Halaman

Senin, 17 Agustus 2015

6% rakyat buta huruf vs n% wakil rakyat buta politik

6% rakyat buta huruf vs n% wakil rakyat buta politik

Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan kesatuan pulau besar sampai  Pulau Kecil (adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.) yang tersebar dan tentunya sebagai potensi sumber daya alam sekaligus sumber masalah potensial kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Wajar kalau penduduk di pelosok ujung desa, di pegunungan, di lembah terpencil, di ujung kota kecil, di daerah perbatasan dengan negara tetangga, di wilayah pesisir (adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.) belum mengenal listrik. Tak kurang maraknya kota mandi cahaya di malam hari, kehidupan 24 jam. Keanekaragaman tarif listrik menjadikan pelanggan bukan raja.

Wajar kalau kondisi geologis menjadikan air bersih, air layak konsumsi langka di saat musim kemarau, musim kering atau anomali cuaca atau khususnya karena dampak penggundulan hutan secara sistematis, masif dan menerus. Tragis, dampak ganda hutan gundul yaitu penyebab banjir. Bukan berarti jaringan air minum PDAM pilih kasih. Faktor komersial menjadikan air enggan mengalir masuk rumah tinggal. Air swasta semakin memperluas wajah kering Nusantara.

Wajar, jumlah sekolah meningkat jauh. Jika dulu saat awal kemerdekaan, jumlah SD hanya 15.000, sekarang meningkat menjadi 150.000. Jumlah SMP hanya 320, meningkat menjadi 39.000 dan jumlah SMA meningkat jauh, dari 92 menjadi 26.000 unit. "Kalau dipandang dari nol tahun hingga 70 tahun Indonesia merdeka, kita sudah jauh berubah. Kalau dulu, 95% rakyat Indonesia buta huruf, sekarang hanya sisa 6% (enam persen). Itu merupakan hal yang fantastis," ujar Anies di Jakarta, Minggu (16/8). (sumber : beritasatu.com)

Wajar jika jumlah partai politik yang berbadan hukum, akhirnya terjadi peralihan dari massa mengambang versi Orde Baru menjadi partai mengambang di era Reformasi. Pekerja parpol hanya mengakar ke atas, tidak menghujam ke bumi (kelurahan/desa). Politik sebagai cara konstitusional merebut kekuasaan melalui pesta demokrasi. Menjadi penyelenggara negara karena parpol dengan dasar ideologi Rp, politik tawar-menawar, politik jual beli kursi menjadikan jabatan sebagai mata pencaharian.

Wajar jika pendidikan politik hanya berorientasi dan berfokus pada modus operandi bagaimana caranya agar pada setiap pesta demokrasi bisa keluar sebagai pemenang. Mulai dari pilkada sampai pemilu legislatif dan pilpres. Bandar politik skala nasional merasa negara sebagai warisan. Minimal negara dikapling-kapling sampai tingkatan kabupaten/kota menjadi hak milik parpol tertentu. Menjadi tim sukses identik punya tiket untuk kebagia rezeki kekuasaan.

Wajar jika akhirnya, selama Indonesia sampai berusia/berumur 70 tahun, banyak wakil rakyat khususnya kawanan parlemen Senayan buta politik. Walau modal pengalaman satu periode, memasuki periode kedua, bukan jaminan mutu. Adanya, eksistensi, hadirnya, kemanfaatan wakil rakyat dirasakan jika rakyat menjadi masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Masih banyak elemen masyarakat yang berjuang secara mandiri memperjuangkan nasibnya. Wakil rakyat berjuang selama lima tahun melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memakmurkan dan mensejahterakan diri sendiri.

Wajar, jika di periode 2014-2019 muatan otak politik Nusantara terkontaminasi konspirasi internasional. Daya juang ke dalam, tinggal melaksanakan garis besar haluan politik bandar politik. Berhala Reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) menjadi kiblat utama parpol pendukung dan pengusung Jokowi-JK. Selain bagi kursi pembantu presiden, ada parpol minta jatah proyek APBN. Energi politik penyelenggara negara terkuras, terkikis, tergerus, tersedot, terhisap, terserap, terperas, hanya untuk memikirkan bagaimana menjalankan kontrak politik sampai jatuh tempo sekaligus memperpanjang sampai periode berikutnya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar