Kolom Tamu Dibaca :147 kali , 0 komentar
Pengakuan SBY dan Peta Korupsi Indonesia
Ditulis : Herwin Nur, 21 Oktober 2013 | 15:23
Negara Perusahaan
Kejujuran
presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat pidato dihadapan
peserta APEC CEO Summit di Nusa Dua, Bali, Minggu 6 Oktober 2013,
menarik untuk disimak. Jelang akhir pidato, SBY berujar : “As a final point, also in my capacity as the chief salesperson of Indonesia Inc.,”
Artinya,
pernyataan SBY di mata awam bisa multi tafsir, multi makna. Selain
bukan basa-basi, apakah mewakili kenyataan sejarah Orde Baru yang
berlanjut ke era Reformasi.
SBY adalah Kepala Penjualan Perusahaan Indonesia (Chief Salesperson of Indonesia Inc), negara dianggap perusahaan, makanya para penyelenggara negara memakai asas profit oriented.
Imbalan pengabdian yang jauh di atas UMR dianggap kurang, tidak layak.
Mereka kreatif untuk mengisi pundi-pundi dengan membelokkan aliran uang
negara (APBN/APBD).
Dampak
sebagai negara perusahaan, melahirkan dinasti politik sampai tingkat
pemerintahan paling dasar/lokal (kelurahan). Otonomi daerah, sistem
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) berdampak pada provinsi atau
kabupaten/kota basah menjadi ladang rebutan partai politik, sudah
dikapling-kapling atau tempat praktek dinasti politik. Negara/daerah
dirugikan, di pihak lain banyak pihak menikmati “keuntungan”.
Dampak Dinasti Politik
Dengan dalih hak asasi dan hak konstitusi, terjadi suatu daerah dikuasasi oleh satu keluarga besar secara turun temurun, walau resmi melalui mekanisme pemilukada. Tercatat, dampak dinasti politik (Republika, Sabtu, 19 Oktober 2013) :
Dampak
negatif : Memperkuat kepentingan keluarga lewat posisi politik. Membuka
akses dan hak istimewa bagi keluarga dalam proyek pemerintahan. Merusak
kompetisi, profesionalisme, dan keadilan dalam politik maupun bisnis.
Keberpihakan kepala keluarga secara berkelebihan. Sikap oposisi kepada
lawan-lawan politik dengan tidak sportif.
Dampak
postif : Memiliki kultur dan pengalaman dalam bidang politik apabila
dinastinya telah berlangsung lama. Mewarisi reputasi keluarga apabila
dinasti politiknya memiliki citra positif. Mudah untuk menulusuri rekan
jejak lewat keluarganya. Pengawasan dari publik bisa berlangsung sehat
apabila dinasti transparan mempublikasikan anggota keluarganya yang
berada di posisi politik.
Modus Korupsi
Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) memetakan ada tiga lembaga yang paling korup
di Indonesia yakni kepolisian, parlemen, dan pengadilan. Dari tahun ke
tahun, ketiga lembaga ini terus mendapat rangking tertinggi, dengan
peringkat yang kerap bergeser. 2012-2013, kepolisian menempati posisi
nomor satu, maka pada periode 2010-2011 DPR menjadi lembaga terkorup
nomor satu. Di tingkat ASEAN, DPR dikenal paling kreatif dan
paling jago korupsi. Itu terbukti sejak 2004-2013, KPK sudah menangani
65 anggota dewan yang korup.
Di
era Reformasi terjadi pergeseran fungsi elemen trias poltika, bisa kita
rasakan peran DPR lebih dominan dibanding peran birokrat. Model korupsi
yang dilakukan anggota DPR RI bersifat dinamis. Wakil Ketua DPR RI,
Pramono Anung di Jakarta, Kamis (3/10/2013), mengatakan, dulu peta utama
korupsi di DPR ada di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pengawasan,
sesuai dengan tiga tugas dan fungsi utama DPR yakni legislasi,
pengawasan, dan budgeting.
Temuan
Bank Dunia dan KPK adalah korupsi paling marak justru terjadi berkaitan
dengan proses legislasi. Korupsi di Banggar DPR RI sudah jelas ada di
tahap penetapan tingkat pertama, pembahasan dan penentuan APBN-P,
pengangkatan pejabat publik, dan sebagainya.
Di
bidang legislasi, peluang/potensi korupsi terjadi di tujuh tingkatan,
mulai dari penyusunan proses legislasi nasional (prolegnas), harmonisasi
undang-undang, penentuan dan pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi
Masalah), pembahasan pembicaraan tingkat satu, pembahasan penolakan
fraksi-fraksi, pembahasan pengambilan keputusan, dan pembahasan
pengesahan sebuah rancangan undang-undang (RUU). (diolah dari sumber
http://www.suarapembaruan.com 3-10-2013). (Herwin Nur/wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar