Halaman

Kamis, 13 Agustus 2015

anomali hukum Nasional, pasal konvensional vs pasal komersial

anomali hukum Nasional, pasal konvensional vs pasal komersial

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta praktik mafia hukum di kepolisian atau yang lebih dikenal sebagai makelar kasus sebera diberantas. Permintaan ini disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam amanatnya pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-69 di Markas Komando (Mako) Brimob Kepala Dua, Depok, Jabar, Rabu (1/7).

Di akhir sambutannya, Presiden mengingatkan tentang program Revolusi Mental yang sudah dicanangkan Pemerintah dan 11 program prioritas Polri. Presiden berharap program tersebut harus benar-benar dilaksanakan, bukan sekedar formalitas semata. Harus ada hasil nyata yang dirasakan sebagai suatu perubahan yang positif konstruktif, tutup Presiden Jokowi. (sumber : laman Sekretariat Negara Republik Indonesia).

Sudah rahasia umum dan tidak usah diperdebatkan secara akademis atau menurut selera media massa. Semakin diperdebatkan, malah semakin menguak kondisi faktual dan aktual di tempat kejadian perkara (TKP) atau bahkan menemukan TKP rekayasa, artificial, imitasi, pesanan, buatan yang sesuai skenario pihak tertentu.

Pasal pencemaran nama baik, pasal penghinaan, pasal melawan hukum, menjadi daya tarik hamba hukum untuk bersegera memprosesnya. Tanpa ada permintaan dari pihak yang dirugikan, pihak yang merasa nama baiknya tercemar, pihak yang merasa terhina oleh tindakan/ucapan orang lain maupun pihak yang kebal hukum sedang bermasalah dengan pasal hukum. Memang, di hukum rimba berlaku siapa saja yang mengkritik, membeberkan fakta yang aib bagi ‘orang baik’ yang masih measa mempunyai harga diri, akan menuai pidana. Kita jangan menyalahkan acara, atraksi, adegan di media penyiaran televisi yang menjadikan kupas tuntas perilaku seseorang menjadi paker siar menu andalan.

Kasus hukum yang mangkrak, yang menunggu waktu kedaluwarsa, yang dipetieskan, yang diulur-ulur karena tak cukup bukti dan saksi, yang menyangkut orang kuat atau orang yang namanya masih baik, yang dibiarkan mengalir terlupakan oleh sejarah bisa menjadi koleksi museum hukum. Ilmu hukum Nusantara, yang berasal dari peninggalan penjajah Belanda, walau sudah dinamis, bisa terjadi sudah uzur, sudah ketinggalan zaman. Atau oknum hamba hukum yang malah buta pasal hukum.

Hamba hukum yang sadar hukum, yang melek hukum, yang menjadikan status hamba hukum sebagai profesi, sebagai mata pencaharian tentu faham betapa berharga sebuah pasal hukum. Salah menggunakan, mengutip pasal hukum bisa jadi bumerang, bisa jadi senjata makan tuan. Yang paling dipertimbangkan adalah jangan sampai membangkrutkan dirinya, jangan sampai masukan ke pundi-pundinya terlambat, tersendat apalagi terhambat.

Masalahnya, bagaimana jika orang baik yang merasa punya harga diri, di panggung politik berperilaku menghinakan diri sendiri? [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar