Humaniora Dibaca :38 kali , 0 komentar
Langkah Jitu Berantas Korupsi Di Sarangnya
Ditulis : Herwin Nur, 18 November 2013 | 08:54
Gropyokan Tikus
Secara tradisional petani dibantu masyarakat bahkan aparat, terjun langsung ke ladang tanaman pangan memburu tikus. Perburuan tikus masih dilakukan secara tradisional, dengan menguber dan memukul tikus sampai mampus. Ekor tikus sebagai bukti terbunuhnya tikus, akan dihargai oleh pemerintah setempat. Di sisi lain predator tikus atau musuh alami tikus, pada kesempatan lain jadi korban pemburu liar atau diperdagangkan.
Zaman sekarang, orang lebih berfikir praktis dalam menghindari masalah. Tak perlu berfikir dua kali. Simpel, masuk akal dan tak njlimet. Mudah dilakukan dan cepat menghasilkan. Akhirnya, penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama menjadi primadona.
Penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan hama tikus menimbulkan dilema. Residunya tidak mudah terurai, sehingga sangat potensial menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan dianggap tidak ekonomis.
Tikus Berdasi
Cara membasmi tikus berdasi yang menggerogoti uang negara/daerah atau koruptor maupun tindak pidana sejenis, juga masih secara tradisonal. Karena nasib apes, tertangkap tangan berikut barang bukti. Nasib baik, setelah keluar dari jabatan formalnya (khususnya kepala daerah/wakil rakyat) dengan predikat mantan, atau pergantian pemerintahan, baru diungkit-ungkit dan diuber.
Racun tikus ada yang sudah tidak ampuh membunuh tikus, bahkan tikus mengenal aroma racun sehingga mampu menghindar. Koruptor atau tikus berdasi ada yang imum atau kebal hukum, dikenakan pasal berlapis pun masih dengan gagah dan pongah tampil di TVswasta mengumbar senyum. Bahkan tanpa sungkan, malu dan risi menyingkap tabir aib teman seperjuangan, mengobok-obok borok kawan separtai, kalau perlu meludah ke atas.
Tikus berdasi bukan anak kemarin sore, bukan dilahirkan dari keluarga broken home, bukan dibesarkan di lingkungan kumuh, bukan tidak mengenal bangku pendidikan, bukan penyandang buta hukum. Tepatnya, koruptor merupakan produk samping sampai produk unggulan dari suatu sistem yang disebut partai politik.
Tikus berdasi tidak mengenal diskriminasi gender, bahkan kaum Hawa mampu memanipulasi watak secara sistematis, terstrutkur dan masif. Dari sisi internal kaum Hawa, hawa nafsu korupsi dipacu dan dipicu oleh gaya hidup sosialita, gaul kalangan papan atas dan gengsi hidup tak mau tersaingi.
Model korupsi di NKRI sangat dinamis. Mulai skala lokal, skala regional sampai skala nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang jeruji besi. Perlakuan hukum atas koruptor dikatakan malah memuliakannya.
Industri media masa menjadikan kasus korupsi sebagai senjata untuk menikam pemerintah dari belakang. Acara dialog, diskusi dan debat diolah dengan pembawa acara yang pura-pura cerdas, menggiring opini pemirsa sesuai selera pemilik.
Buta Politik
Di era Reformasi, wakil partai politik yang memakai atribut wakil rakyat, lebih dominan dibanding ekskutif dan yudikatif. Orang parpol (wakil rakyat) tidak memahami bagaimana hubungan kerja trias politika. Menghadapi kasus bangsa dan negara, soal buruh ahli menuntut, pahlawan devisa ternista di negeri orang, orang parpol lebih gemar menyalahkan pemerintah.
Internal parpol, mesin industri politik lebih mengutamakan bahan baku yang profitable, yang menguntungkan perusahaan. Soal mereka melek politik, menjadi syarat terakhir. Dinasti politik semakin memperkokoh bahwa parpol sebagai usaha keluarga, pabrik pejabat publik, mendaur ulang kekuasaan, mesin penyedot uang.
Orang parpol buta politik, ibarat orang buta diberi senjata api. Rantai fenomena politik : parpol = kekuasaan = korupsi. Tikus berdasi : mati satu tumbuh seribu. Parpol bisa ganti merk dagang. (Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar