Halaman

Senin, 23 Desember 2013

Mengetuk Pintu Surga Dengan Ridho Orang Tua

Humaniora     Dibaca :278 kali , 1 komentar

Mengetuk Pintu Surga Dengan Ridho Orang Tua

Ditulis : Herwin Nur, 27 April 2013 | 06:06
Keluarga Islam Indonesia 
Di era Reformasi, dengan terbitnya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 tahun 2002 tentang “PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM”, secara yuridis dianggap suatu bukti pengakuan pemerintah terhadap Hukum Keluarga Islam. Dalam Qanun yang berkadar tekstual telah memaparkan adanya sanksi duniawi dan sanksi ukhrawi bagi orang yang melanggarnya.

Kita fokus pada tanggung jawab orang tua terhadap keluarga, disuratkan dalam :
Pasal 4
(2)    Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Pasal 7
(2)    Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung awabnya.

Berbagai kasus yang menimpa keluarga, kepedulian pemerintah diwujudkan dalam UU 23/2004 tentang “PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”, atau yang dikenal dengan UU KDRT. Korban KDRT, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Bukan berarti UU ini memantapkan asumsi bahwa perempuan  sebagai kelompok gender yang lemah, bukan hanya lemah dalam arti fisik an sich, tetapi juga lemah secara psikologis, mental dan spiritual.


Birrul Walidain
Abdullah bin Mas’ud RA bertanya kepada Rasulullah SAW: “Amal apakah yang paling Allah cintai?”, Beliau menjawab: “Sholat pada awal waktunya”, Abdullah bertanya, “Kemudian apa lagi?”, Beliau menjawab, “Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orang tua)”, dia bertanya lagi, “kemudian apa?”, Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah”.(HR Bukhori dan Muslim)

Banyak kiat, tips atau ikhtiar seorang hamba mendapat keridhoan Allah SWT. Di antaranya adalah Birrul Walidain. Banyak riwayat adanya hamba  Allah SWT memperoleh kebahagiaan, kesuksesan duniawi, keutuhan rumah tangga karena kebaikannya terhadap orang tuanya. Taat pada perintah mereka, selagi tidak bertentangan dengan agama atau syariat.

Berbakti kepada orang tua bersifat dinamis. Utamakan berbakti, mulai mendo’akan, berbahasa santun, bahkan memberi nafkah atau perhatian finansial, mengunjungi atau silaturahmi dengan  orang tua bahkan kerabatnya, selagi orang tua masih ada. Jangan menunda setelah beliau tiada. Wajar jika kita baru bisa merasakan jasa orang tua, setelah keduanya “jauh” dari kehidupan kita.

Walau kita sudah berkeluarga, menyandang status orang tua atas anak kita, kewajiban berbakti kepada orang tua tetap berlaku, tidak gugur. Bahkan ketika kita sudah berusia 40 tahun, wajib berdo’a sesuai sebagian  terjemahan [QS Al Ahqaaf  (46) : 15] : "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.

Berbakti, identik memposisikan orang tua sesuai makna yang tersirat pada: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua.” Artinya, ayat ini Allah menggandeng antara perintah untuk beribadah kepada-Nya semata dengan perintah berbakti kepada orang tua. Secara tak langsung, memantapkan posisi orang tua sebagai wakil Allah di muka bumi.  

Disabdakan oleh Rasulullah SAW,  yang artinya: “Ridho Allah terletak pada keridhoan kedua orang tua dan murka Allah terletak pada kemurkaan kedua orang tua” (HR At Tirmidzi) [Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar