Halaman

Selasa, 25 Agustus 2015

pelambatan ekonomi Nusantara vs proses PDI-P rakyat


Tak ayal, presiden Joko Widodo memahami pepatah Jawa yaitu “jalmo tan keno kiniro”. Bisa diartikan bahwa perjalanan hidup manusia dan apa yang akan terjadi kemudian, khususnya bagaimana nasib di masa depannya tidak bisa diraba, diterawang maupun ditebak dengan akal, nalar, dan logika manusia. Memang, ketetapan (takdir) Allah menjadi hak prerogratif-Nya.

Jangan lupa, penjelasan Allah yang dapat kita simak [QS Ar Ra’d (13) : 39] :Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”

Saya ajak pembaca untuk melihat fakta lapangan, melongok tempat kejadian perkara. Mulai dari pemahaman bagaimana jika akumulasi manusia, komunitas manusia yang terikat teritorial geografis dan batas administrasi berwujud bangsa, apakah ayat tadi berlaku.

Tanpa panjang lebar, Joko Widodo tentu memahami pepatah Jawa “ngunduh wohing pakarti”. Sengaja tidak diartikan secara terang-benderang. Karena ternyata masih ada pepatah Jawa yang terkait dan diminati Jokowi yaitu “ojo lali marang sangkan paraning dumadi”.

Singkat kata, peran Joko Widodo sebagai kepala negara/presiden, tak akan lepas dari ketetapan Allah. Nasib bangsa dan negara seolah dipertaruhkan. Masalahnya, Joko Widodo tidak berkuasa atas dirinya sendiri, karena ada pihak secara politis mengendalikannya. Joko Widodo tinggal melaksanakan kebijakan partai pengusung dan pendukungnya yaitu PDI-P. Jangan heran jika Joko Widodo minta kebijakan jangan dipidana.

Entah siapa yang punya ide, inisiatif bahwa PDI-P merupakan kependekkan dari kondisi yang aktual dan faktual di masyarakat yaitu Penurunan Daya Ingat dan Pendapatan. Huruf ke-4 yaitu ‘P’ tergantung siapa yang berkepentingan dalam menafsirkannya.

‘PDI-P’ apa hubungannya dengan pelambatan ekonomi Nusantara? Justru, uraian di atas bisa menjawab secara sederhana. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar