Proklamasi Dan Revolusi Perut
Rakyat
Perubahan keempat UUD 1945, Pasal
33 bertambah pada angka (4) yaitu :
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sang penggagas perubahan secara
politis, tentu mempunyai segudang impian agar ekonomi rakyat terkecukupan dalam
skala harian, tiap hari. Bak burung terbang jelang fajar, menguber rezeki
kesegala arah, pulang tembolok terisi penuh untuk disuapkan ke anaknya. Ekonomi
nasional bukan merupakan akumulasi ekonomi daerah, lebih ke arah terasanya
diwujudkan dalam ekonomi rakyat.
Dengan dalih dari, oleh, dan
untuk rakyat maka rumusan ilmiah, formulasi formal, naskah akademis, kalkulasi
untung-rugi secara politis, kemasan tampilan “ekonomi rakyat” tak jauh dari
urusan isi perut. Mulai berapa kalori yang harus diasup tiap hari, jangan
sampai busung lapar atau kekurangan gizi. Ada isitilah keluarga prasejahtera
alasan ekonomi, ada raskin. Kerja hari ini untuk makan hari ini, begitu
semboyan mereka.
Kita simak Pedoman Perencanaan Program “Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)”, versi 5 Sept ’12, khususnya pada : Visi gerakan 1000 HPK adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan dan gizi untuk memenuhi hak dan berkembangnya potensi ibu dan
anak. Serta Misi gerakan 1000 HPK: i. Menjamin kerjasama antar berbagai
pemangku kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi setiap ibu dan
anak. ii. Menjamin dilakukannya pendidikan gizi secara tepat dan benar untuk
meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu dan anak.
Budaya instan menjadikan daya
juang anak bangsa sesuai semboyan “modal minimal, hasil maksimal”. Artinya,
peras keringat ala kadarnya, peras otak sesuai jam kerja, banting tulang sesuai
upah. Tak beda jauh dengan ayam, tak ada yang tersisa apalagi bisa disimpan/ditabung.
Dari kondisi seperti inilah yang melahirkan tatanan ekonomi rakyat.
Pendekatannya tak perlu pendekatan ilmiah, akademis dan politis.
Betapa wong cilik, rakyat jelata,
masyarakat papan bawah, komunitas marjinal, ternyata nyatanya ada yang menyantap
daging setahun sekali, ketika Idhul Adha. Ada yang bisa pesta lima tahun
sekali, tatkala ada pesta demokrasi. Jangan lupa, kawanan parpolis, khususnya
yang menjadikan jabatan penyelenggara negara sebagai mata pencaharian, jelas
akan alergi dengan istilah ekonomi rakyat.
§
Bagaimana mau peka, peduli dan
tanggap kalau gaya hidup, gengsi dan gaul jauh dari nuansa kesederhanaan.
§
Bagaimana mau memperhatikan
ekonomi rakyat, kalau yang dianutnya faham ekonomi pejabat alias ekonomi tujuh
turunan.
§
Bagaimana mau berjuang “merdeka
atau mati” melawan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan jika amunisi yang digunakan
adalah politik transaksional, ideologi Rp.
§
Bagaimana mau berjibaku sampai
titik darah penghabisan memperjuangkan nasib rakyat, karena kontrak politiknya
hanya berlaku satu periode atau selama 5 (lima) tahun, itupun kalau tidak
terjegal, terjerat, terjebak pasal tipikor.
Selama 70 tahun, urusan perut
(jangan dikaitkan dengan urusan bawah perut) menjadi subyek, jargon pembangunan
nasional, bahkan sampai periode 2014-2019 yang dijabarkan melalui Trisakti,
butir ke-2 yaitu :
Berdikari dalam
ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi
ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan
keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi
nasional. Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat
dan berdaulat dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat melalui
penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak
dasar warga negara.
Berdikari adalah
berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari dalam ekonomi, berarti mandiri total
dari hulu hingga ke hilir. Dari produsen sampai masyarakat pengguna atau
penerima manfaat. Diharapkan jangan sampai rakyat tidak bisa berfikir jernih
karena perut keroncongan, lapar dan kenyang janji kampanye.
Ironis, jangan sampai terjadi
Nilai Tukar Kawanan Parpolis mengalami impas, apalagi defisit. Idealnya, nilai
tukar kawanan parpolis mengalami surplus alias akumulasi pendapatan/penghasilannya
selama satu periode naik lebih besar dari pengeluarannya.
Ironis, bandar
politik pengusung dan pendukung Jokowi-JK lebih suka berkipas-kipas,
berleha-leha, tebar pesona senyum kiri kanan, nampang di acara kenegaraan, menikmati
kemenangan. Karena urusan perut rakyat adalah menjadi tanggung jawab pribadi
ybs. Tidak bisa dialihkan menjadi tanggung jawab negara. Karena rambut sama
hitam, tapi beda isi perut. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar