Halaman

Sabtu, 01 Agustus 2015

modus operandi pilkada serentak : lembaga survei vs media massa

modus operandi pilkada serentak : lembaga survei vs media massa

Dalam hal kebaikan dan kebenaran, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi dengar apa yang disampaikannya. Sering dari orang yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ secara tak terduga bisa mencapaikan gagasan, ide yang cemerlang. Acap dari orang yang kita cap sebagai ‘tak makan bangku sekolah’ mampu melahirkan kegiatan yang bermanfaat.

Apakah apa yang diutarakan, dijabarkan, dibeberkan, dipromosikan, dikoarkan oleh lembaga survei dan media massa tentang kadar, kualitas dan kandungan kandidat peserta pilkada serentak, otomatis akan memompa citra diri, mendongkrak popularitas, menggandakan nilai jual. Tidak bisa kita pungkiri bahwa peran lembaga survei dan media massa sebagai faktor pengaruh pemenangan pilkada.

Jangan lupa, maraknya lembaga survei berbayar serta kefasikan media massa menjadikan tidak netral, steril, suci hama apalagi bebas intervensi (terutama intervensi Rp).  Media massa sebagai bagian dari industri politik milik perorangan atau konglomerasi, punya misi tersendiri. Lembaga survei merupakan ‘pengacara politik’, bisa mengenyampingkan derajat keilmuan, lebih tergoda negosiasi.

Masyarakat, rakyat, penduduk, warga negara Nusantara, pasca Reformasi semakin melek politik. Melihat kiprah, kinerja, kontribusi kawanan parpolis tingkat nasional yang sering muncul, tampil, nongol, jual tampang di media massa, malah menjadikan rakyat alergi, bahkan bisa antipati.

Di tingkat kabupaten/kota, jalur politik sebagai atau dianggap jalan tikus untuk mencapai tujuan, jalan sesat untuk tujuan sesaat. Yang mau berkeringat bersama rakyat, yang dicari. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar