mana yang lebih dahulu ”pemimpin yang adil” atau “masyarakat adil dan makmur”
Kata ‘adil’ menjadi ambigu, bermakna
lebih dari satu. Diterapkan di kehidupan berbangsa dan bernegara, sangat
kondisional, menjadi katalisator, dinamisator dan akselerator. ‘Adil’ bisa sebagai
syarat, contoh pada frasa “pemimpin yang adil”. ‘Adil’ bisa sebagai tujuan
maupun tolok ukur, contoh pada frasa “masyarakat adil dan makmur”.
Padahal, jika kita mengacu Pembukaan
(preambule) UUD 1945 alenia kedua:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Masyarakat adil dan makmur,
dijadikan target, tujuan, dan sasaran pembangunan nasional, katakanlah oleh
semua presiden. De facto, sudah terdapat masyarakat makmur. Di era
Reformasi, terlacak adanya orang kaya baru (OKB) tersebar menjadi status baru,
yaitu masyarakat papan atas, kasta raja, strata sosial tinggi, milyarder, konglomerat.
Bahkan orang kaya Indonesia masuk kategori atau tingkat Asia. OKB tenar di
zaman Orde Lama. OKB sekarang, berangkat dari berbagai profesi, tak terkecuali
pengusaha politik, pengusaha media massa.
Ironis, mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, entah sudah berhasil atau hanya wacana di atas kertas, seolah
bangsa ini tak kurang akal. Entah karena masyarakat sudah jenuh, akhirnya
muncul frasa “masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera”. Terbukti di UU
30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, pada Menimbang
huruf a :
bahwa dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan
nasional;
Mulai pesta demokrasi 2004,
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, rakyat Indonesia seolah selalu
mengharapkan turunnya, munculnya, tampilnya ‘Ratu Adi’. Cita-cita rakyat
Indonesia adalah cukup sederhana dan realistis. ‘Pemimpin yang adil’ malah
menjadi fenomena, fatamorgana walau futuristik.
Karena, dampak pilpres, banyak
oknum anak bangsa menjadikan presiden sebagai jabatan formal. Yang diraih
melalui lelang politik, melalui jual beli suara, melalui politik transaksional.
Daya jual bakal calon presiden, dalam bentuk popularitas, elektabilitas menjadi
syarat utama tak tertulis, namun masih kalah dengan ‘daya beli kursi’. Jangan heran, ada yang berpengalaman menjadi
capres. Posisi ketua umum partai politik atau dikenal dengan sebutan bandar
politik menjadi tiket untuk ikut pilpres.
Biaya politik menjadikan harga
kursi presiden semakin tak terukur, menjadi liar. Konspirasi inernasional malah
menjadikan harga kursi presiden tak ada artinya. Siapa yang pantas, layak,
patut sesuai standar mereka, yang akan didukung, yang akan dibiayai. Artinya,
masa depan bangsa, negara dan masyarakat sudah tergadaikan.
Rekam jejak politik menjadi syarat utama maju di
pilpres, bahkan di pilkada serentak, menjadikan ‘pemimpin yang adil’ hanya
sebagai mimpi demokrasi. Rumusan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera,
merupakan sisi lain maraknya praktek tindak pidana korupsi sebagai hasil
politik transaksional. Di periode 2014-2019, antara kapasitas kelembagaan politik dan
kapasitas tata kelola pemerintahan (governance) memasuki kuadran saling
melemahkan-saling menyalahkan. Walhasil, akuntabilitas layanan publik atau
terwujudnya kesejahteraan masyarakat semakin jauh dari harapan. Dalam batas
Kesejahteraan Sosial pun sulit diwujudkan.
Jadi, mana yang
lebih dahulu?[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar