mengantisipasi kelangkaan ulama
Nusantara jalur independen
Belajar bahasa Indonesia saat saya duduk di bangku Sekolah Rakyat
(SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), kami terima dengan rasa heran. Perbendaharaan
kata bertambah, ada berbagai sebutan untuk anak. Keheranan karena jika
dibandingkan dengan bahasa lokal, bahasa Jawa ngoko, bisa jadi bahan gojekan
(lelucon). Yang masih saya ingat sampai sekarang yaitu ada istilah : anak alim,
yatim piatu serta laki bini, tempik sorak. Peribahasa ‘susu sebelanga’ bisa
salah tafsir. Bahkan nama binatang bisa di-Indonesia-kan, misal bajing menjadi
tupai, asu menjadi anjing. Bahasa Jawa mempunyai kelebihan perbendaharaan kata
dibanding bahasa Indonesia. Misal, anak anjing dalam bahasa Indonesia tidak ada
penamaan khusus, memakai bahasa Jawa, anak anjing disebut kirik. Biji
salak disebut kentos.
Makna ‘anak alim’ saat itu, sesuai perbendaharaan kata yang ada,
adalah anak yang pendiam. Kalau ditambah, sesuai penjelasan guru agama, adalah
anak yang tidak nakal; nurut sama orang tua, guru; anak sing ora
neko-neko (yang tidak macam-macam). ‘Alim’ yang nyata jika menjadi nama
orang., pasti orangnya alim. Kata ‘alim’ berubah martabat, muncul pandananannya
menjadi ‘alim ulama’. Teman yang tidak masuk kategori ‘anak alim’, karena ulah
geraknya, namun tertutup oleh tetenger ‘anak haji’. ‘Ulama’ lebih
diartikan hanya milik NU. Tak pelak, bayangan saya saat itu, yang disebut ‘ulama’
adalah yang pakai sarung, kepala ditutup peci. SR kami terletak di kota Yogyakarta.
Di kota Yogyakarta ada kampung Kauman, tempat kelahiran pendiri Muhammadiyah. Karena
‘Muhammadiyah’ tidak pakai kata ‘ulama’, kami artikan jangan-jangan bukan
kumpulan ulama.
Beda zaman, beda perbendaharaan kata. Ketika anak saya duduk di
bangku SD, muncul ‘anak soleh’. Diperkuat dengan majalah anak soleh. Makna anak
soleh berbasis nilai relijius, agamis dan islami. ‘Anak soleh’ menjadi tema lagu
anak-anak. Seolah kedudukan ‘anak alim’ tergantikan atau tergusur.
Ironis, sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi, pengakuan formal
apa siapa bagaimana nasib ‘anak alim’. Kamus pun, KBBI, juga tidak menjabarkan.
Apalagi jabaran sesuai terminologi akademis, ilmiah dan teknis. Apalagi di
kamus gaul (bisa-bisa bisa diplesetkan). Kalau ‘alim’ ditambah terpisah dengan ‘ulama’
tercantum di KBBI. Nasib ‘ulama’ lebih baik daripada nasib ‘alim’, tidak hanya
menjadi hak milik NU. Perjalanan waktu dan sejarah menjadikan status, posisi
dan strata ‘ulama’ menjadi bias. Antara ulama dengan umara, menjadi kutub yang
berbeda. Menjadi dikotomis, dilematis dan saling unjuk gigi dan nyali.
Kalau kita simak di Al-Qur’an,
kedudukan ulama identik dengan sebutan ulil amri. Tentu,
perlu kita kaji lebih mendalam, menerus dan berkemanfaatan.
Umat Islam sudah lama mengenal pesantren sebagai basis
pembinaan umat. Di pesantren ada ulama yang mengabdikan hidupnya
mengajarkan agama secara intensif kepada para santrinya. Tidak sedikit pula
umat Islam yang datang ke pesantren secara teratur untuk mengikuti kajian
keagamaan. Bahkan umat Islam yang membutuhkan bimbingan keagamaan biasanya
mendatangkan ulama dari pesantren untuk mengunjungi tempat tinggal
ataupun kampung mereka. Dengan demikian, pesantren tidak hanya berfungsi
sebagai lembaga pendidikan dan penguatan keagamaan bagi santrinya, tetapi juga
bagi warga masyarakat di sekitarnya.
Lingkungan di dalam pondok pesantren biasanya berperan
sebagai wahana untuk memberi contoh penerapan nilai-nilai dan norma-norma agama
dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa Islam yang diperkenalkan
oleh ulama kepada para santrinya mencakup aspek pengetahuan dan
pengamalan. Perpaduan antara keduanya, yakni ilmu dan amal, akan menentukan
kelangsungan dan kualitas penghayatan agama ini bagi pemeluknya. (sumber :
Sambutan Menteri Agama RI pada silaturrahmi ulama pesantren dan kyai thoriqah
se-Indonesia di Pekalongan, tanggal 21 Mei 2007).
Singkat kata, ulama yang diwadahi
dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadikan ulama sebagai profesi komersial.
Ulama akan eksis, berkibar dan punya jaringan lowongan kerja jika ikut MUI.
Jabatan pengurus MUI, terlebih ketua umum menjadi jabatan prestisius, akan
lebih bergengsi jika rangkap jabatan. Jadi, nasib ulama secara independen, individual,
perorangan bisa menggantung, tergantung niat baik pemerintah (umara) atau ditentukan
kebijakan dan aturan main MUI. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar