Kolom Tamu Dibaca :115 kali , 0 komentar
Ternyata Masih Ada Jurnalisme Positif
Ditulis : Herwin Nur, 30 Oktober 2013 | 09:15
Hak Telinga
Telinga,
telinga kita, seolah kita bebas menggunakannya. Tak jarang, dengan
sengaja, sadar, kita sibuk menguping info yang bukan haknya telinga.
Telinga tidak seperti hidung yang punya filter.
Menggunakan telinga, tidak hanya berdampak saat kita hidup di dunia, bisa jadi saksi di akhirat kelak. Kita mulai dari [QS Al Israa' (17) : 36] : “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Telinga
tidak pernah tidur, kita tidur pun telinga tetap berfungsi. Telinga
menjadi saksi atas diri kita, dijelaskan antara lain dalam [QS Fushshilat (41) : 22] : “Kamu
sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran,
penglihatan dan kulitmu kepadamubahkan kamu mengira bahwa Allah tidak
mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.”
Kontaminasi Berita
Penemu
maupun pengembang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tak
membayangkan dampaknya, khususnya pada tatanan kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
TIK
semakin mendukung semboyan "siapa yang menguasai informasi, akan
menguasai dunia." Tidak sekedar menguasai informasi, bagaimana modus
operandi menyebarkan berita, semakin membuktikan siapa yang jadi
“penguasa”.
Berita
bisa diibaratkan sebagai garam. Satu jumput garam, rasanya masih asin.
Membengkak jadi satu kantong, satu karung, satu ton, atau satu truk
kontainer rasa garam sesuai selera. Berita yang sesuai porsinya masih
terasa sebagai berita. Saat berita diformat karena selera pasar,
tuntutan pendengar atau ada maksud terselubung, maka berita bisa menjadi
multitafsir.
Di
era Reformasi, pihak yang menguasi informasi sekaligus menyebarkan
berita, tahu betul bagaimana menjaga agar berita tetap ”asin”. Berita
yang disajikan masih sesuai aselinya, namun dalam berbagai ragam
penampakan.
Umat
Islam di Indonesia menjadi konsumen terbanyak informasi, harus
mempunyai kearifan dalam menyerap berita. Daya kritis dengan melakukan check and recheck. Artinya, menumbuhkan potensi untuk dapat memilih dan memilah informasi.
Perusahaan Jurnalisme
Adalah
perusahaan MediaSatu Media Holdings, pada tanggal 1 Maret 2012 telah
menerbitkan Panduan Kerja Para Jurnalis Berita Satu Media Holding,
dengan judul Jurnalisme Positif.
Membaca
substansi maupun redaksi Panduan tersebut, memang didominasi oleh
lampirannya, dengan mencantumkan UU 40/1999 tentang “PERS” dan Kode Etik
Jurnalistik. Berita
positif lebih diartikan format berita berbasis dan berorientasi kepada
kepentingan umum daripada menuruti kepentingan pihak tertentu, kendati
berita sebagai bahan baku industri pers.
Secara
awam, walau Panduan ini bersifat internal perusahaan dan menjadi lagu
wajib, justru menjadi pengakuan dosa bahwa selama ini karya jurnalis
masuk kategori Jurnalisme Negatif. Minimal, khususnya karya jurnalis
yang dipertontonkan oleh TVswasta, masuk kategori berita sampah.
Kaidah pers ‘bad news is good news’
masih dianggap sebagai resep manjur, obat mujarab atau formula ampuh
untuk menarik minat pendengar/penonton. Acara dialog, diskusi dan debat
untuk mengkupas tuntas suatu berita, menjadikan TVswasta bak lembaga
peradilan. Kuman di seberang lautan nampak nyata, gajah nangkring di
pelupuk mata tak kelihatan, menjadi primbon penyiaran.
Obyek
berita mulai dari perilaku individu warga negara sampai kinerja
pemerintah. Tukang uber berita memang peka, saking pekanya, jarum
tetangga jatuh terdengar nyaring. Tak jarang mereka demi pengabdian
kepada dunia pers, siang malam menempel ke sumber berita.
Memang telinga
kita siaga 24 jam sehari, namun jangan sampai berita sampah, bahkan
berita haram, kita biarkan melenggang masuk.(Herwin Nur/wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar