kapan
kawanan parpolis Nusantara “gantung sepatu”
Aksi teatrikal
pekerja politik komersial di panggung politik, gerakan radikal bebas politisi
sipil yang berbasis syahwat politik, modus operandi teroris politik yang
mengacu ideologi Rp, sepak terjang kurir politik sampai bandar politik tidak
pernah memasuki babak baru, maupun munculnya parpol baru jelang pesta demokrasi
lima tahunan, sudah sampai ambang jenuh. Sudah sampai klimaks, karena tidak memunculkan
pemain, bibit dan bakat baru. Sudah sampai titik kritis, karena selalu
menghasilkan iklim cuaca politik yang anomalis.
Karir dan
prestasi pesepak bola secara individual bisa masuk peringkat dunia, menjadi
pemain prefesional. Bisa merumput di club elite, club raksasa manca negara,
bisa berlaga dengan jersey non-Nusantara. Faktor usia mempengaruhi keandalan,
namun tidak melunturkan etos kerja. “Gantung sepatu” tidak menjadikan status
mantan menjadikan pudar komersial. Profesi lain menanti. Bahkan bisa jadi
politikus. Fakta historis ini kontradiksi dengan nasib tim nasional.
Puncak karir
dan prestasi kawanan parpolis Nusantara, secara internal ketika masuk kategori
kader, pengurus. Secara eksternal ketika jadi wakil rakyat, walau tingkat
kabupaten/kota. Atau menjadi bupati/walikota. Ironis, jabatan wakil rakyat
belum jatuh tempo, melirik pilkada. Jabatan bupati/walikota melihat rumput
gubernur lebih hijau, subur, luas dan menjanjikan. Menjadi gubernur turun di
tengah jalan, ganti kendaraan menuju istana presiden.
Hiruk-pikuk,
gegap-gempita, sorak-sorai politik Nusantara sangat misterius sekaligus
sensional. Partai politik ibarat pasar modern, yang dibangun bukan berdasarkan
sudah adanya pertemuan penjual-pembeli, seperti pasar tradisional. Parpol baru
karena ada itikad, niat, minat pemodal untuk memajukan bisnisnya. Contoh
terang-benderang di pesta demokrasi 2014. Akrobat politik 2014-2019 melahirkan
embrio bahwa ambisi tanpa amunisi, hanya cepat basi.
Sirkulasi
politik Nusantara, hanya berputar-putar tanpa arah, tujuan dan sasaran yang
jelas. Sebagai contoh, program pemerintah dengan judul pilkada serentak, tidak
bisa diprediksi berbagai kemungkinannya. Sebagai contoh, simak judul :
“Mendagri
Tak Kepikiran Ada Calon Tunggal di Pilkada Serentak”
Selasa, 4 Agustus 2015 10:40
JAKARTA, TRIBUNJABAR.CO.ID - Menteri Dalam
Negeri Tjahjo Kumolo mengakui bahwa permasalahan tentang calon tunggal dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Menurut Tjahjo, pemerintah, Komisi Pemilihan
Umum, dan DPR RI tidak pernah menyangka akan ada daerah yang hanya memiliki
satu pasangan calon kepala daerah.
"Muncul daerah yang hanya punya satu pasangan
calon, itu di luar perkiraan kami," kata Tjahjo saat menjadi pembicara di
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Menurut Tjahjo, awalnya pemerintah, KPU dan DPR yakin
bahwaPilkada di semua daerah
akan diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon karena Peraturan KPU mengatur Pilkada di daerah yang
hanya memiliki satu calon akan diundur sampai 2017.
"Pembahasan kami tidak memikirkan Pilkada muncul satu
pasangan calon. Apakah ini boikot atau aspek-aspek yang belum terselesaikan
secara adat," ujarnya.
- - - - - - -
Bayangkan,
kapasitas oknum mendagri karena ditentukan nasibnya sebagai sekjen PDI-P, tidak
mampu melihat keberadaan parpol lain, khususnya bagaimana keberadaan parpol di
akar rumput. Diuraikan di atas, parpol lebih mengakar ke atas, bukan menghujam
ke bumi.
Kawanan
parpolis Nusantara memang tidak layak, patut, pantas dibanding apalagi
disandingkan dengan pesepak bola. Walau ada “persamaan” yaitu sama-sama mendedikasikan
hidupnya. Perbedaan mendasar, pemain politik tidak mendedikasikan hidupnya
untuk Nusantara. Jadi, pemain politik sampai bangkotan, tuyuk-tuyuk, tidak
kenal istilah “gantung sepatu”. Bukan berarti kawanan parpolis Nusantara
bersemboyan “serdadu tua tak pernah mati”. Juga tak masuk slogan “mati sekali
setelah itu berarti”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar