generasi emas
Nusantara, mabuk gelar kehormatan vs gelar mabuk kehormatan
Banyak anak bangsa yang kenyang dengan panjang angan-angan, tanpa ikhtiar
bagaimana menghidupkan angan-angan. Akal, otak, logika, nalarnya sarat dan
nyaris terkontaminasi pembayangan bagaimana ruang dan waktu yang nun jauh di
mata. Merasa berbuat banyak jika berhasil membuat jargon masa depan bangsa dan
negara. Merasa berjasa telah berhasil merumuskan, memformulasikan, memprospektuskan,
mengéjawantahkan bagaimana generasi mendatang,
generasi harapan, apalagi di saat Indonesia 100 tahun, satu abad. Generasi emas
Nusantara.
Tak kurang anak bangsa yang sibuk merenungi nasibnya. Merasa penat berjuang
antara hidup dan mati menggapai sukses dunia, meraih simbol berhala Reformasi
(kuasa, kuat, kaya). Kelamaan tidak ada yang memujinya, apalagi memujanya, maka
tanpa sungkan, tanpa malu, tanpa risi, tanpa tedeng aling-aling ybs menunjuk
dirinya cerdas karena faktor keturunan. Tepatnya,
merasa sebagai pemikir dan pemakar yang selalu membanggakan masa kejayaan masa
lampau. Betapa besar jasa nenek
moyangnya tak terhingga, tak tertandingi, khususnya yang masuk kategori para pendiri bangsa (founding fathers). Akhirnya sibuk mematut diri yang siap
menerima negara sebagai warisan.
Masa depan memang harus diawali,
dimulai dan dirintis dari sekarang. Bukan menghitung mundur apa saja komponen
generasi emas Nusantara. Kajian akademis atau acara, adegan, atraksi di media
penyiaran televisi yang mengundang pakar masa depan generasi, malah menjadikan
generasi sebagai boneka, memposisikan bak wayang, semacam robot hidup. Pengisi
acara yang ketawa-ketiwi memamerkan isi otaknya yang jauh dari standar
motivasi, standar olah jiwa, standar olah rasa apalagi jangan diakitkan dengan
standar budi pekerti.
Ironis, sang penyaji tidak
mampu melihat ujung hidungnya sendiri, tetapi merasa “weruh sakdurunge winarah”.
Pemerhati masalah anak, tidak ada yang peduli atas sepak terjangnya. Pendidikan
formal dengan makan bangku sekolah memang butuh biaya tak sedikit. Bukan
berarti ijazah bisa dibeli, yang memang bukan barang gratisan. Bukan berarti
gelar pemberian menunjukkan si penerima gelar telah paripurna ilmunya, telah
tuntas menuntut ilmu. Gelar kehormatan tak ada kaitan formal dengan derajat
akademis.
Belajar dari pahlawan lingkungan
penerima hadiah Kalpataru, tetap berjibaku dengan lingkungan. Bukan membuka
wacana panjang lebar. Apalagi untuk tepuk dada unjuk jasa. Padahal, cinta tak akan kemana-mana.
Tak jarang anak bangsa,yang
gelar akademis lebih panjang dari nama diri. Kalau ada gelar boleh dipasang ditengah
nama, pasti sudah marak. Merasa kurang percaya diri kalau tidak memasang gelar
akademis, apakah sebagai tanda akumulasi krisis IQ, EQ, SQ,
dan RQ. Semua anak tahu, bahwa
ijazah sebagai bukti formal sebagi ‘wong pintar’. Ijazah sebagai syarat
admnistrasi melamar pekerjaan. Untuk wujudkan sukes diperlukan syarat ‘pintar-pintar’.
Jangan sampai memintari diri sendiri, terutama saat tampil di pentas kehidupan.
Juga jangan sampai membodohi diri sendiri dengan tampilan, gaya bicara, olah
mulut, aroma jiwa, nyali, busana yang hanya menutupi kekurangan diri. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar