Humaniora Dibaca :109 kali , 0 komentar
Reformasi Birokrasi , Jalan Di Tempat Atau Jalan Mundur
Ditulis : Herwin Nur, 12 September 2013 | 09:18
Benang Merah
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN-RB), Eko Prasojo mengatakan, reformasi birokrasi di Indonesia bergerak lambat menurut deret hitung. Sedangkan keinginan masyarakat terhadap perubahan birokrasi sangat cepat bergerak menurut deret ukur.
Jika tidak segera dilakukan perubahan sekarang, keinginan perubahan dari masyarakat akan semakin tinggi. Terjadi public distrust karena masyarakat sudah frustasi, akhirnya pemerintah tidak sanggup lagi mengikuti keinginan masyarakat (Republika, Rabu 11 September 2013).
Tidak semua masyarakat mempunyai urusan yang berhubungan langsung dengan birokrasi, khususnya kementerian. Banyak pula masyarakat yang tidak tahu siapa saja menteri di Kabinet Indonesia (KIB) II. Republika, Senin 9 September, liwat Teraju, menjelaskan bahwa KIB II memiliki 34 menteri. Separuh di antaranya, atau 17 menteri, adalah orang dari partai politik (parpol).
Kacamata awam bisa membaca hal di atas dan melihat adanya benang merah, bisa-bisa RB jalan di tempat atau jalan mundur karena setengah jabatan menteri dikelola oleh orang parpol.
Orientasi Pada Sistem
Tidak semua kementerian memasukkan program RB sebagai program wajib. Implementasi RB akan lebih akseleratif jika menteri mampu menjalankan peran sebagai teladan dan panutan yang mampu menginspirasi terjadinya perubahan. Menteri menjalankan asas “ing ngarso sung tulodo”, maknanya di depan memberi teladan. Pembusukan dan perubahan di mulai dari pimpinan.
Menteri dari parpol tentunya akan membawa dampak internal kementerian, mulai bagaimana pola Rotasi, Promosi dan Mutasi (baca : penempatan dan pengangkatan dalam jabatan struktural dicemari intervensi politik)dijalankan sampai bagaimana memanfaatkan APBN. Di tubuh kementerian yang menterinya bukan orang parpol, muncul kekuatan warna-warni parpol yang menyebabkan persaingan terselubung.
Kutu loncat antar kementerian bukan hal tabu bagi Apartur Sipil Negara (ASN), khususnya bagi mereka yang mampu menterjemahkan peta politik dan arah angin. Kementerian PAN-RB tahun 2013 ini membuka peluang dan mengadakan seleksi administrasi dan seleksi terbuka jabatan eselon II di lingkungannya.
Keputusan tentang tugas dan fungsi kementerian hanya sebagai acuan formal normatif. Prakteknya, lebih dominan berorientasi pada orang, bukan pada sistem. Di era Reformasi, kontrak politik menteri menjadi batu sandungan menteri. Sebagai pembantu presiden, masa jabatan lima tahun bukan harga mati. Tekanan politik lebih ditakuti daripada aspirasi rakyat. Siap digoyang dan lengser sebelum jatuh tempo.
Walau berorientasi pada orang, karena jabatan menteri sebagai jabatan politik, tak heran jika RB, Good Governance atau doktrin apa pun hanya sebagai pemanis politik. Desain besar dan road map RB yang disusun sejak 2010 oleh Kementerian PAN-RB, dalam implementasinya belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, bahkan tidak menimbulkan percepatan.
Di era Reformasi, birokrasi di kementerian memasuki domain atau kuadran Penyakit Sistem Politik. Ada beberapa kasus yang mencuat, selain telah disiratkan di atas. Misal, dampak semangat Otonomi Daerah menimbulkan dan menumbuhkan high cost and low performance. Belanja Aparatur di tingkat nasional sekitar 38% dari APBN, dan mencapai lebih dari 63% di daerah. Bahkan di 11 daerah mencapai 76% (sumber RUU ASN, Kementerian PAN-RB, September 2012).
Kalah Pamor
3 alasan pokok untuk menjadi PNS/ASN. Pertama, adanya gaji tetap bulanan. Kedua, tambahan Tunjangan Kinerja. Ketiga, uang pensiunan sebagai jaminan hari tua. Ironis, karir pelaku RB bisa berjalan di tempat, jika tidak memakai baju politik. (Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar