Halaman

Minggu, 09 Agustus 2015

kapan kawanan parpolis Nusantara “gantung sepatu”

kapan kawanan parpolis Nusantara “gantung sepatu”


Aksi teatrikal pekerja politik komersial di panggung politik, gerakan radikal bebas politisi sipil yang berbasis syahwat politik, modus operandi teroris politik yang mengacu ideologi Rp, sepak terjang kurir politik sampai bandar politik tidak pernah memasuki babak baru, maupun munculnya parpol baru jelang pesta demokrasi lima tahunan, sudah sampai ambang jenuh. Sudah sampai klimaks, karena tidak memunculkan pemain, bibit dan bakat baru. Sudah sampai titik kritis, karena selalu menghasilkan iklim cuaca politik yang anomalis.

Karir dan prestasi pesepak bola secara individual bisa masuk peringkat dunia, menjadi pemain prefesional. Bisa merumput di club elite, club raksasa manca negara, bisa berlaga dengan jersey non-Nusantara. Faktor usia mempengaruhi keandalan, namun tidak melunturkan etos kerja. “Gantung sepatu” tidak menjadikan status mantan menjadikan pudar komersial. Profesi lain menanti. Bahkan bisa jadi politikus. Fakta historis ini kontradiksi dengan nasib tim nasional.

Puncak karir dan prestasi kawanan parpolis Nusantara, secara internal ketika masuk kategori kader, pengurus. Secara eksternal ketika jadi wakil rakyat, walau tingkat kabupaten/kota. Atau menjadi bupati/walikota. Ironis, jabatan wakil rakyat belum jatuh tempo, melirik pilkada. Jabatan bupati/walikota melihat rumput gubernur lebih hijau, subur, luas dan menjanjikan. Menjadi gubernur turun di tengah jalan, ganti kendaraan menuju istana presiden.

Hiruk-pikuk, gegap-gempita, sorak-sorai politik Nusantara sangat misterius sekaligus sensional. Partai politik ibarat pasar modern, yang dibangun bukan berdasarkan sudah adanya pertemuan penjual-pembeli, seperti pasar tradisional. Parpol baru karena ada itikad, niat, minat pemodal untuk memajukan bisnisnya. Contoh terang-benderang di pesta demokrasi 2014. Akrobat politik 2014-2019 melahirkan embrio bahwa ambisi tanpa amunisi, hanya cepat basi.

Sirkulasi politik Nusantara, hanya berputar-putar tanpa arah, tujuan dan sasaran yang jelas. Sebagai contoh, program pemerintah dengan judul pilkada serentak, tidak bisa diprediksi berbagai kemungkinannya. Sebagai contoh, simak judul :

“Mendagri Tak Kepikiran Ada Calon Tunggal di Pilkada Serentak”
Selasa, 4 Agustus 2015 10:40

JAKARTA, TRIBUNJABAR.CO.ID - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui bahwa permasalahan tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Menurut Tjahjo, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, dan DPR RI tidak pernah menyangka akan ada daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah.

"Muncul daerah yang hanya punya satu pasangan calon, itu di luar perkiraan kami," kata Tjahjo saat menjadi pembicara di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Menurut Tjahjo, awalnya pemerintah, KPU dan DPR yakin bahwaPilkada di semua daerah akan diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon karena Peraturan KPU mengatur Pilkada di daerah yang hanya memiliki satu calon akan diundur sampai 2017.

"Pembahasan kami tidak memikirkan Pilkada muncul satu pasangan calon. Apakah ini boikot atau aspek-aspek yang belum terselesaikan secara adat," ujarnya.

- - - - - - -
Bayangkan, kapasitas oknum mendagri karena ditentukan nasibnya sebagai sekjen PDI-P, tidak mampu melihat keberadaan parpol lain, khususnya bagaimana keberadaan parpol di akar rumput. Diuraikan di atas, parpol lebih mengakar ke atas, bukan menghujam ke bumi.

Kawanan parpolis Nusantara memang tidak layak, patut, pantas dibanding apalagi disandingkan dengan pesepak bola. Walau ada “persamaan” yaitu sama-sama mendedikasikan hidupnya. Perbedaan mendasar, pemain politik tidak mendedikasikan hidupnya untuk Nusantara. Jadi, pemain politik sampai bangkotan, tuyuk-tuyuk, tidak kenal istilah “gantung sepatu”. Bukan berarti kawanan parpolis Nusantara bersemboyan “serdadu tua tak pernah mati”. Juga tak masuk slogan “mati sekali setelah itu berarti”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar