangga tentunya membutuhkan perijinan. Karena ketidaktahuan maupun tidak ingin repot dan berbelit, untuk sementara izin diabaikan atau direkayasa dengan pendekatan lingkungan.

Pasal 9 ayat (2) UU 25/2009 menyuratkan bahwa :
“Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu”.

Sistem pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan pengelolaan dalam pemberian pelayanan yang dilaksanakan dalam satu tempat dan dikontrol oleh sistem pengendalian manajemen guna mempermudah, mempercepat, dan mengurangi biaya.

TINGKAT KECAMATAN
Permendagri 4/2010 tentang “PEDOMAN PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN” telah menjawab dan menjabarkan Ps 9 (2) UU 25/ 2009.

Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan selanjutnya disingkat PATEN adalah penyelenggaraan pelayanan publik di kecamatan dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dalam satu tempat.

Fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah. Tugas camat seperti yang disuratkan dalam PP 19/2008 tentang “KECAMATAN”, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu fungsi yang utama, sehingga dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan yang dapat menjamin adanya hak dan kewajiban antara masyarakat sebagai pemohon layanan dengan aparat Kecamatan sebagai pemberi layanan.

Jenis pelayanan yang acap dilakukan di kecamatan Jombang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi setiap kepala seksi yang ada di kecamatan Jombang, kota Cilegon, provinsi Banten adalah sebagai berikut ( sumber : http: //kecjombang. cilegon.go.id/) :

A. SEKSI TATA PEMERINTAHAN
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2. Kartu Keluarga (KK)
3. Surat Keterangan Pindah
4. Legalisasi KTP/KK
5. Surat Keterangan KTP/KK Dalam Proses
6. Surat Keterangan Waris
7. Pelayanan Akta Jual Beli (AJB)
8. Hibah

B. SEKSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
1. Rekomendasi Surat Keterangan Tidak Mampu
2. Rekomendasi Surat Keterangan Penghasilan
3. Rekomendasi Nikah

C. SEKSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)

D. SEKSI KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN
1. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)
2. Surat Ijin Keramaian
3. Rekomendasi SITU
4. Rekomendasi Ijin Usaha (HO)

E. SEKRETARIAT
1. Surat Tunjangan Keluarga
2. Rekomendasi Surat Keterangan Penghasilan
3. Rekomendasi Surat Pensiun
4. Rekomendasi Surat Keterangan Permohonan KPR/Kredit Bank

Struktur organisasi di atas, menunjukkan aparat tingkat kecamatan siap tempur, menyajikan banyak pilihan layanan. Tentunya dilengkapi dengan tugas dan fungsi tiap seksi dan subseksi. Masalahnya, berita gembira ini tidak sampai di telinga masyarakat.
§  Masyarakat untuk bisa membaca, apalagi memahami struktur penyelenggara pelayanan publik yang cukup rinci ini, di mana?
§  Apakah masyarakat bisa langsung berhubungan dengan subseksi/sekretariat sesuai urusan kebutuhannya?
§  Apakah masyarakat mengetahui tata cara dan syarat berhubungan dengan pelaksana pelayanan publik?

BUTUH ANGGARAN
Dukungan pemerintah tidak hanya dengan produk hukum, sebagai payung hukum, sampai tingkat operasional, termasuk pada sistem pengganggran. Wujud  pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah.
Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan tiap tahun, selalu meningkat, bukan oleh hasil pelayanan publik yang akan diberikan oleh birokrasi pada masyarakatnya.

Instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Bagaimana dengan pelaksanaan di tingkat kabupaten/kota? Sebagai contoh, kebijakan Pemko Medan dinilai lebih banyak diserap ke arah pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik. Seperti jalan, drainase, peningkatan kualitas mutu pendidikan, kesehatan masyarakat dan mengurangi pengangguran kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran yang  yang diarahkan untuk pelayanan publik hanya 22,42% atau Rp 681,8 miliar dari total realisasi belanja daerah Rp 3,041 triliun.

Kalau dilihat secara rinci, kecenderungan tingginya belanja pegawai terhadap total belanja operasi pada angka 66,20%, atau sekitar Rp 2 Triliun. Kondisi ini memberikan gambaran kebijakan Pemko lebih banyak diserap ke arah pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik (sumber :http://www.hariansumut pos.com/2012/ 07/ 38003/belanja-pegawai-sedot-rp2-triliun).

Alokasi belanja pegawai terus tumbuh, tetapi tidak kunjung terkonversi signifikan dalam tingkat pelayanan publik. Alih-alih untuk menyuntikkan insentif progresif guna meningkatkan kesejahteraan pegawai, pertumbuhan itu ditengarai banyak terdistribusi untuk pemborosan karena struktur pegawai yang obesitas dan sistem penggajian yang tidak adil.

Belanja pegawai selama 2007-2012 tumbuh rata-rata 18,6% per tahun, mulai Rp 90,4 triliun atau 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2007 sampai menjadi Rp 212,3 triliun atau 2,5% terhadap PDB pada 2012. Porsinya terhadap total belanja negara pun meningkat, dari 11,9% pada 2007 menjadi 13,7% pada 2012.

Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, alokasi belanja pegawai bertambah menjadi lebih dari dua setengah kali lipat anggaran pada 2007. Nilainya direncanakan mencapai Rp 241,1 triliun atau 2,6% terhadap PDB. Dibandingkan dengan pagu pada APBN Perubahan 2012, anggaran tumbuh 28,9 triliun atau 13,6%.

Dalam RAPBN 2013 pemerintah mengalokasikan belanja pegawai pusat sebesar Rp 241,1 triliun, sedangkan untuk pegawai Pemda sebesar Rp 306 triliun. Alokasi anggaran belanja pegawai untuk pemerintah daerah ini berasal dari anggaran berbentuk DAU (dana alokasi Umum).

DAU bukan hanya untuk belanja pegawai saja, seharusnya dibagi juga untuk belanja pelayanan kepada masyarakat. Tetapi, banyak pemda tidak sanggup menggaji pegawai sendiri, terpaksa mempergunakan DAU ini sepenuhnya untuk belanja pegawai pemda, tentu dengan mengorbankan belanja untuk pelayanan publik. (sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/fitra-anggaran-belanja-pns-mengorbankan-pelayanan-publik.html).

TINJAUAN PRAKTEK TERBAIK
Pembuktian terbalik Praktek Terbaik (Best Practices) Pelayanan Publik di mata masyarakat yang dengan daya nalar sederhana, apa adanya, tanpa rekayasa, adalah :
§  tidak sekedar diukur dari adanya gedung pelayanan yang megah, luas, berdaya tampung banyak dan nyaman serta mudah didatangi dari segala penjuru;
§  tidak berdasarkan nama organisasi perangkat daerah atau organisasi penyelenggara yang berkesan keren, angker, dengan singkatan nama yang susah disebut apalagi diingat;
§  tidak dilihat karena banyaknya program/kegiatan yang dikampanyekan, ditawarkan, dipromosikan liwat spanduk, disosialisasikan dengan jasa media massa;
§  tidak identik dengan besarnya anggaran yang berhasil diserap tiap tahun anggaran atau meningkatnya anggaran pelayanan publik tiap tahun;
§  tidak hanya ditentukan oleh seragam atau atribut yang dipakai SDM, PNS, aparat birokrat sebagai pelaksanan pelayanan publik.

Publik hanya melihat manfaat pelayanan publik secara birokratis dengan kacamata, sesuai pepatah “tikus mati di lumbung”. Maknanya, manfaat pelayanan publik bisa dilihat jika terjadi perubahan di masyarakat, dalam bentuk antara lain :
§  Pergerakkan yang mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat;
§  Mitigasi konflik sosial akibat adanya alih fungsi perumahan dan kawasan permukiman menjadi kawasan komersial;
§  Masyarakat memulai dan terbiasa melakukan pekerjaan wiraswasta yang tidak mengandalkan sektor pertanian saja, namun dapat berkolaborasi dengan sektor pertanian;
§  Masyarakat mampu melaksanakan program/kegiatan pemerintah secara mandiri; menciptakan lapangan kerja berbasis rumah tangga, kelompok masyarakat; menciptakan peluang produktif dengan dukungan akademisi/ alumnus.
§  Masyarakat mendapatkan tingkat kemudahan berusaha (easy doing bisnis) secara formal baik dalam tingkat perusahaan atau usaha dengan dasar asas dari, untuk, oleh dan karena masyarakat.

Pelayanan publik berumpan balik dengan kemaslahatan masyarakat, terjadi korelasi dan interaksi secara dinamis. Pelaksana pelayanan publik yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksana pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Praktek terbaik pelayanan publik di suatu kabupaten/kota  tidak bisa diterapkan di kabupaten/kota lainnya, walaupun satu provinsi. Bahkan antar penyelenggara/organisasi penyelenggara pelayanan publik tidak bisa saling belajar. Masing-masing punya otoritas, baik karena sistem kerja yang dianut atau gaya aparat birokrat yang bertindak bak raja atau merasa sebagai yang mempunyai kantor.

TATA KELOLA
Penyelenggara pelayanan publik/organisasi peyelenggara pelayanan publik, dalam era Reformasi maupun tuntutan tata kelola pemerintahan yang baik,  harus peka terhadap tekanan publik.

Masyarakat yang tidak mempunyai posisi tawar bukannya tanpa daya, tanpa reaksi, tanpa gerakan perubahan. Tata kelola yang lebih baik dalam pengelolaan pelayanan publik akan lebih memberikan arti yang lebih bermakna terhadap implementasi perubahan yang dicanangkan.

Modernisasi pelayanan publik bukan hanya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, tetapi juga dalam pengelolaan pelayanan publik dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen korporasi profesional juga mengacu pada azas-azas tata kelola pelayanan publik yang baik.

Sebagai perusahaan yang bergerak di industri pelayanan publik, organisasi penyelenggara pelayanan publik memiliki komitmen yang kuat untuk menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat serta memberikan pelayanan yang senantiasa ditingkatkan.

Guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kegiatan dan perkembangan terkini, organisasi penyelenggara pelayanan publik menerapkan Sistem informasi pelayanan publik.

Sistem Informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.

Daya tanggap organisasi penyelenggara pelayanan publik terhadap tekanan publik :
§  Mengelak: tidak mengakui, bahkan bersikap acuh tak acuh, masa bodoh terhadap adanya masalah dalam kinerja layanan, sosial dan lingkungan;
§  Melawan:, sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat, menggunakan wewenang dan atau pengaruh di pengadilan
§  Mengelabui: menggunakan berbagai taktik untuk memberi kesan bahwa telah terjadi perubahan kinerja layanan, sosial dan lingkungan;
§  Mematuhi: membuat berbagai perubahan signifikan dalam kinerja layanan, sosial dan lingkungan.
§  Melampaui: melakukan perubahan kinerja sebelum mendapat tekanan.

RITUAL ADMINISTRASI
Masyarakat antri bayar tol, wajar, karena menikmati jalan bebas hambatan. Masyarakat mengikuti aturan main saat bayar pajak, semisal perpanjang STNK, wajar, karena hanya setahun sekali.

Masyarakat memasuki kuadran : “kalau bisa dipermudah kenapa harus diperlancar”. Masyarakat mendatangi kantor layanan publik sebagai kewajiban, untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Hak sipil, hak sosial, bahkan hak asasi manusia ditinggalkan dan ditanggalkan di rumah. Masyarakat membutuhkan jasa dan keahlian deretan manusia yang ada di kantor layanan publik.

Masyarakat dalam melaksanakan kewajiban, sehingga wajib datang sendiri ke kantor layanan, kendati untuk urusan komersial, usaha profit, maupun upaya berbasis fungsi Rp, tetap mengikuti rukun layanan yang sudah dijabarkan dalam Prosedur Operasi Standar (POS). Bisa-bisa, bisa terjadi biaya/tarif total tergantung prosedur, tergantung banyaknya meja yang diliwati, tergantung banyaknya aparat birokrat yang terlibat.

Di sisi lain, penyelenggara/organisasi penyelenggara/pelaksana pelayanan publik, yang merasa sebagai tuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang memposisikan diri sebagai raja, menjadi masalah kronis yang harus dikikis habis.

Reformasi birokrasi dimulai dari penyelenggara/organisasi penyelenggara/ pelaksana pelayanan publik. Pola Rotasi, Promosi dan Mutasi (RPM) perlu diterapkan pada para pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Pola RPM untuk menghindari kejenuhan dan kinerja jalan di tempat, agar setiap pelaksana bisa merasakan berbagai bentuk layanan, atau menghindari stigma tempat buangan ataupun tempat basah.

SIMPUL DAN SARAN
Bagi organisasi penyelenggara pelayanan publik, masyarakat merupakan salah satu pemangku kepentingan, sebagai mitra, bahkan sebagai mitra utama. Terjalinnya  interaksi yang dinamis dan harmonis antara organisasi penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat sangatlah penting guna mendukung keberlangsungan organisasi penyelenggara pelayanan publik secara jangka panjang.
Masyarakat diposisikan sebagai masukan (input) bagi terselenggaranya pelayanan publik, dari hulu sampai hilir. Waktu pelayanan publik sesuai jam kerja pelaksana pelayanan publik, kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik tidak dibatasi oleh waktu.

Penyelenggara/organisasi penyelenggara/pelaksana pelayanan publik wajib memiliki sifat Responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program/kegiatan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program / kegiatan pelayanan publik dengan kcbutuhan dan aspirasi.

Masyarakat dan bangsa Indonesia memang sangat heterogen, ada strata dan status sosial. Terdapat kesenjangan, serta berbagai dikotomi yang semakin memperkokoh adanya kasta dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Maka kearifan lokal, budaya lokal, adat istiadat serta kesolehan sosial menjadi acuan utama dalam menyelenggarakan/melaksanakan pelayanan publik.

---------------------------------------------------------------------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar