Halaman

Senin, 10 Agustus 2015

Ketika Polisi Manja, Hamba Hukum vs Hukum Hamba

Ketika Polisi Manja, Hamba Hukum vs Hukum Hamba

Membicarakan, apalagi menulis tentang seputar apalagi fokus pada polisi harus waspada, teliti dan hati-hati. Soal sepele, urusan jadi bertele-tele. Salah sentil bisa dihadiahi popor bedil. Salah ketik, bisa dikenai pasal delik. Salah kutip, urusan selesai jika barter dengan uang tip. Kurang tutup pentil, pengemudi motor bisa kena tilang (bukti pelanggaran) atau damai di tempat.

Sebelum menyimak tulisan ini lebih lanjut, saya cuplik makna ‘hamba hukum’ maupun ‘hukum hamba’ :
hamba/ham·ba/ n 1 abdi; budak belian: memerdekakan -- adalah perbuatan yg terpuji; 2 kl saya (untuk merendahkan diri): -- tidak berani mengatakannya, Tuanku; 3 ya, Tuan (sangat takzim): “Betulkah ini anakmu?” “ -- !”;
-- Allah manusia: sbg -- Allah yg sadar, kita harus selalu bertakwa;
-- hukum petugas hukum; pelaksana hukum; polisi;
-- nafsu orang yg suka menurutkan hawa nafsunya;
-- sahaya berbagai-bagai hamba; segala hamba; segala budak;
-- (orang) tebusan budak belian;
(sumber: http://kbbi.web.id/hamba)

Jelas, kalau polisi adalah ‘hamba hukum’. Jangan bicarakan bagaimana saat di lapangan, di jalanan atau bahkan saat berhadapan dengan rakyat. Jangan persoalkan bagaimana polisi mempraktekkan tugas dan fungsinya. Modus operandi polisi berbasisi ‘wenang’, yang diterjemahbebaskan sesuai siapa yang dihadapi, kasus apa yang diselesaikan, besarnya perkara yang harus dituntaskan, pilih dan pilah pesanan untuk memetieskan perkara atau menyegerakan perkara.

Walhasil, ‘hukum hamba’ adalah hukum yang diterapkan otomatis, tanpa pandang bulu, tanpa protap, tanpa mengulur-ulur waktu.  Khususnya kepada rakyat akar rumput, rakyat jelata, rakyat papan bawah, rakyat buta hukum, atau manusia Nusantara yang berstatus kasta sudra (pinjam istilah kasta di India), yang tidak kebal hukum.

Sejarah mengingatkan kita, sudah rahasia umum, bahwa mantan Presiden Gus Dur punya anekdot, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa. Ini semacam sindiran bahwa sulit mencari polisi jujur di negeri ini. Kalaupun ada, langka dicari.

Di era 2014-2019 ada berita :
“Buya Syafii, Polisi di Indonesia manja sekali”
Merdeka.com Selasa, 4 Agustus 2015 18:21- Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif kembali mengkritik kepolisian. Kali ini Buya menyebut polisi sekarang manja.

"Kalau di sini (Indonesia) polisi manja sekali," kata Buya dalam diskusi bedah buku
'Muazin Bangsa dari Makkah Darat' Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif di Monumen Mandala Makassar, Selasa (4/8) sore.

Maksud kritik Buya bukan berarti anti polisi. Buya menegaskan, banyak juga polisi di Indonesia berperilaku baik. "Bukan berarti saya ini anti polisi ya," ujarnya.

Buya menyarankan agar polisi di Indonesia tidak langsung di bawah presiden. Namun institusi kepolisian sebaiknya di bawah kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri.

Ini bukan kali pertama Buya mengeluarkan pernyataan keras tentang polisi. Pada Februari lalu saat kisruh tentang pengangkatan Kapolri, Buya juga memberikan pernyataan keras. 

"Ada jor-joran di dalam polisi, berebut pangkatlah, bukan saja oknum polisi dengan KPK. Ini harus diperbaiki," kata Buya Syafii saat menghadiri pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Senin (9/2) lalu.

Dia saat itu menyarankan agar nantinya calon Kapolri yang dipilih merupakan sosok yang mendapat dukungan dari internal polisi dan pakar. "Carilah yang sedikit dosanya berdasarkan rekam jejak, didukung internal polisi dan para pakar demi bangsa dan negara," ujarnya.
- - - - - -

Singkat kata, kedudukan Polri langsung di bawah koordinasi, komando, kendali presiden, menjadikan Polri merasa punya sayap, merasa punya taring. Asal jangan sesuai pepatah “gajah ngidak rapah”. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar