Halaman

Senin, 02 Desember 2013

Keutamaan Dekat Dengan Allah

Humaniora     Dibaca :72 kali , 0 komentar

Keutamaan Dekat Dengan Allah

Ditulis : Herwin Nur, 13 November 2013 | 21:32
Jalan Pintas
Siapa yang dekat poros kekuasaan, masuk lingkar satu istana, punya akses ke penguasa, maka seolah segala urusan akan lancar dan mudah. Di kutub lain,  investor, pengusaha, pemodal, kontraktor, pelaku ekonomi untuk memperlancar dan mempermudah segala urusannya, tanpa ragu membuang dan menabur umpan Rp.

Memanfaatkan jasa ‘orang pintar’ bukan hal tabu dan aib di negeri ini, bahkan menjadi syarat tak tertulis. Pengorbanan atau biaya sesuai dengan paket tarif yang tersedia. Syarat ritual mistis dilakukan dengan senang hati dan lapang dada, demi meraih cita-cita. Jelang pemilu dan pilpres 2014, banyak yang panen rejeki. Tukang kaos, spanduk, baliho, ‘orang pintar’ sampai rumah sakit jiwa ketiban order.

Dalam kondisi nomal, syarat formal ijazah, bukan menjadi jaminan seseorang akan sukses. Pintar dalam ukuran IQ bak kutu buku, jika tidak pintar bergaul, pintar membawa diri, pintar berinteraksi sosial, akan mati kutu. Untuk sukses, orang harus pintar-pintar.

Budaya instan menjadikan orang tak tahan berpangku tangan, tak sabar menunggu nasib, tak betah banting tulang peras keringat, di antrian yang tak berujung pangkal. Dalam urusan dunia, tak berlaku semboyan “sesama pesaing dilarang saling menyalib”. Orang lebih mengandalkan semboyan “siapa cepat, dapat” dan mengutamakan semboyan “siapa dekat, cepat dapat”.

Jungkir Balik Logika
Umat Islam, sebagai individu maupun kelompok, dalam urusan dunia tentu akan menghadapai dan memasuki pilihan yang dilematis, bak mendapat buah simalakama. Tidak ikut arus, tidak mengikuti selera pimpinan/atasan, tidak ikut aturan main tak tertulis, nasibnya hanya sebagai penggembira, penonton dan siap terpinggirkan atau duduk manis tunggu waktu pensiun.
Padahal, mengacu sebagian riwayat Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab r.a , “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah,”.  Sebagai hal yang sulit dipraktekkan, karena dalam menjemput rezeki dari-Nya, manusia akan saling berinteraksi.

Atribut dan bungkus duniawi menyebabkan umat Islam terpaksa mengikuti pepatah “di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum”. Dengan dalih tuntutan pekerjaan, umat Islam tidak bebas bergerak untuk menegakkan syariat Islam. Ada yang bersikap moderat, dengan memakai asas “mengikuti arus, asal jangan terbawa arus”.

Ironisnya, tak kurang orang yang berangkat kerja, terpaksa meninggalkan “iman”-nya di rumah. Begitu kaki melangkah keluar rumah, menjadi manusia bebas, yang berlaku hukum buatan manusia. Isteri melepas suami berangkat kerja, kalau di rumah menjadi suaminya, kalau di luar bisa menjadi “milik orang lain”.

Allah peduli pada sikap kita, firman-Nya dalam [QS Ali 'Imran (3) : 139] : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”.

Pintar-Pintar
Pukul rata, memang kita merasa seolah tak dekat dengan Allah, atau Allah tak mengenal dan tak sayang pada kita. Padahal, setiap umat Islam berhak kontak dan komunikasi langsung dengan Allah, liwat jalur 5 waktu sehari, atau dengan bersyukur dan berdzikir.

Kita fahami  bahwa jika kita mengingat Allah swt maka Allah swt juga akan mengingat kita. Juga, jika kita berdzikir kepada-Nya, maka Allah swt akan selalu dekat dengannya. Dzikir sebagai anak tangga yang mendekatkan kita kepada-Nya.

Jadi, kita harus pandai-pandai mengelola diri saat terlibat dengan urusan manusia sekaligus bersamaan waktu terkait dengan urusan Allah. (Herwin Nur/wasathon.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar