Halaman

Sabtu, 08 Agustus 2015

mana yang lebih dahulu ”pemimpin yang adil” atau “masyarakat adil dan makmur”

mana yang lebih dahulu ”pemimpin yang adil” atau “masyarakat adil dan makmur


Kata ‘adil’ menjadi ambigu, bermakna lebih dari satu. Diterapkan di kehidupan berbangsa dan bernegara, sangat kondisional, menjadi katalisator, dinamisator dan akselerator. ‘Adil’ bisa sebagai syarat, contoh pada frasa “pemimpin yang adil”. ‘Adil’ bisa sebagai tujuan maupun tolok ukur, contoh pada frasa “masyarakat adil dan makmur”.

Padahal, jika kita mengacu Pembukaan (preambule) UUD 1945 alenia kedua:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Masyarakat adil dan makmur, dijadikan target, tujuan, dan sasaran pembangunan nasional, katakanlah oleh semua presiden. De facto, sudah terdapat masyarakat makmur. Di era Reformasi, terlacak adanya orang kaya baru (OKB) tersebar menjadi status baru, yaitu masyarakat papan atas, kasta raja, strata sosial tinggi, milyarder, konglomerat. Bahkan orang kaya Indonesia masuk kategori atau tingkat Asia. OKB tenar di zaman Orde Lama. OKB sekarang, berangkat dari berbagai profesi, tak terkecuali pengusaha politik, pengusaha media massa.

Ironis, mewujudkan masyarakat adil dan makmur, entah sudah berhasil atau hanya wacana di atas kertas, seolah bangsa ini tak kurang akal. Entah karena masyarakat sudah jenuh, akhirnya muncul frasa “masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera”. Terbukti di UU 30/2002 tentang “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, pada Menimbang huruf a :
bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;


Mulai pesta demokrasi 2004, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, rakyat Indonesia seolah selalu mengharapkan turunnya, munculnya, tampilnya ‘Ratu Adi’. Cita-cita rakyat Indonesia adalah cukup sederhana dan realistis. ‘Pemimpin yang adil’ malah menjadi fenomena, fatamorgana walau futuristik.

Karena, dampak pilpres, banyak oknum anak bangsa menjadikan presiden sebagai jabatan formal. Yang diraih melalui lelang politik, melalui jual beli suara, melalui politik transaksional. Daya jual bakal calon presiden, dalam bentuk popularitas, elektabilitas menjadi syarat utama tak tertulis, namun masih kalah dengan ‘daya beli kursi’. Jangan heran, ada yang berpengalaman menjadi capres. Posisi ketua umum partai politik atau dikenal dengan sebutan bandar politik menjadi tiket untuk ikut pilpres.

Biaya politik menjadikan harga kursi presiden semakin tak terukur, menjadi liar. Konspirasi inernasional malah menjadikan harga kursi presiden tak ada artinya. Siapa yang pantas, layak, patut sesuai standar mereka, yang akan didukung, yang akan dibiayai. Artinya, masa depan bangsa, negara dan masyarakat sudah tergadaikan.

Rekam jejak politik menjadi syarat utama maju di pilpres, bahkan di pilkada serentak, menjadikan ‘pemimpin yang adil’ hanya sebagai mimpi demokrasi. Rumusan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, merupakan sisi lain maraknya praktek tindak pidana korupsi sebagai hasil politik transaksional. Di periode 2014-2019, antara kapasitas kelembagaan politik dan kapasitas tata kelola pemerintahan (governance) memasuki kuadran saling melemahkan-saling menyalahkan. Walhasil, akuntabilitas layanan publik atau terwujudnya kesejahteraan masyarakat semakin jauh dari harapan. Dalam batas Kesejahteraan Sosial pun sulit diwujudkan.

Jadi, mana yang lebih dahulu?[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar