Halaman

Selasa, 18 Agustus 2015

memformat ulang wahana juang umat Islam

memformat ulang wahana juang umat Islam

Kilas balik, pada tanggal 8-11 Februari 2015 di Yogyakarta telah digelar  Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI. Pertemuan berskala nasional membahas sejumlah masalah strategis melalui tema 'Penguatan Peran Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban'.. KUII 5 tahunan tersebut merupakan kongres keenam yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Peserta yang hadir terdiri atas pimpinan MUI Pusat, pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, pimpinan ormas/lembaga islam, pimpinan pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, tokoh/cendekiawan muslim dan tamu undangan khusus dari dalam dan luar negeri.

KUII ke-VI menghasilkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah, politikus, dan seluruh umat Islam di Indonesia. 7 seruan hasil KUII ke-VI meliputi :
 §    Seruan pertama, kepada seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis. Persatuan ini baik di organisasi, lembaga Islam, maupun partai politik.
 §    Seruan kedua, menyeru kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang ber-akhlaqul karimah.
 §    Seruan ketiga, menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keamanan dan kedamaian bangsa.
 §    Seruan keempat, kepada seluruh umat Islam untuk bangkit memberdayakan diri, mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas umat, dan meningkatkan peranan kaum perempuan dalam perekonomian.
 §    Seruan kelima, adalah kepada pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindar dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya bangsa.
 §    Seruan keenam, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas bergesernya tata ruang kehidupan Indonesia di banyak daerah di Indonesia yang meninggalkan ciri keislaman dan Indonesia.
 §    Seruan ketujuh, terkait kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia, khususnya Asia yang dinilai mengalami perlakuan diskriminasi.

Kepala negara memang bukan khalifah, bukan pimpinan umat apalagi pimpinan agama, tetapi jabatan pimpinan formal rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Parpol Islam (baca, partai berbasis Islam) fokus dan konsentrasi mengurus urusan negara, sehingga urusan umat menjadi urusan cadangan. Urusan umat seolah menjadi tanggung jawab ulama, mubaligh, ustadz, dai, pondok pesantren. Tradisi ormas Islam macam Muhammadiyah dan NU yang bermain politik, hanya berasas : ‘tidak ada kawan sejati maupun lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan’

Umat Islam harus bersikap realistis dalam menyikapi kondisi faktual dan aktual. Dinamika kehidupan sebagai  konsekuensi logis hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tepatnya, sebagai warga negara, penduduk maupun keluarga yang terikat dalam teritorial dan batas administrasi tertentu, mau tak mau wajib mengutamakan, mengedepankan, mendahulukan persaudaraan (ukhuwah). Khususnya persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah.

Umat Islam tidak bisa menggunakan secara formal kriteria memilih imam sholat berjamaah untuk diterapkan dalam pemilihan presiden. Sebagai individu, ukhuwah wathaniyah sebagai dasar menentukan pilihan, walau tidak bisa ideal. Ikatan ideologis para petarung dan petaruh politik tergantung kepentingan. Koalisi adalah bagi hasil berhala Reformasi yaitu kekuasaan, kekayaan dan kekuatan sampai tingkat kelurahan/desa. Koalisi merupakan kutub politik dampak dari politik transaksional, ideologi Rp. Ikatan moral menjadi barang langka di panggung politik.

Lepas dari kontribusi, kiprah dan kinerja MUI, kenyataan dikehidupan sehari-hari peran ustadz, ulama atau ‘pak haji’ menempati posisi yang unik dalam struktur dan strata sosial masyarakat. Mereka secara alami diposisikan sebagai tokoh masyarakat. . Gelar, sebutan atau panggilan ‘pak haji’,  ‘ustadz’ dan ulama lahir secara alamiah, naluriah dari masyarakat religi. Bukan pelabelan dari pemerintah, khususnya harus melalui proses sertifikasi untuk ulama.

Umat Islam yang bertempat tinggal di perumahan dan kawasan permukiman yang dilengkapi masjid terlebih adanya DKM (dewan kemakmuran masjid), mulai dari tingkat RT/RW, terbiasa merapatkan barisan, terbiasa mempraktekkan adab bertetangga, terbiasa melaksanakan urusan dan aturan ‘hablumminannas’ – sebagai wahana juang umat Islam.  Firman dan ketetapan Allah ikhwal ‘barisan’ sesuai [QS Ash Shaff (6) : 4] : Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.

‘berperang dijalan-Nya’ harus kita terjemahkan dan maknai secara luas,  luwes, dan dinamis, tidak sekedar pasal siap jihad, berjibaku.

Justru parpol Islam, ormas Islam bahkan MUI jangan sampai menciderai ketahanan umat Islam yang selama ini telah terjalin. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar