Memantapkan Identitas Dan Jati Diri Jakarta Sebagai Kota Religi
Berbasis Multikultur Dan Multietnis
oleh : H e r w i n N u r
Kampung Besar
Mimpi
ke Jakarta yang bergulir dari satu
generasi ke generasi berikutnya, sangat variatif dan dinamis. Dalih untuk
mencari pekerjaan, untuk menyambung hidup, untuk mengadu dan merubah nasib,
untuk menadah Rp (rupiah), untuk mengkais rezeki, untuk mempraktekkan ilmu
bangku kuliah. Tidak hanya rakyat papan bawah yang berjibaku di Jakarta agar
eksis, masyarakat klas menengah harus mempertahankan status dan gengsinya
jangan sampai melorot serta masyarakat papan atas merasa berhak seumur hidup
mengantongi statusnya dan berupaya keras jangan sampai tergusur oleh pesaing
baru.
Pembangunan
Jakarta semakin dilematis, di satu sisi syarat sebagai ibukota negara harus
dipenuhi, di sisi lain akan menambah daya tarik, daya rangsang, atau malah akan
memperkokoh posisi sebagai Kampung Besar. Daya tampung dan daya dukung lingkungan
untuk menampung penduduk malam hari sudah kewalahan, apalagi penduduk siang
hari.
Kota BMKG
Media
massa lebih gemar dan getol mengomentari kinerja pasangan gubernur dan wakil
gubernur Jakarta, minimal mengatakan bahwa pasangan hanya mampu membuat bentuk
baru dari kebijakan lama. Memang sejak 22 Juni 1527, Jakarta membawa “dosa
bawaan” akibat dampak dari posisi geografisnya yang strategis.
Tidak
ada resep manjur, obat mujarab atau terapi ampuh untuk mengatasi atau minimal meminimalisir
dampak penyakit rutin BMKG (Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur) maupun mencegah
tangkal penyakit kambuhan (misal, hubungan legislatif dengan eksekutif, tidak
masuk tataran mitra kerja).
Manusia
Jakarta bisa mewakili suku bangsa yang ada di Indonesia, ada yang bisa lebur
menjadi satu, bersinerji, tak kurang yang masih mempertahankan peradabannya,
membawa adat istiadatnya. Walhasil, penduduk asli Jakarta menjadi minoritas,
terpinggirkan, kurang bisa mengikuti arus dan hanya jadi penonton di rumah
sendiri. Asal jangan nasibnya mirip maskot Jakarta : elang Bondol dan salak
Condet yang (nyaris) punah.
Praktek 24 Jam
Jakarta
kota 24 jam, gubernur hanya praktek pagi sampai sore hari, malam hari muncul
raja-raja kecil. Jakarta harus dikelola dalam 24 jam. Penyebab BMKG adalah
faktor manusia. Akibat kebodohan sampai keserakahan manusia. Penyakit rutin BMKG
harus ditangani secara sinergis antar pelaku pembangunan atau pemangku
kepentingan (pemerintah, swasta dan masyarakat). Keberanian, atau bahkan tangan
besi yang dibutuhkan adalah :
Pertama,
rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun, khususnya yang berbasis dan fokus
pada
BMKG, harus
ditangani per periode gubernur lima tahun. Ada estafet dan kesinambungan
pembangunan lima tahunan. Produk hukum terkait pembangunan harus ditegakkan
tanpa tebang pilih, misal Rencana Tata Ruang Provinsi Jakarta.
Kedua,
optimalisasi sumber dana dan sumber daya pembangunan. Pemanfaatan hutang maupun
hibah dari luar negeri sesuai dengan kemampuan nyata pemprov dan warga Jakarta.
Investor mancanegara, termasuk lokal, diikat dalam kerja sama yang saling
menguntungkan.
Ketiga,
intervensi secara politis harus berani diatasi secara total. Kalau perlu ada
syarat khusus untuk jadi anggota DPRD DKI Jakarta, misal didukung oleh masyarakat.
Fungsi RT, RW dioptimalkan secara nyata, untuk menampung aspirasi mastarakat.
Jakarta
menjadi tujuan dan masa depan anak bangsa. Kemajemukan Jakarta membawa beban
sekaligus berkah, baik bagi penyelenggara daerah (yang terikat kontrak lima
tahunan), dan khususnya bagi penduduknya.
Jakarta
sebagai kota serba ada. Tempat perwakilan negara sahabat sampai kantor
perwakilan provinsi NKRI. Ada gula bertebaran di mana saja sampai gang-gang
kecil, bantaran sungai, rel k.a, kolong jembatan layang, trotoar, tanah
terlantar - memancing berbagai klas masyarakat untuk adu nasib, adu akal, adu
otak, adu nyali, adu otot. Mereka datang sekedar jual jasa, jual barang, jual
harga diri atau jual badan. Rupiah bisa dikais bak ayam, bisa ditadah dalam
hitungan menit, bisa dikutip di jalanan, bisa dikeruk sambil melipat kaki
(tipikor dengan tsk oknum wakil rakyat).
Sejarah Makan
Sejarah
Tantangan nyata Jakarta, bisa datang dari mana saja,
kapan saja, di mana saja. Tantangan dominan akibat adanya kehidupan malam hari.
Moammar Emka, dalam bukunya “Sex n' the City Jakarta Undercover”,
17 Oktober 2002, mentuturkan : Kehidupan metropolis Jakarta bisa diibaratkan
sebagai sebuah medan magnet yang setiap saat bisa menggaet 'siapapun' masuk ke
dalamnya bahkan menjerumuskan dalam satu kehidupan semu dan samar. Aneka warna
kesenangan hidup bisa ditemukan di mana-mana, seperti di sejumlah tempat
hiburan plus yang tersebar hampir di tiap sudut kota, dari yang bertarget
market untuk kalangan bawah, menengah sampai jet set. Kalau tidak
begitu, banyak orang yang pada dasarnya memang punya kebiasaan dan dengan
sengaja menciptakan kesenangan untuk memuaskan diri sendiri seperti menggelar
sejumlah private party yang ujung-ujungnya memang tidak jauh dari
sesuatu yang bernama seks!
Bayangkan, buku tersebut disusun 11 (sebelas) tahun
yang lalu, kalau dibaca sekarang, isinya mungkin bisa ketinggalan zaman.
Kehidupan religius mendapat tantangan di depan mata. Ali Sadikin saat jadi gubernur
Jakarta, 1966-1977, salah satu kebijakannya yang kontroversial adalah
mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan
diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut pajaknya untuk
pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi
pelacuran. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang dan
None Jakarta.
Monumen Nasional (monas) sebagai lambang Jakarta,
masalah waktu nanti akan menjadi tempat melaksanakan
hukuman gantung bagi koruptor, berinisial AU. Jakarta dimarakkan dan disemarakkan
bangunan religi, yang bisa menjadi tetenger atau tanda khusus. Wisata religi
masjid bisa diadakan di Jakarta, misal ke masjid Istiqlal. Al-Azhar, dll.
Potensi ZIS
Untuk menghindari pembangunan
Jakarta, yang bak dua sisi mata uang, dalam arti harus ada kesimbangan antara
menambah saldo amal sekaligus menambah argo dosa. Tempat ibadah sesuai dengan
ratio jumlah penduduk berdasarkan agama, tak ayal lokasi untuk maksiat dapat
ditemui semudah menemukan toko swalayan.
Zakat Infaq Shadaqah (ZIS) Jakarta,
2012, sebesar Rp 81.453.310.876,97 mengalami kenaikan bila dibanding dengan
hasil pengumpulan Tahun 2011 yang perolehannya Rp 64.780.812.886,49 Penyaluran
ZIS untuk pendidikan, kesehatan, masjid/ibadah, dan bencana (sumber : http://bazisdki.go.id/pengumpulan/hasil-zis9).
Kontribusi umat Islam dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota religi patut
diperhitungkan. Kapan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar