revolusi mental kriminalisasi Nusantara, tepat skenario
vs tepat anggaran
Namanya saja anak, balita
atau seusia anak didik awal SD, saat terjadi konflik, paling seru cuma baku
mulut. Yang tidak bisa menerima dan mencerna kenyataan, pulang menangis mengadu
ke emaknya. Tak lama balik ke tempat permainan. Semua kejadian terlupakan di
benaknya. Akrab tanpa disuruh orangtuanya. Permainan, gurauan berlanjut tanpa
ada kejengkelan.
Namanya penyelenggara negara,
dengan tugas dan fungsi seolah bertolak belakang, kontradiksi, atau saling
mengincar kaki lawan.
§
Merasa mempunyai otoritas
tunggal di bawah ketiak kepala negara.
§
Merasa sebagai
penguasa siang malam atas nama negara.
§
Merasa kebal hukum
dan tidak bisa diganggu gugat lewat pengadilan.
§
Merasa mempunyai
wewenang, kewenangan dan kesewenangan bertindak tanpa pandang bulu dan pasal
atas nama citra RI di mata dunia.
§
Merasa yang paling
bertanggung jawab terwujudnya pertahanan dan keamanan.
§
Merasa mempunyai sayap
karena dipilih langsung oleh rakyat.
§
Merasa sebagai
pengatur yang menentukan nasib dan urusan perut rakyat.
§
Merasa paling digdaya
karena tanda tangannya sakti, ampuh dan manjur.
§
Merasa sebagai yang paling
piawai, sangat lihai, super ahli dalam mengatur lalu lintas uang.
§
Merasa jawara, jago
sebagai kawanan parpolis pemenang tunggal/juara umum pesta demokrasi.
§
Merasa sebagai perpanjangan
tangan konspirasi internasional yang mengedepankan dalih dan dalil kepentingan
dunia.
Walhasil, penyelenggara
negara sebagai anak bangsa yang bermartabat, berklas berat, berkualitas,
bergengsi ternyata malah menjadi ahli menyimpan dan memendam bara dendam. Konflik
adu kuasa, adu kuat, adu kaya melebihi tawuran antar anak SMA, antar warga beda
kampung. Konflik bisa berkelanjutan antar periode, antar angkatan, antar
pimpinan kelompok. Dendam bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Mengelola
konflik secara cerdas, masif dan berkelanjutan. Apalagi ada anggaran konflik
yang harus dipertanggungjawabkan, minimal dalam bentuk laporan berkala.
Konflik terjadi karena
daerah atau wilayah kekuasaan sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”,
ATM mobilenya, sistem penjatahannya terusik, terganggu bahkan dirongrong,
direcoki pihak lain. Balas jasa sekaligus balas dendam tidak hanya sekedar bagi
kursi kekuasaan secara politis, tetapi merambah ke semua sendi kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Konflik sebagai imbas, efek, dampak
politik transaksional, ideologi berbasis Rp. Konflik akibat tumpah tindih skenario
yang seharusnya sinerji di lapangan, tidak sekedar kesepakatan antar elit, tidak
sekedar MOU antar pucuk pimpinan. Modus operandi dan solidaritasnya melebihi
preman yang menguasai parkir dan keamanan di kawasan perdagangan.[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar