Halaman

Kamis, 20 Agustus 2015

Dikotomi Demokrasi Ritual, Berkuasa Untuk Memimpin vs Memimpin Untuk Berkuasa

Dikotomi Demokrasi Ritual, Berkuasa Untuk Memimpin vs Memimpin Untuk Berkuasa


Sejumput Garam
Sejumput garam mampu mempengaruhi keseimbangan cita rasa masakan satu wajan, menjadi tidak hambar. Garam tak pernah ingkar rasa, menerima kodratnya, mengemban amanah rasa asin sejak diketemukan manusia sampai akhir zaman. Garam tetap selalu berada dan bergerak dalam koridor haq dengan tunduk, patuh dan taat.

 Nafsu manusia menjadikan garam sesuai seleranya. Sejumput garam memang asin, ketika dilipatgandakan dengan pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, garam menjadi “manis”. Garam semakin manis jika harus didatangkan dari luar negeri, padahal garis pantai Indonesia terpanjang keempat sedunia.
.
Analog, haq/hak sebesar zarah pun tetap hak. Sejumput hak, tetap hak. Bedanya, jika akumulasi hak sampai sebesar gunung pun tidak akan mengalami perubahan makna, apalagi berubah menjadi bathil.

Kita bisa mengacu pada yang tersurat maupun tersirat dalam terjemahan (QS Al Baqarah [2] : 42) : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.“

Rakyat Memilih
Sejak jabatan kepala negara/presiden mulai 2004 dipilih langsung oleh rakyat yang mempunyai hak pilih, peta buta politik Nusantara semakin membutakan kata hati. Dampaknya, jabatan ketua umum partai politik menjadi jabatan bergengsi, prestius sekaligus prospektus. Sebagai syarat administrasi utama, tiket masuk untuk ikut pilpres. Tidak sabar antri, nomer urut bak noner sepatu, hanya duduk manis di bangku cadangan, menyempalkan diri mendirikan partai politik sendiri.

Banyak anak bangsa yang merasa paling berhak atas takhta pengusa tunggal negara. Mengandalkan rekam jejak, merasa sebagai pewaris utama takhta sampai merasa telah berbuat banyak untuk negara. Kefasikan media masa yang komersial, yang hanya uber peringkat, dimanfaatkan hidup-hidup sebagai wahana untuk jual tampang, jual nama, jual diri.

Rakyat dihadapkan pada banyak pilihan. Pilihan yang tersedia, hanya beda kemasan, beda tampilan, beda warna dan beda kombinasi, karena menggunakan bahan baku yang sama yaitu ‘atas nama rakyat’.

Peluang
Ketum parpol bukan jaminan mutu. Pengalaman jadi RI-1 bukan jaminan layak dipilih. Pemerataan dengan menjaring calon pimpinan nasional dari bawah, mulai dari tingkat RT/RW. Selama lima tahun, mulai tahun pertama dimulai dengan sosialisasi, desiminasi, pemantapan, pendaftaran, seleksi awal tingkat RT/RW. Tahun kedua atau berikutnya dipilah dan dipilih kandidat sampai tingkat kabupeten/kota. Tiap tahun ada kegiatan. Tahun kelima sudah terdapat calon dari semua provinsi. Pada Hari-H tinggal pilpres.

Sebagai negara maritim, kita tak bermaksud mencampuradukkan antara yang hak/haq dengan yang bathil. Tak terkecuali yang menggunakan pasal dan delik politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar