Kolom Tamu Dibaca :343 kali , 0 komenta
Ditulis : Herwin Nur, 12 September 2012 | 23:09
Landasan Hukum Pemilu
UU
8/2012 tentang “Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, berlaku sejak
11 Mei 2012, sedemikian rinci sehingga terdiri atas 328 pasal.
Partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, dilakukan dalam bentuk antara
lain pendidikan politik bagi Pemilih, wajib mengikuti ketentuan yang
diatur oleh KPU. (Pasal 246 dan 247). Pendidikan politik bagi Pemilih,
tidak dirinci apa maksud, makna, manfaat, dan tata caranya. Kondisi ini
senasib dengan faktor pertimbangan penetapan UU yaitu untuk menghasilkan
wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab
berdasarkan Pancasila dan UUD1945.
Persyaratan
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota (Pasal
51 UU 8/2012) tidak mengindikasikan syarat menuju kualifikasi
aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab.
Fenomena Golput
Fenomena
golongan putih (golput), secara tak langsung menyiratkan bahwa pemilih
telah cerdas politik,sudah bisa membaca mana yang layak dipercaya atau
sebaliknya. Memilih diawali dengan memilah dari daftar bakal calon wakil
rakyat, untuk mencari yang termungkin dari yang serba mungkin.
Aspirasi
politik anak bangsa tidak bisa dikekang, didikte, dimanipulasi, apalagi
dituduh tidak dewasa politik jika golput, sejalan proses
demokratisisasi di segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.
Golput
bukannya tidak mendukung program pemerintah, bukannya anti politik,
bukan tidak menghargai biaya politik, apalagi masuk aliran sesat secara
politis. Golput bersifat perorangan, tetapi bisa muncul nyaris merata di
wilayah daerah pilihan berdasarkan akumulasi TPS. Golput sebagai
realita asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Golput jujur terhadap dirinya sendiri, andai pilihannya salah,
akan menyesal selama lima tahun!
Jumlah
atau persentase golput terkadang cukup signifikan, bahkan bisa
mengalahkan perolehan suara parpol parlemen, namun tidak bisa melakukan
oposisi secara masal. Secara individu tidak mungkin berbuat anarkis,
menjadi pecundang, menggerogoti bahtera pemerintah dari dalam, menjegal
kebijakan pemerintah, apalagi menyuarakan hati nurani dan opini liwat
media massa.
Buta Politik
Pendidikan
politik ditujukan pada yang melek politik, agar tidak menyimpang secara
sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Masyarakat buta politik
biasanya adem ayem, sepi ing pamrih rame ing gawe.
Lepas
dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa para wakil rakyat selama
era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga pendidikan
politik. Justru karena tidak buta politik, para wakil rakyat bisa
bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap
liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif.
Bagaimana
nasib para caleg (calon legislatif) yang tidak lolos suara untuk meraih
kursi parlemen? Ironis memang, caleg lebih siap menang ketimbang siap
kalah. Bahkan mereka sudah berani mimpi masuk Komisi yang basah. Sudah
kalah tertimpa masalah, besarnya beban moral, finansial, material bahkan
rasa malu di masyarakat menjadikan banyak caleg menjadi stres.
Saran
Sekilas,
dalam tataran modus operandi dan tatanan internal parpol, terlihat yang
butuh pendidikan politik adalah yang dipilih. Langkah antisisipasi
sebagai berikut:
- Caleg wajib mengetahui peta politik nasional dan lokal serta prediksi dan prospek parpol sebagai kendaraan politiknya
- Parpol wajib terbuka, jujur dan adil terhadap kandidat caleg, baik dari internal maupun eksternal, minimalisasi dan antisipasi dampak caleg gagal
- Parpol dan caleg wajib memahami produk hukum tentang pemilu legislatif.(Herwin Nur/wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar