Halaman

Jumat, 13 Desember 2013

Birokrasi Kampus vs Birokrasi Tikus

Humaniora     Dibaca :117 kali , 0 komentar

Birokrasi Kampus vs Birokrasi Tikus

Ditulis : Herwin Nur, 31 Agustus 2013 | 11:14


Aturan Main     
 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, di rumah ybs yang terletak di Jakarta Selatan, selasa 13-8-2013 malam. Modus operandi KPK menyisakan berbagai analisa awam, yang mencuat betapa orang kampus terjebak aturan main di ranah basah.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, sebagai orang kampus dalam kabinet di era mbak Mega, terjebak mengumpulkan duit nonbujeter di departemennya.  Pengumpulan dana itu awalnya diperuntukkan bagi para nelayan setelah terjadinya musibah di Situbondo, Jawa Timur, 2002.

Revolusi tidak akan makan anak kandungnya, tetapi Reformasi bisa makan korban orang kampus (baca : bukan orang parpol), karena tidak menguikuti faham “di kandang harimau mengaum, di kandang kambing mengembik”. Bahkan cara mengaum/mengembik sudah ada tata caranya, sudah ada aturan main yang tak tertulis, sudah ada pakemnya.

Koruptor di Indonesia bukan pemain tunggal, karena jika tertangkap tangan atau kasusnya dibuka pada periode berikutnya, mereka bisa ‘menyanyi’ untuk menyeret koorporasi dan kolegialnya. Sebagai contoh, kisah nyata mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia, pada tanggal 7 Agustus2011, yang ahli dan lihai dalam memainkan watak sebagai terpidana kasus korupsi.

Orang kampus jika akan main uang negara jelas akan kalah total dengan orang parpol. Kalah dalam adu rencana, taktik, strategi maupun kalah jumlah sabetannya. Orang parpol yang ada di trias politica, dalam main uang negara/daerah tak sekedar main-main, mereka kalau perlu berjibaku, siap menerima segala resiko dan dampaknya.

Tebang Pilih
 Rokhmin Dahuri memang terbukti di pengadilan sebagai pengumpul dana nonbujeter, terkena sanksi hukum. Ironisnya, pihak penadah (di luar nelayan Situbondo) seolah kebal hukum. Begitu juga pihak memberi uang kepada Rudi Rubiandini, seolah luput dari liputan media massa, khususnya TV swasta yang gemar menyebar sensasi dan membolak-balikkan fakta.

Misalokasi
 Orang kampus di kandang sendiri bukannya bersih korupsi. Korupsi di kampus belaka­ngan juga ramai dibe­ritakan. Rhenald Kasali, Guru Besar FE UI dan Pakar Bisnis dan Strategi, di Padang Ekspres, Kamis, 14/06/2012, menulis : S­e­bagai pendidik saya tentu ikut me­rasa malu dan terpanggil un­tuk menegakkan dan mengem­balikannya. Tetapi, sistem politik s­e­perti ini tampaknya sungguh merepotkan. Orang-orang kam­pus yang mau menjadi pimpi­nan harus ikut melobi menteri, ka­re­na menteri punya suara yang besar. Melobi menteri ber­arti menemui tokoh-tokoh poli­tik. Demikian pula anggarannya. Se­jak dunia pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang be­sar, ada tendensi untuk me­nga­lihkan spirit of entrepreneurship yang 10 tahun lalu d­i­dengung-dengungkan, men­jadi spirit of bureaucracy.

Namun, tengoklah apa yang ter­jadi saat ini? Rektor-rektor ter­tentu mencoba menjual “in­de­pendensi” mimbar ilmiah­nya agar menjadi satker (satuan ker­ja) Depdiknas. Alih-alih mem­perbesar resources secara en­trepre­neurial, mereka justru ber­a­lih ke negara dan melobi pe­jabat dan parlemen untuk men­­dapatkan anggaran negara. Se­lebihnya, Anda tentu tahu sen­diri apa akibatnya.

Menjaga Amanah
 Orang parpol ada di mana saja, secara formal bercokol dari lurah/kepala desa sampai kepala negara. “Karena nila sebelanga, tak berdaya susu setitik” menjadi peribahasa baru untuk menggambarkan betapa budaya korupsi menjadi lagu wajib. Kalau tak kuat menjaga amanah, bisa terbawa arus, terlebih jika kita berada di birokrasi tikus [HaeN]/Wasathon.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar