Halaman

Sabtu, 15 Agustus 2015

Proklamasi Dan Revolusi Perut Rakyat

Proklamasi Dan Revolusi Perut Rakyat

Perubahan keempat UUD 1945, Pasal 33 bertambah pada angka (4) yaitu :
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Sang penggagas perubahan secara politis, tentu mempunyai segudang impian agar ekonomi rakyat terkecukupan dalam skala harian, tiap hari. Bak burung terbang jelang fajar, menguber rezeki kesegala arah, pulang tembolok terisi penuh untuk disuapkan ke anaknya. Ekonomi nasional bukan merupakan akumulasi ekonomi daerah, lebih ke arah terasanya diwujudkan dalam ekonomi rakyat.

Dengan dalih dari, oleh, dan untuk rakyat maka rumusan ilmiah, formulasi formal, naskah akademis, kalkulasi untung-rugi secara politis, kemasan tampilan “ekonomi rakyat” tak jauh dari urusan isi perut. Mulai berapa kalori yang harus diasup tiap hari, jangan sampai busung lapar atau kekurangan gizi. Ada isitilah keluarga prasejahtera alasan ekonomi, ada raskin. Kerja hari ini untuk makan hari ini, begitu semboyan mereka.

Kita simak Pedoman Perencanaan Program “Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)”, versi 5 Sept ’12, khususnya pada : Visi gerakan 1000 HPK adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi untuk memenuhi hak dan berkembangnya potensi ibu dan anak. Serta Misi gerakan 1000 HPK: i. Menjamin kerjasama antar berbagai pemangku kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi setiap ibu dan anak. ii. Menjamin dilakukannya pendidikan gizi secara tepat dan benar untuk meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu dan anak.

Budaya instan menjadikan daya juang anak bangsa sesuai semboyan “modal minimal, hasil maksimal”. Artinya, peras keringat ala kadarnya, peras otak sesuai jam kerja, banting tulang sesuai upah. Tak beda jauh dengan ayam, tak ada yang tersisa apalagi bisa disimpan/ditabung. Dari kondisi seperti inilah yang melahirkan tatanan ekonomi rakyat. Pendekatannya tak perlu pendekatan ilmiah, akademis dan politis.

Betapa wong cilik, rakyat jelata, masyarakat papan bawah, komunitas marjinal, ternyata nyatanya ada yang menyantap daging setahun sekali, ketika Idhul Adha. Ada yang bisa pesta lima tahun sekali, tatkala ada pesta demokrasi. Jangan lupa, kawanan parpolis, khususnya yang menjadikan jabatan penyelenggara negara sebagai mata pencaharian, jelas akan alergi dengan istilah ekonomi rakyat.

 §   Bagaimana mau peka, peduli dan tanggap kalau gaya hidup, gengsi dan gaul jauh dari nuansa kesederhanaan.
 §   Bagaimana mau memperhatikan ekonomi rakyat, kalau yang dianutnya faham ekonomi pejabat alias ekonomi tujuh turunan.
 §   Bagaimana mau berjuang “merdeka atau mati” melawan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan jika amunisi yang digunakan adalah politik transaksional, ideologi Rp.
 §   Bagaimana mau berjibaku sampai titik darah penghabisan memperjuangkan nasib rakyat, karena kontrak politiknya hanya berlaku satu periode atau selama 5 (lima) tahun, itupun kalau tidak terjegal, terjerat, terjebak pasal tipikor.

Selama 70 tahun, urusan perut (jangan dikaitkan dengan urusan bawah perut) menjadi subyek, jargon pembangunan nasional, bahkan sampai periode 2014-2019 yang dijabarkan melalui Trisakti, butir ke-2  yaitu :
Berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional. Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat dan berdaulat dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat melalui penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara.

Berdikari adalah berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari dalam ekonomi, berarti mandiri total dari hulu hingga ke hilir. Dari produsen sampai masyarakat pengguna atau penerima manfaat. Diharapkan jangan sampai rakyat tidak bisa berfikir jernih karena perut keroncongan, lapar dan kenyang janji kampanye.

Ironis, jangan sampai terjadi Nilai Tukar Kawanan Parpolis mengalami impas, apalagi defisit. Idealnya, nilai tukar kawanan parpolis mengalami surplus alias akumulasi pendapatan/penghasilannya selama satu periode naik lebih besar dari pengeluarannya.

Ironis, bandar politik pengusung dan pendukung Jokowi-JK lebih suka berkipas-kipas, berleha-leha, tebar pesona senyum kiri kanan, nampang di acara kenegaraan, menikmati kemenangan. Karena urusan perut rakyat adalah menjadi tanggung jawab pribadi ybs. Tidak bisa dialihkan menjadi tanggung jawab negara. Karena rambut sama hitam, tapi beda isi perut. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar