Tak ayal, presiden
Joko Widodo memahami pepatah Jawa yaitu “jalmo tan keno kiniro”. Bisa diartikan bahwa perjalanan hidup manusia dan apa
yang akan terjadi kemudian, khususnya bagaimana nasib di masa depannya tidak
bisa diraba, diterawang maupun ditebak dengan akal, nalar, dan logika manusia. Memang,
ketetapan (takdir) Allah menjadi hak prerogratif-Nya.
Jangan lupa, penjelasan Allah yang
dapat kita simak [QS Ar Ra’d (13) : 39]
: “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”
Saya ajak pembaca untuk melihat fakta
lapangan, melongok tempat kejadian perkara. Mulai dari pemahaman bagaimana jika
akumulasi manusia, komunitas manusia yang terikat teritorial geografis dan
batas administrasi berwujud bangsa, apakah ayat tadi berlaku.
Tanpa panjang lebar, Joko Widodo tentu
memahami pepatah Jawa “ngunduh wohing
pakarti”. Sengaja tidak diartikan secara terang-benderang. Karena ternyata
masih ada pepatah Jawa yang terkait dan diminati Jokowi yaitu “ojo
lali marang sangkan paraning dumadi”.
Singkat kata, peran Joko Widodo sebagai
kepala negara/presiden, tak akan lepas dari ketetapan Allah. Nasib bangsa dan
negara seolah dipertaruhkan. Masalahnya, Joko Widodo tidak berkuasa atas
dirinya sendiri, karena ada pihak secara politis mengendalikannya. Joko Widodo
tinggal melaksanakan kebijakan partai pengusung dan pendukungnya yaitu PDI-P. Jangan
heran jika Joko Widodo minta kebijakan jangan dipidana.
Entah siapa yang punya ide, inisiatif
bahwa PDI-P merupakan kependekkan dari kondisi yang aktual dan faktual di
masyarakat yaitu Penurunan Daya Ingat dan Pendapatan. Huruf ke-4 yaitu ‘P’
tergantung siapa yang berkepentingan dalam menafsirkannya.
‘PDI-P’ apa hubungannya dengan
pelambatan ekonomi Nusantara? Justru, uraian di atas bisa menjawab secara
sederhana. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar