Humaniora Dibaca :338 kali , 1 komentar
Budaya Rivalitas antar Parpol Islam
Ditulis : Herwin Nur, 07 Oktober 2012 | 21:53
Rakyat Sadar
Rakyat
menandai partai politik (parpol) Islam karena membaca ada label kata
“Islam”, atau melihat simbol khas Islam sebagai lambang parpol. Elite
dan kader parpol didominasi tokoh Islam yang sudah mereka kenal. Saat
aksi unjuk rasa dan unjuk raga di jalanan, penonton TV melihat para
pendemo memakai atribut dan busana Islam, seperti organisasi
kemasyarakatan yang melakukan penggerebegan warung remang-remang.
Persepsi
lain, acara sosial parpol berbasis agama Islam, menggunakan masjid.
Parpol melaksanakan perayaan keagamaan dengan pembicara tunggal ustadz
yang sedang naik daun, atau syiar Islam melalui pentas seni budaya.
Rakyat merasa dilibatkan secara aktif, walau hanya sekedar hadir sebagai
penggembira. Tanpa diminta rakyat akan hadir saat parpol bagi sembako
gratis bagi rakyat msikin atau menggelar bazar murah.
Dalam
skala harian sampai satu periode lima tahun, kemaslahatan apa saja yang
bisa dirasakan rakyat dengan adanya berbagai parpol Islam. Manfaat
langsung yang bisa dinikmati rakyat terkait pendidikan, kesehatan,
pangan, sandang, papan. Rakyat sadar, di panggung politik berlaku asas
ekonomi : modal minimal dengan keuntungan maksimal. Dogma, tidak ada
sekutu abadi, tidak ada seteru sampai mati. Antar parpol Islam dilarang
saling mendahului, tidak berlaku.
Hukum Politik
Umat
Islam terjun ke rimba politik, sadar nantinya akan mengikuti hukum dan
budaya setempat yang berlaku. Periode 1999-2004 parpol Islam gemilang
melakukan adaptasi tingkah laku dengan lingkungan politik. Dampak
pingitan, pasungan, belenggu, kebiri politik selama era Orde Baru
terlihat nyata. Parpol Islam sudah menampakkan jati dirinya yang
berorientasi pada kekuasaan. Antar parpol Islam dalam forum nampak
bersatu, karena menghadapi lawan yang bisa mendominasi keputusan
politik.
Di
era SBY, warna politik parpol Islam semakin nyata dan mudah ditebak
peruntungan mana yang akan dikejar. Koalisi parpol berdasarkan
kepentingan politik sesaat berlaku di atas kertas. Kalkulasi politik
untuk mengantisipasi 2014 menyebabkan parpol sudah meninggalkan hakekat
dan kaidah bernegara. Semua parpol mengincar jabatan presiden. Pilpres
2014 sebagai ajang pertarungan bebas, generasi tua akan terjun kangsung
ke palagan tanpa sungkan.
Menghadapi
musuh negara yaitu perilaku korupsi atau tindak pidana korupsi, parpol
Islam nampak setengah hati. Internal parpol Islam pun bisa terjadi
konflik atau friksi, bisa jadi bumerang atau bahkan bom waktu. Parpol di
parlemen terkotak-kotak dalam komisi, sehingga yang diikuti adalah
rukun komisi.
Kesempatan tampil di media massa, khususnya acara TVswasta, termasuk running text, rakyat maupun konstituen (pemilih) sudah bisa melihat kiprah dan kinerja parpol Islam.
Kandungan Parpol Islam
Albert
Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama
buta, agama tanpa ilmu lumpuh” Ada dua kandungan makna saling terkait,
pertama tentang pentingnya agama untuk melambari ilmu pengetahuan dan
yang kedua perlunya ilmu pengetahuan dalam mempraktekkan sekaligus
mengamalkan agama. Ilmu pengetahuan modern, atau yang belum ada pun, hakekatnya mengacu atau mensitir ayat-ayat Al Qur’an.
Sudah bukan jamannya lagi, terjadi
dikotomi Islam Modern dan Islam Tradisional, sebagai dasar pembentukan
parpol Islam. Parpol Islam jangan terjebak pada format politik nasional
yang bersifat fluktuatif serta rentan terhadap intervensi kepentingan
global.
Rivalitas
bukan sekedar menjadi sang juara, bukan mencari predikat politikus
jawara, bukan menuju kepala negara, sebagai semangat sinerji dalam
menegakkan eksistensi Islam dalam tatanan dan format bernegara.(Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar