Halaman

Sabtu, 29 Agustus 2015

revolusi mental kriminalisasi Nusantara, tepat skenario vs tepat anggaran

revolusi mental kriminalisasi Nusantara, tepat skenario vs tepat anggaran

Namanya saja anak, balita atau seusia anak didik awal SD, saat terjadi konflik, paling seru cuma baku mulut. Yang tidak bisa menerima dan mencerna kenyataan, pulang menangis mengadu ke emaknya. Tak lama balik ke tempat permainan. Semua kejadian terlupakan di benaknya. Akrab tanpa disuruh orangtuanya. Permainan, gurauan berlanjut tanpa ada kejengkelan.

Namanya penyelenggara negara, dengan tugas dan fungsi seolah bertolak belakang, kontradiksi, atau saling mengincar kaki lawan. 
 §   Merasa mempunyai otoritas tunggal di bawah ketiak kepala negara.
 §   Merasa sebagai penguasa siang malam atas nama negara.
 §   Merasa kebal hukum dan tidak bisa diganggu gugat lewat pengadilan.
 §   Merasa mempunyai wewenang, kewenangan dan kesewenangan bertindak tanpa pandang bulu dan pasal atas nama citra RI di mata dunia.
 §   Merasa yang paling bertanggung jawab terwujudnya pertahanan dan keamanan.
 §   Merasa mempunyai sayap karena dipilih langsung oleh rakyat.
 §   Merasa sebagai pengatur yang menentukan nasib dan urusan perut rakyat.
 §   Merasa paling digdaya karena tanda tangannya sakti, ampuh dan manjur.
 §   Merasa sebagai yang paling piawai, sangat lihai, super ahli dalam mengatur lalu lintas uang.
 §   Merasa jawara, jago sebagai kawanan parpolis pemenang tunggal/juara umum pesta demokrasi.
 §   Merasa sebagai perpanjangan tangan konspirasi internasional yang mengedepankan dalih dan dalil kepentingan dunia.

Walhasil, penyelenggara negara sebagai anak bangsa yang bermartabat, berklas berat, berkualitas, bergengsi ternyata malah menjadi ahli menyimpan dan memendam bara dendam. Konflik adu kuasa, adu kuat, adu kaya melebihi tawuran antar anak SMA, antar warga beda kampung. Konflik bisa berkelanjutan antar periode, antar angkatan, antar pimpinan kelompok. Dendam bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Mengelola konflik secara cerdas, masif dan berkelanjutan. Apalagi ada anggaran konflik yang harus dipertanggungjawabkan, minimal dalam bentuk laporan berkala.

Konflik terjadi karena daerah atau wilayah kekuasaan sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”, ATM mobilenya, sistem penjatahannya terusik, terganggu bahkan dirongrong, direcoki pihak lain. Balas jasa sekaligus balas dendam tidak hanya sekedar bagi kursi kekuasaan secara politis, tetapi merambah ke semua sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Konflik sebagai imbas, efek, dampak politik transaksional, ideologi berbasis Rp. Konflik akibat tumpah tindih skenario yang seharusnya sinerji di lapangan, tidak sekedar kesepakatan antar elit, tidak sekedar MOU antar pucuk pimpinan. Modus operandi dan solidaritasnya melebihi preman yang menguasai parkir dan keamanan di kawasan perdagangan.[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar