Waktu melangkah ke
shaf pertama, jelang sholat isya’, saya menyalami jamaah yang sedang duduk berbincang
santai. Ada yang menyeletuk : “Mau kemana pak?”. Pertanyaan ini dan jawaban saya membuat
jamaah yang dengar seperti kaget, sambil berguman mengulang penggalan jawaban
saya, yaitu : “Dari rumah, mau ke rumah Allah. Reuni dengan sesama hamba Allah.
Ini saya mau lapor diri”. Sambil tersenyum saya meninggalkan mereka
Tak salah kalau ada
sapaan atau pertanyaan seperti itu. Acap jika sedang berjalan kaki menuju rumah
Allah, berjumpa orang menyapa dengan pertanyaan standar, basa-basi, sekedar bertanya
: “Mau kemana pak?”. Jawaban saya juga itu-itu saja, yaitu : “Ada yang memanggil”,
sambil menunjuk ke atas. Jika pertanyaannya nyaris iseng, saya jawab dengan
santai : “Ada pembagian di sana”, sambil menunjuk arah masjid. Ada kalanya sang
penanya malah bengong. Kalau yang bertanya mempunyai nama islami atau khususnya
sudah bergelar ‘pak haji’, saya jawab melalui bahasa isyarat dengan mengangkat
kedua tangan seperti takbir. Berharap si penanya menjadi tersindir. Nyatanya
ybs malah tetap cuek, tidak merespon. Ada juga yang menjawab : “Nanti, saya
menyusul.” Tak kurang yang senyum sinis.
Pengalaman saya di
atas, ternyata mengundang dan mengandung hikmah di luar jangkauan nalar. Kesempatan
lain dan di tempat yang berbeda, saat tahlilan di rumah duka, ada seorang bapak
menunjuk saya sambil berujar : “Bapak ini sering saya lihat di masjid, orangnya
cuek dengan pakaiannya.” Dia sambil lanjut bercerita ke sampingnya. Slentingan ini
menjadikan saya mawas diri. Ditambah pengalaman saya selanjutnya, menjadikan
saya menulis artikel ini.
Kata jamaah,
satu-satunya atribut Islam yang saya punyai yaitu janggut putih, mengimbangi
rambut di kepala yang serba putih. Mereka belum pernah melihat saya memakai
sarung, baju koko, dsb. Bahkan kopiah pun seperti tak punya. Kalau perlu, ke
masjid memakai kaos seminar, kaos sponsor berbagai warna. Bahkan sholat jumat,
dengan santai memakai kaos warna hitam.
Kata jamaah, saya
dicap sebagai tukang tanya saat kuliah bakda subuh hari sabtu/ahad. Mereka
bilang, saya bisa bertanya sesuai tema. Mereka suka kalau ada yang rajin tanya.
Memang ironis, jamaah mendengarkan kuliah subuh sambil bersandar di dinding
masjid, atau duduk menggerombol dengan yang sudah dikenal atau akrab, seolah kewajiban
mereka hanya satu arah sebagai pendengar yang santun. Jarang yang duduk tekun
menyimak di barisan berhadapan langsung
dengan penceramah. Gairah jamaah bertambah saat teh hangat beredar, ditambah
hidangan ringan dengan menu jarang berubah.
Kata jamaah, karena
penampilan, saya menjadi dikenal nama dan orang. Walau saya tidak bisa berlaku
sebaliknya, hanya kenal nama, jarang yang saya kenal orang sekaligus namanya. Semakin
dikenal, karena kemana-mana saya berjalan kaki dan jalan kaki cepat. Sesekali
mereka lihat saya bawa belanjaan. Banyak jamaah atau warga yang menyalip,
menawari saya ikut kendaraannya. Kebanyakan saya tolak, kecuali tetangga
sekalian bisa ngobrol.
Kata warga, hobi saya
sibuk dengan comberan got orang, mengeruk lumpur dan mengonggokkan di pinggir
jalan bikin pengguna jalan merasa terganggu, mencabuti gulma di pinggir jalan
untuk pengisi jogangan di halaman rumah, bertanam. Dilakukan sembarang waktu. Mubazir,
celetuk dan cemooh orang. Satpam bingung, pukul 04:00an mereka kedahuluan
memukul tiang listrik, pertanda waktu sekaligus kehadiran mereka. Jika ada
acara tingkat RT, saya usahakan hadir. Jika ada bendera kuning, saya upayakan menjenguk
sampaikan bela sungkawa, kendati hanya kenal orang.
Jangan lupa, bahwa cara
berjalan berkorelasi dengan cara bicara, telah digariskan [QS Luqman (31) :
19] : “Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan[*] dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
[*] Maksudnya:
ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.
Batasan ‘janganlah
terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat’
sebagai adab berjalan atau mencontoh cara Rasulullah SAW berjalan. Dalam strata
tertentu bisa bersifat universal. Bisa juga dirumuskan berdasarkan berbagai
aspek ilmu pengetahuan maupun adat istiadat.
Akhir kata, jika seolah
harus memilih dari dua pilihan yang tersedia, biasanya kita memilih
kedua-duanya. Artinya, kita memilih berbusana sekaligus bertindak (pikir, ucap
dan kelakuan) berdasarkan ajaran agama Islam. Dipadupadankan, dikombinasikan
secara sinerji, selaras, serasi, seimbang dan bermartabat. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar