Halaman

Senin, 24 Agustus 2015

Mewujudkan Citra Diri Islam, Dengan Busana Atau Tindakan


Waktu melangkah ke shaf pertama, jelang sholat isya’, saya menyalami jamaah yang sedang duduk berbincang santai. Ada yang menyeletuk : “Mau kemana pak?”.  Pertanyaan ini dan jawaban saya membuat jamaah yang dengar seperti kaget, sambil berguman mengulang penggalan jawaban saya, yaitu : “Dari rumah, mau ke rumah Allah. Reuni dengan sesama hamba Allah. Ini saya mau lapor diri”. Sambil tersenyum saya meninggalkan mereka

Tak salah kalau ada sapaan atau pertanyaan seperti itu. Acap jika sedang berjalan kaki menuju rumah Allah, berjumpa orang menyapa dengan pertanyaan standar, basa-basi, sekedar bertanya : “Mau kemana pak?”. Jawaban saya juga itu-itu saja, yaitu : “Ada yang memanggil”, sambil menunjuk ke atas. Jika pertanyaannya nyaris iseng, saya jawab dengan santai : “Ada pembagian di sana”, sambil menunjuk arah masjid. Ada kalanya sang penanya malah bengong. Kalau yang bertanya mempunyai nama islami atau khususnya sudah bergelar ‘pak haji’, saya jawab melalui bahasa isyarat dengan mengangkat kedua tangan seperti takbir. Berharap si penanya menjadi tersindir. Nyatanya ybs malah tetap cuek, tidak merespon. Ada juga yang menjawab : “Nanti, saya menyusul.” Tak kurang yang senyum sinis.

Pengalaman saya di atas, ternyata mengundang dan mengandung hikmah di luar jangkauan nalar. Kesempatan lain dan di tempat yang berbeda, saat tahlilan di rumah duka, ada seorang bapak menunjuk saya sambil berujar : “Bapak ini sering saya lihat di masjid, orangnya cuek dengan pakaiannya.” Dia sambil lanjut bercerita ke sampingnya. Slentingan ini menjadikan saya mawas diri. Ditambah pengalaman saya selanjutnya, menjadikan saya menulis artikel ini.

Kata jamaah, satu-satunya atribut Islam yang saya punyai yaitu janggut putih, mengimbangi rambut di kepala yang serba putih. Mereka belum pernah melihat saya memakai sarung, baju koko, dsb. Bahkan kopiah pun seperti tak punya. Kalau perlu, ke masjid memakai kaos seminar, kaos sponsor berbagai warna. Bahkan sholat jumat, dengan santai memakai kaos warna hitam.

Kata jamaah, saya dicap sebagai tukang tanya saat kuliah bakda subuh hari sabtu/ahad. Mereka bilang, saya bisa bertanya sesuai tema. Mereka suka kalau ada yang rajin tanya. Memang ironis, jamaah mendengarkan kuliah subuh sambil bersandar di dinding masjid, atau duduk menggerombol dengan yang sudah dikenal atau akrab, seolah kewajiban mereka hanya satu arah sebagai pendengar yang santun. Jarang yang duduk tekun menyimak  di barisan berhadapan langsung dengan penceramah. Gairah jamaah bertambah saat teh hangat beredar, ditambah hidangan ringan dengan menu jarang berubah.

Kata jamaah, karena penampilan, saya menjadi dikenal nama dan orang. Walau saya tidak bisa berlaku sebaliknya, hanya kenal nama, jarang yang saya kenal orang sekaligus namanya. Semakin dikenal, karena kemana-mana saya berjalan kaki dan jalan kaki cepat. Sesekali mereka lihat saya bawa belanjaan. Banyak jamaah atau warga yang menyalip, menawari saya ikut kendaraannya. Kebanyakan saya tolak, kecuali tetangga sekalian bisa ngobrol.

Kata warga, hobi saya sibuk dengan comberan got orang, mengeruk lumpur dan mengonggokkan di pinggir jalan bikin pengguna jalan merasa terganggu, mencabuti gulma di pinggir jalan untuk pengisi jogangan di halaman rumah, bertanam. Dilakukan sembarang waktu. Mubazir, celetuk dan cemooh orang. Satpam bingung, pukul 04:00an mereka kedahuluan memukul tiang listrik, pertanda waktu sekaligus kehadiran mereka. Jika ada acara tingkat RT, saya usahakan hadir. Jika ada bendera kuning, saya upayakan menjenguk sampaikan bela sungkawa, kendati hanya kenal orang.

Jangan lupa, bahwa cara berjalan berkorelasi dengan cara bicara, telah digariskan [QS Luqman (31) : 19] :Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[*] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

[*] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat. Batasan ‘janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat’ sebagai adab berjalan atau mencontoh cara Rasulullah SAW berjalan. Dalam strata tertentu bisa bersifat universal. Bisa juga dirumuskan berdasarkan berbagai aspek ilmu pengetahuan maupun adat istiadat.

Akhir kata, jika seolah harus memilih dari dua pilihan yang tersedia, biasanya kita memilih kedua-duanya. Artinya, kita memilih berbusana sekaligus bertindak (pikir, ucap dan kelakuan) berdasarkan ajaran agama Islam. Dipadupadankan, dikombinasikan secara sinerji, selaras, serasi, seimbang dan bermartabat. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar