Halaman

Selasa, 10 Desember 2013

Menemukenali Akhlak Diri

Menemukenali Akhlak Diri

Riwayat
Kita acap mendengar dan membaca siroh (perjalanan hidup) Rasulullah SAW bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Gelar “Al-Amin” dari penduduk Mekkah sebagai skenario Allah dalam menyiapkan Muhammad untuk menjadi rasul. Bekal dan modal nabi berupa sifat : shiddiq,  amanah, fathonah dan tabligh

Kita sering menemukan kajian dalam berbagai tema keagamaan, yaitu sabda abadi Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR Ahmad).

Kita jarang merasa tersengat atau terinspirasi dengan sabda Rasulullah SAW : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR At-Tirmidzi).

Rambu-Rambu
Kita akui, mayoritas dari kita sebagai pemeluk, penganut agama Islam karena faktor keturunan dan faktor geografis. Stigma Islam KTP akibat dari tidak totalnya kita dalam menjalankan perintah-Nya serta tidak frontalnya kita dalam menjauhi segala larangan-Nya.

Kita mudah terkecoh, jika melihat sosok, tingkah laku dan perbuatan islami yang justru dilakukan oleh bukan orang Islam. Produk negara maju dan pemikiran yang menguasai dunia datangnya dari otak non-muslim.

Kita rawan tertipu oleh tutur kata ramah dan wajah jujur seseorang dalam urusan dunia, baik dilakukan oleh umat Islam atau oleh umat lain. Mudahnya orang bersumpah atau berjanji, mudahnya pula orang mengabaikan sumpah dan melupakan janjinya.

Kita menghadapi berbagai dilema, karena hukum negara didominasi hukum barat, bukan mengadop dari hukum Islam.

Ada Islam keturunan, apakah ada akhlak keturunan? Apa metoda melacak bahkan mengukur kandungan akhlak diri sendiri. Bagaimana mengidentifikasi atau menemukenali akhlak diri.

Islam telah menyuratkan dan menyiratkan bahwa akhlak adalah karakter ciptaan (fabricated), bukan karakter bawaan (al-khiim). Pokok-pokok akhlak yang baik dicantumkan dalam Al-Qur’an surat An Nahl ayat 90 s.d ayat 100.

Berbagai keutamaan akhlak yang disebutkan dalam 11 ayat di surat An Nahl, tidak semuanya sunah, namun ada sebagian yang merupakan kewajiban. Begitu juga sebaliknya, yang  termasuk keburukan akhlak tidak semua makruh, namun ada juga yang haram dilakukan.

Timbal Balik
Dalam pengertian harfiah, sebagian para ahli berpendapat bahwa karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality). Akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, atau sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari orang lain.

Dari konteks inipun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu. (“MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA”, Universitas Negeri Jakarta, 2010).

Kita mengenal busana muslim, yang diterjemahkan dalam busana harian, busana kerja sampai busana ke masjid. Usai menunaikan ibadah haji, memakai atribut haji sebagai penanda atau jati diri dan berhak menyandang gelar haji.

Aktualisasi diri, mulai dari cara berfikir, bertutur, bertindak maupun berbusana bisa menunjukkan kadar keislaman, yang secara langsung merupakan gambaran nyata akhlak kita. Bahkan apa yang masuk ke perut kita, apa yang kita saksikan sebagai bukti kadar akhlak kita.

Akhlak batin maupun jasmani, walau sebesar zarrah, yang kita anggap bukan sebagai pemancing dosa, bisa berkembang bak bola salju. Ingat, sabda Rasulullah SAW  “Akhlak yang buruk merusak amal kebaikan, seperti cuka merusak madu atau seperti api yang melahap kayu bakar.” (HR Ibn Majah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar