6% rakyat buta huruf
vs n% wakil rakyat buta politik
Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan kesatuan pulau besar
sampai Pulau Kecil (adalah
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter
persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.) yang tersebar dan tentunya sebagai
potensi sumber daya alam sekaligus sumber masalah potensial kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Wajar
kalau penduduk di pelosok ujung desa, di pegunungan, di lembah terpencil, di
ujung kota kecil, di daerah perbatasan dengan negara tetangga, di wilayah
pesisir (adalah daerah
peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan laut.) belum mengenal listrik. Tak kurang maraknya kota mandi cahaya
di malam hari, kehidupan 24 jam. Keanekaragaman tarif listrik menjadikan
pelanggan bukan raja.
Wajar kalau kondisi geologis
menjadikan air bersih, air layak konsumsi langka di saat
musim kemarau, musim kering atau anomali cuaca atau khususnya karena dampak
penggundulan hutan secara sistematis, masif dan menerus. Tragis, dampak ganda
hutan gundul yaitu penyebab banjir. Bukan berarti jaringan air minum PDAM pilih kasih. Faktor
komersial menjadikan air enggan mengalir masuk rumah tinggal. Air swasta
semakin memperluas wajah kering Nusantara.
Wajar, jumlah sekolah meningkat jauh. Jika dulu saat awal kemerdekaan,
jumlah SD hanya 15.000, sekarang meningkat menjadi 150.000. Jumlah SMP hanya
320, meningkat menjadi 39.000 dan jumlah SMA meningkat jauh, dari 92 menjadi
26.000 unit. "Kalau dipandang dari nol tahun hingga 70 tahun Indonesia merdeka, kita
sudah jauh berubah. Kalau dulu, 95% rakyat Indonesia buta huruf, sekarang hanya
sisa 6% (enam persen). Itu merupakan hal yang fantastis," ujar Anies di Jakarta, Minggu (16/8). (sumber : beritasatu.com)
Wajar jika jumlah partai politik yang berbadan hukum, akhirnya terjadi
peralihan dari massa mengambang versi Orde Baru menjadi partai mengambang di
era Reformasi. Pekerja parpol hanya mengakar ke atas, tidak menghujam ke bumi
(kelurahan/desa). Politik sebagai cara konstitusional merebut kekuasaan melalui
pesta demokrasi. Menjadi penyelenggara negara karena parpol dengan dasar
ideologi Rp, politik tawar-menawar, politik jual beli kursi menjadikan jabatan
sebagai mata pencaharian.
Wajar jika pendidikan politik hanya berorientasi dan berfokus pada modus
operandi bagaimana caranya agar pada setiap pesta demokrasi bisa keluar sebagai
pemenang. Mulai dari pilkada sampai pemilu legislatif dan pilpres. Bandar politik
skala nasional merasa negara sebagai warisan. Minimal negara dikapling-kapling
sampai tingkatan kabupaten/kota menjadi hak milik parpol tertentu. Menjadi tim
sukses identik punya tiket untuk kebagia rezeki kekuasaan.
Wajar jika akhirnya, selama Indonesia sampai berusia/berumur 70 tahun,
banyak wakil rakyat khususnya kawanan parlemen Senayan buta politik. Walau
modal pengalaman satu periode, memasuki periode kedua, bukan jaminan mutu.
Adanya, eksistensi, hadirnya, kemanfaatan wakil rakyat dirasakan jika rakyat
menjadi masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Masih banyak elemen masyarakat
yang berjuang secara mandiri memperjuangkan nasibnya. Wakil rakyat berjuang selama
lima tahun melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memakmurkan dan mensejahterakan
diri sendiri.
Wajar, jika di periode 2014-2019 muatan otak politik Nusantara terkontaminasi
konspirasi internasional. Daya juang ke dalam, tinggal melaksanakan garis besar
haluan politik bandar politik. Berhala Reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) menjadi
kiblat utama parpol pendukung dan pengusung Jokowi-JK. Selain bagi kursi
pembantu presiden, ada parpol minta jatah proyek APBN. Energi politik penyelenggara
negara terkuras, terkikis, tergerus, tersedot, terhisap, terserap, terperas, hanya
untuk memikirkan bagaimana menjalankan kontrak politik sampai jatuh tempo
sekaligus memperpanjang sampai periode berikutnya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar