memformat ulang wahana juang umat
Islam
Kilas balik, pada tanggal 8-11 Februari 2015 di
Yogyakarta telah digelar Kongres Umat
Islam Indonesia (KUII) ke-VI. Pertemuan berskala nasional membahas sejumlah
masalah strategis melalui tema 'Penguatan Peran Politik, Ekonomi dan Sosial
Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban'.. KUII 5
tahunan tersebut merupakan kongres keenam yang diselenggarakan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Peserta yang hadir terdiri atas pimpinan MUI Pusat,
pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, pimpinan ormas/lembaga islam, pimpinan
pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, tokoh/cendekiawan muslim dan tamu
undangan khusus dari dalam dan luar negeri.
KUII ke-VI menghasilkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan
kepada pemerintah, politikus, dan seluruh umat Islam di Indonesia. 7 seruan hasil KUII ke-VI meliputi :
§
Seruan pertama,
kepada seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk merapatkan barisan dan
mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis. Persatuan ini baik di
organisasi, lembaga Islam, maupun partai politik.
§
Seruan kedua, menyeru
kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan
praktik politik yang ber-akhlaqul karimah.
§
Seruan ketiga,
menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran,
keamanan dan kedamaian bangsa.
§
Seruan
keempat, kepada seluruh umat Islam untuk bangkit memberdayakan diri,
mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas umat, dan meningkatkan peranan
kaum perempuan dalam perekonomian.
§
Seruan kelima,
adalah kepada pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan
menghindar dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya
bangsa.
§
Seruan keenam,
menyatakan keprihatinan yang mendalam atas bergesernya tata ruang kehidupan
Indonesia di banyak daerah di Indonesia yang meninggalkan ciri keislaman dan
Indonesia.
§
Seruan ketujuh,
terkait kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia, khususnya Asia yang
dinilai mengalami perlakuan diskriminasi.
Kepala negara memang bukan khalifah, bukan pimpinan umat apalagi pimpinan
agama, tetapi jabatan pimpinan formal rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat.
Parpol Islam (baca, partai berbasis Islam) fokus dan konsentrasi mengurus
urusan negara, sehingga urusan umat menjadi urusan cadangan. Urusan umat seolah
menjadi tanggung jawab ulama, mubaligh, ustadz, dai, pondok pesantren. Tradisi
ormas Islam macam Muhammadiyah dan NU yang bermain politik, hanya berasas : ‘tidak
ada kawan sejati maupun lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan’
Umat
Islam harus bersikap realistis dalam menyikapi kondisi faktual dan aktual. Dinamika
kehidupan sebagai konsekuensi logis
hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tepatnya, sebagai warga negara,
penduduk maupun keluarga yang terikat dalam teritorial dan batas administrasi
tertentu, mau tak mau wajib mengutamakan, mengedepankan, mendahulukan
persaudaraan (ukhuwah). Khususnya persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah
wathaniyah.
Umat
Islam tidak bisa menggunakan secara formal kriteria memilih imam sholat
berjamaah untuk diterapkan dalam pemilihan presiden. Sebagai individu, ukhuwah
wathaniyah sebagai dasar menentukan pilihan, walau tidak bisa ideal. Ikatan
ideologis para petarung dan petaruh politik tergantung kepentingan. Koalisi
adalah bagi hasil berhala Reformasi yaitu kekuasaan, kekayaan dan kekuatan
sampai tingkat kelurahan/desa. Koalisi merupakan kutub politik dampak dari
politik transaksional, ideologi Rp. Ikatan moral menjadi barang langka di
panggung politik.
Lepas dari kontribusi, kiprah dan kinerja
MUI, kenyataan dikehidupan sehari-hari peran ustadz, ulama atau ‘pak haji’ menempati
posisi yang unik dalam struktur dan strata sosial masyarakat. Mereka secara
alami diposisikan sebagai tokoh masyarakat. . Gelar, sebutan atau panggilan ‘pak
haji’, ‘ustadz’ dan ulama lahir secara alamiah,
naluriah dari masyarakat religi. Bukan pelabelan dari pemerintah, khususnya
harus melalui proses sertifikasi untuk ulama.
Umat Islam yang bertempat tinggal di perumahan dan
kawasan permukiman yang dilengkapi masjid terlebih adanya DKM (dewan kemakmuran
masjid), mulai dari tingkat RT/RW, terbiasa merapatkan barisan, terbiasa mempraktekkan adab bertetangga, terbiasa
melaksanakan urusan dan aturan ‘hablumminannas’ – sebagai wahana juang umat Islam. Firman dan ketetapan Allah ikhwal ‘barisan’ sesuai [QS Ash Shaff (6) : 4] : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
‘berperang
dijalan-Nya’ harus
kita terjemahkan dan maknai secara luas, luwes, dan dinamis, tidak sekedar pasal siap jihad,
berjibaku.
Justru parpol Islam,
ormas Islam bahkan MUI jangan sampai menciderai ketahanan umat Islam yang
selama ini telah terjalin. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar