modus operandi
pilkada serentak : lembaga survei vs media massa
Dalam hal kebaikan dan kebenaran, jangan lihat siapa yang menyampaikan
tetapi dengar apa yang disampaikannya. Sering dari orang yang kita anggap ‘anak
kemarin sore’ secara tak terduga bisa mencapaikan gagasan, ide yang cemerlang. Acap
dari orang yang kita cap sebagai ‘tak makan bangku sekolah’ mampu melahirkan
kegiatan yang bermanfaat.
Apakah apa yang diutarakan, dijabarkan, dibeberkan, dipromosikan, dikoarkan
oleh lembaga survei dan media massa tentang kadar, kualitas dan kandungan kandidat
peserta pilkada serentak, otomatis akan memompa citra diri, mendongkrak
popularitas, menggandakan nilai jual. Tidak bisa kita pungkiri bahwa peran lembaga
survei dan media massa sebagai faktor pengaruh pemenangan pilkada.
Jangan lupa, maraknya lembaga survei berbayar serta kefasikan media massa
menjadikan tidak netral, steril, suci hama apalagi bebas intervensi (terutama
intervensi Rp). Media massa sebagai
bagian dari industri politik milik perorangan atau konglomerasi, punya misi
tersendiri. Lembaga survei merupakan ‘pengacara politik’, bisa mengenyampingkan
derajat keilmuan, lebih tergoda negosiasi.
Masyarakat, rakyat, penduduk, warga negara Nusantara, pasca Reformasi
semakin melek politik. Melihat kiprah, kinerja, kontribusi kawanan parpolis
tingkat nasional yang sering muncul, tampil, nongol, jual tampang di media
massa, malah menjadikan rakyat alergi, bahkan bisa antipati.
Di tingkat kabupaten/kota, jalur politik sebagai atau dianggap jalan tikus
untuk mencapai tujuan, jalan sesat untuk tujuan sesaat. Yang mau berkeringat
bersama rakyat, yang dicari. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar