anomali
hukum Nasional, pasal konvensional vs pasal komersial
Presiden Joko
Widodo (Jokowi) meminta praktik mafia hukum di kepolisian atau yang lebih dikenal sebagai makelar kasus sebera diberantas. Permintaan ini disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam
amanatnya pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-69 di
Markas Komando (Mako) Brimob Kepala Dua, Depok, Jabar, Rabu (1/7).
Di akhir
sambutannya, Presiden mengingatkan tentang program Revolusi Mental yang sudah
dicanangkan Pemerintah dan 11 program prioritas Polri. Presiden berharap
program tersebut harus benar-benar dilaksanakan, bukan sekedar formalitas
semata. Harus ada hasil nyata yang dirasakan sebagai suatu perubahan yang
positif konstruktif, tutup Presiden Jokowi. (sumber : laman Sekretariat
Negara Republik Indonesia).
Sudah
rahasia umum dan tidak usah diperdebatkan secara akademis atau menurut selera
media massa. Semakin diperdebatkan, malah semakin menguak kondisi faktual dan
aktual di tempat kejadian perkara (TKP) atau bahkan menemukan TKP rekayasa, artificial,
imitasi, pesanan, buatan yang sesuai skenario pihak tertentu.
Pasal pencemaran
nama baik, pasal penghinaan, pasal melawan hukum, menjadi daya tarik hamba
hukum untuk bersegera memprosesnya. Tanpa ada permintaan dari pihak yang
dirugikan, pihak yang merasa nama baiknya tercemar, pihak yang merasa terhina
oleh tindakan/ucapan orang lain maupun pihak yang kebal hukum sedang bermasalah
dengan pasal hukum. Memang, di hukum rimba berlaku siapa saja yang mengkritik, membeberkan
fakta yang aib bagi ‘orang baik’ yang masih measa mempunyai harga diri, akan
menuai pidana. Kita jangan menyalahkan acara, atraksi, adegan di media
penyiaran televisi yang menjadikan kupas tuntas perilaku seseorang menjadi paker
siar menu andalan.
Kasus
hukum yang mangkrak, yang menunggu waktu kedaluwarsa, yang dipetieskan, yang
diulur-ulur karena tak cukup bukti dan saksi, yang menyangkut orang kuat atau
orang yang namanya masih baik, yang dibiarkan mengalir terlupakan oleh sejarah
bisa menjadi koleksi museum hukum. Ilmu hukum Nusantara, yang berasal dari
peninggalan penjajah Belanda, walau sudah dinamis, bisa terjadi sudah uzur,
sudah ketinggalan zaman. Atau oknum hamba hukum yang malah buta pasal hukum.
Hamba hukum
yang sadar hukum, yang melek hukum, yang menjadikan status hamba hukum sebagai
profesi, sebagai mata pencaharian tentu faham betapa berharga sebuah pasal
hukum. Salah menggunakan, mengutip pasal hukum bisa jadi bumerang, bisa jadi
senjata makan tuan. Yang paling dipertimbangkan adalah jangan sampai membangkrutkan
dirinya, jangan sampai masukan ke pundi-pundinya terlambat, tersendat apalagi
terhambat.
Masalahnya,
bagaimana jika orang baik yang merasa punya harga diri, di panggung politik
berperilaku menghinakan diri sendiri? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar