Halaman

Rabu, 19 Agustus 2015

mengantisipasi kelangkaan ulama Nusantara jalur independen

mengantisipasi kelangkaan ulama Nusantara jalur independen


Belajar bahasa Indonesia saat saya duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), kami terima dengan rasa heran. Perbendaharaan kata bertambah, ada berbagai sebutan untuk anak. Keheranan karena jika dibandingkan dengan bahasa lokal, bahasa Jawa ngoko, bisa jadi bahan gojekan (lelucon). Yang masih saya ingat sampai sekarang yaitu ada istilah : anak alim, yatim piatu serta laki bini, tempik sorak. Peribahasa ‘susu sebelanga’ bisa salah tafsir. Bahkan nama binatang bisa di-Indonesia-kan, misal bajing menjadi tupai, asu menjadi anjing. Bahasa Jawa mempunyai kelebihan perbendaharaan kata dibanding bahasa Indonesia. Misal, anak anjing dalam bahasa Indonesia tidak ada penamaan khusus, memakai bahasa Jawa, anak anjing disebut kirik. Biji salak disebut kentos.

Makna ‘anak alim’ saat itu, sesuai perbendaharaan kata yang ada, adalah anak yang pendiam. Kalau ditambah, sesuai penjelasan guru agama, adalah anak yang tidak nakal; nurut sama orang tua, guru; anak sing ora neko-neko (yang tidak macam-macam). ‘Alim’ yang nyata jika menjadi nama orang., pasti orangnya alim. Kata ‘alim’ berubah martabat, muncul pandananannya menjadi ‘alim ulama’. Teman yang tidak masuk kategori ‘anak alim’, karena ulah geraknya, namun tertutup oleh tetenger ‘anak haji’. ‘Ulama’ lebih diartikan hanya milik NU. Tak pelak, bayangan saya saat itu, yang disebut ‘ulama’ adalah yang pakai sarung, kepala ditutup peci. SR kami terletak di kota Yogyakarta. Di kota Yogyakarta ada kampung Kauman, tempat kelahiran pendiri Muhammadiyah. Karena ‘Muhammadiyah’ tidak pakai kata ‘ulama’, kami artikan jangan-jangan bukan kumpulan ulama.

Beda zaman, beda perbendaharaan kata. Ketika anak saya duduk di bangku SD, muncul ‘anak soleh’. Diperkuat dengan majalah anak soleh. Makna anak soleh berbasis nilai relijius, agamis dan islami. ‘Anak soleh’ menjadi tema lagu anak-anak. Seolah kedudukan ‘anak alim’ tergantikan atau tergusur.

Ironis, sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi, pengakuan formal apa siapa bagaimana nasib ‘anak alim’. Kamus pun, KBBI, juga tidak menjabarkan. Apalagi jabaran sesuai terminologi akademis, ilmiah dan teknis. Apalagi di kamus gaul (bisa-bisa bisa diplesetkan). Kalau ‘alim’ ditambah terpisah dengan ‘ulama’ tercantum di KBBI. Nasib ‘ulama’ lebih baik daripada nasib ‘alim’, tidak hanya menjadi hak milik NU. Perjalanan waktu dan sejarah menjadikan status, posisi dan strata ‘ulama’ menjadi bias. Antara ulama dengan umara, menjadi kutub yang berbeda. Menjadi dikotomis, dilematis dan saling unjuk gigi dan nyali.

Kalau kita simak di Al-Qur’an, kedudukan ulama identik dengan sebutan ulil amri. Tentu, perlu kita kaji lebih mendalam, menerus dan berkemanfaatan.

Umat Islam sudah lama mengenal pesantren sebagai basis pembinaan umat. Di pesantren ada ulama yang mengabdikan hidupnya mengajarkan agama secara intensif kepada para santrinya. Tidak sedikit pula umat Islam yang datang ke pesantren secara teratur untuk mengikuti kajian keagamaan. Bahkan umat Islam yang membutuhkan bimbingan keagamaan biasanya mendatangkan ulama dari pesantren untuk mengunjungi tempat tinggal ataupun kampung mereka. Dengan demikian, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan penguatan keagamaan bagi santrinya, tetapi juga bagi warga masyarakat di sekitarnya.

Lingkungan di dalam pondok pesantren biasanya berperan sebagai wahana untuk memberi contoh penerapan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa Islam yang diperkenalkan oleh ulama kepada para santrinya mencakup aspek pengetahuan dan pengamalan. Perpaduan antara keduanya, yakni ilmu dan amal, akan menentukan kelangsungan dan kualitas penghayatan agama ini bagi pemeluknya. (sumber : Sambutan Menteri Agama RI pada silaturrahmi ulama pesantren dan kyai thoriqah se-Indonesia di Pekalongan, tanggal 21 Mei 2007).

Singkat kata, ulama yang diwadahi dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadikan ulama sebagai profesi komersial. Ulama akan eksis, berkibar dan punya jaringan lowongan kerja jika ikut MUI. Jabatan pengurus MUI, terlebih ketua umum menjadi jabatan prestisius, akan lebih bergengsi jika rangkap jabatan. Jadi, nasib ulama secara independen, individual, perorangan bisa menggantung, tergantung niat baik pemerintah (umara) atau ditentukan kebijakan dan aturan main MUI. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar