Halaman

Jumat, 07 Agustus 2015

ketika presiden hanya sebagai boneka politik

ketika presiden hanya sebagai boneka politik

Joko Widodo bisa menjadi presiden karena memakai kendaraan politik. Ironis, setelah jadi presiden sifat menghambanya ke partai politik pengusungnya masih kental, nyata dan berkelanjutan. PDIP merasa Jokowi sebagai hak milik, yang bebas diatur, dikendalikan sekaligus harus tunduk, patuh dan taat pada komando bandar politik. Kebjiakan partai menjadi penentu kebijakan yang akan dilakukan presiden.

Joko Widodo merasa bukan milik rakyat, wajar kalau blusukan agar seolah dekat dengan rakyat. Modus operandi para oknum di lingkar pertama, menjadikan Jokowi semakin terasing dari rakyat, semakin ada jarak dengan rakyat. Dampak politik transaksional semakin menjerat dan menjebak langkah nyata presiden. Presiden tinggal menjalankan petunjuk, arahan dan pasal konspirasi internasional sampai konspirasi lokal.

Joko Widodo semakin tidak sempat bercermin, mematut diri, apalagi mengevaluasi diri sendiri sejak dini. Justru sibuk mencari tampilan diri untuk menutupi rasa kurang percaya diri. Mencari ekspresi bicara agar nampak sebagai pemikir, hemat bicara boros kerja. Mencari stelan busana pantas pakai yang bisa mendongkrak citra diri. Mencari gaya sisiran rambut yang menunjukkan kadar isi kepala.. Mencari cara sapa, salam dan senyum untuk dihafalkan sesuai lingkungan. Mencari irama jalan agar nampak berbobot, sopan dan bermartabat.

Joko Widodo alpa dan lupa bahwa manusia tidak bisa, tidak mampu melihat dirinya sendiri. Membaca siapa aku, siapa diriku sebenarnya. Butuh bantuan orang lain, dengan tujuan agar lebih benar dan lebih baik. Walau betapa pahit yang dikatakan orang. Orang lain akan jujur melihat diri kita.

Ketika ada yang memberi masukan (bentuk penghalusan makna : kritik, caci, maki, cerca, cela, hujat, hardik, sindir, sentil, jewer, protes, saran, himbau, tuding), ada yang mengingatkan, malah diartikan masuk pasal penghinaan, masuk kategori menghujat. Justru yang memakai pasal menjilat, yang akan menjerumuskannya.

Memang, memberi masukan butuh ilmu. Ada rukunnya, bahkan agama juga punya resep jitu cara memberi nasihat, saling mengingatkan. Apalagi masukan kepada yang bukan satu level, bukan satu kasta. Bisa-bisa bisa bak meludah ke atas, terpercik wajah sendiri. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar