Halaman

Selasa, 11 Agustus 2015

generasi emas Nusantara, mabuk gelar kehormatan vs gelar mabuk kehormatan

generasi emas Nusantara, mabuk gelar kehormatan vs gelar mabuk kehormatan

Banyak anak bangsa yang kenyang dengan panjang angan-angan, tanpa ikhtiar bagaimana menghidupkan angan-angan. Akal, otak, logika, nalarnya sarat dan nyaris terkontaminasi pembayangan bagaimana ruang dan waktu yang nun jauh di mata. Merasa berbuat banyak jika berhasil membuat jargon masa depan bangsa dan negara. Merasa berjasa telah berhasil merumuskan, memformulasikan, memprospektuskan, mengéjawantahkan bagaimana generasi mendatang, generasi harapan, apalagi di saat Indonesia 100 tahun, satu abad. Generasi emas Nusantara.

Tak kurang anak bangsa yang sibuk merenungi nasibnya. Merasa penat berjuang antara hidup dan mati menggapai sukses dunia, meraih simbol berhala Reformasi (kuasa, kuat, kaya). Kelamaan tidak ada yang memujinya, apalagi memujanya, maka tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa risi, tanpa tedeng aling-aling ybs menunjuk dirinya cerdas karena faktor keturunan.  Tepatnya, merasa sebagai pemikir dan pemakar yang selalu membanggakan masa kejayaan masa lampau.  Betapa besar jasa nenek moyangnya tak terhingga, tak tertandingi, khususnya yang masuk kategori para pendiri bangsa (founding fathers). Akhirnya sibuk mematut diri yang siap menerima negara sebagai warisan.

Masa depan memang harus diawali, dimulai dan dirintis dari sekarang. Bukan menghitung mundur apa saja komponen generasi emas Nusantara. Kajian akademis atau acara, adegan, atraksi di media penyiaran televisi yang mengundang pakar masa depan generasi, malah menjadikan generasi sebagai boneka, memposisikan bak wayang, semacam robot hidup. Pengisi acara yang ketawa-ketiwi memamerkan isi otaknya yang jauh dari standar motivasi, standar olah jiwa, standar olah rasa apalagi jangan diakitkan dengan standar budi pekerti.

Ironis, sang penyaji tidak mampu melihat ujung hidungnya sendiri, tetapi merasa “weruh sakdurunge winarah”. Pemerhati masalah anak, tidak ada yang peduli atas sepak terjangnya. Pendidikan formal dengan makan bangku sekolah memang butuh biaya tak sedikit. Bukan berarti ijazah bisa dibeli, yang memang bukan barang gratisan. Bukan berarti gelar pemberian menunjukkan si penerima gelar telah paripurna ilmunya, telah tuntas menuntut ilmu. Gelar kehormatan tak ada kaitan formal dengan derajat akademis.

Belajar dari pahlawan lingkungan penerima hadiah Kalpataru, tetap berjibaku dengan lingkungan. Bukan membuka wacana panjang lebar. Apalagi untuk tepuk dada unjuk jasa. Padahal, cinta tak akan kemana-mana.

Tak jarang anak bangsa,yang gelar akademis lebih panjang dari nama diri. Kalau ada gelar boleh dipasang ditengah nama, pasti sudah marak. Merasa kurang percaya diri kalau tidak memasang gelar akademis, apakah sebagai tanda akumulasi krisis IQ, EQ,  SQ, dan RQ. Semua anak tahu, bahwa ijazah sebagai bukti formal sebagi ‘wong pintar’. Ijazah sebagai syarat admnistrasi melamar pekerjaan. Untuk wujudkan sukes diperlukan syarat ‘pintar-pintar’. Jangan sampai memintari diri sendiri, terutama saat tampil di pentas kehidupan. Juga jangan sampai membodohi diri sendiri dengan tampilan, gaya bicara, olah mulut, aroma jiwa, nyali, busana yang hanya menutupi kekurangan diri. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar