Dikotomi Demokrasi Ritual, Berkuasa Untuk Memimpin vs
Memimpin Untuk Berkuasa
Sejumput Garam
Sejumput garam mampu
mempengaruhi keseimbangan cita rasa masakan satu wajan, menjadi tidak hambar. Garam
tak pernah ingkar rasa, menerima kodratnya, mengemban amanah rasa asin sejak
diketemukan manusia sampai akhir zaman. Garam tetap selalu berada dan bergerak
dalam koridor haq dengan tunduk, patuh dan taat.
Nafsu manusia menjadikan garam sesuai
seleranya. Sejumput garam memang asin, ketika dilipatgandakan dengan
pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, garam menjadi “manis”.
Garam semakin manis jika harus didatangkan dari luar negeri, padahal garis
pantai Indonesia terpanjang keempat sedunia.
.
Analog, haq/hak
sebesar zarah pun tetap hak. Sejumput hak, tetap hak. Bedanya, jika akumulasi
hak sampai sebesar gunung pun tidak akan mengalami perubahan makna, apalagi
berubah menjadi bathil.
Kita bisa mengacu pada yang
tersurat maupun tersirat dalam terjemahan (QS Al Baqarah [2] : 42) : “Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.“
Rakyat Memilih
Sejak
jabatan kepala negara/presiden mulai 2004 dipilih langsung oleh rakyat yang
mempunyai hak pilih, peta buta politik Nusantara semakin membutakan kata hati.
Dampaknya, jabatan ketua umum partai politik menjadi jabatan bergengsi, prestius
sekaligus prospektus. Sebagai syarat administrasi utama, tiket masuk untuk ikut
pilpres. Tidak sabar antri, nomer urut bak noner sepatu, hanya duduk manis di
bangku cadangan, menyempalkan diri mendirikan partai politik sendiri.
Banyak anak
bangsa yang merasa paling berhak atas takhta pengusa tunggal negara. Mengandalkan
rekam jejak, merasa sebagai pewaris utama takhta sampai merasa telah berbuat
banyak untuk negara. Kefasikan media masa yang komersial, yang hanya uber
peringkat, dimanfaatkan hidup-hidup sebagai wahana untuk jual tampang, jual nama,
jual diri.
Rakyat
dihadapkan pada banyak pilihan. Pilihan yang tersedia, hanya beda kemasan, beda
tampilan, beda warna dan beda kombinasi, karena menggunakan bahan baku yang
sama yaitu ‘atas
nama rakyat’.
Peluang
Ketum
parpol bukan jaminan mutu. Pengalaman jadi RI-1 bukan jaminan layak dipilih. Pemerataan
dengan menjaring calon pimpinan nasional dari bawah, mulai dari tingkat RT/RW. Selama
lima tahun, mulai tahun pertama dimulai dengan sosialisasi, desiminasi, pemantapan,
pendaftaran, seleksi awal tingkat RT/RW. Tahun kedua atau berikutnya dipilah
dan dipilih kandidat sampai tingkat kabupeten/kota. Tiap tahun ada kegiatan.
Tahun kelima sudah terdapat calon dari semua provinsi. Pada Hari-H tinggal pilpres.
Sebagai
negara maritim, kita tak bermaksud mencampuradukkan antara yang hak/haq dengan
yang bathil. Tak terkecuali yang menggunakan pasal dan delik politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar