Halaman

Sabtu, 07 Desember 2013

Memantapkan Identitas Dan Jati Diri Jakarta Sebagai Kota Religi Berbasis Multikultur Dan Multietnis

Memantapkan Identitas Dan Jati Diri Jakarta Sebagai Kota Religi Berbasis Multikultur Dan Multietnis

oleh : H e r w i n   N u r

Kampung Besar
Mimpi ke Jakarta yang bergulir  dari satu generasi ke generasi berikutnya, sangat variatif dan dinamis. Dalih untuk mencari pekerjaan, untuk menyambung hidup, untuk mengadu dan merubah nasib, untuk menadah Rp (rupiah), untuk mengkais rezeki, untuk mempraktekkan ilmu bangku kuliah. Tidak hanya rakyat papan bawah yang berjibaku di Jakarta agar eksis, masyarakat klas menengah harus mempertahankan status dan gengsinya jangan sampai melorot serta masyarakat papan atas merasa berhak seumur hidup mengantongi statusnya dan berupaya keras jangan sampai tergusur oleh pesaing baru.

Pembangunan Jakarta semakin dilematis, di satu sisi syarat sebagai ibukota negara harus dipenuhi, di sisi lain akan menambah daya tarik, daya rangsang, atau malah akan memperkokoh posisi sebagai Kampung Besar. Daya tampung dan daya dukung lingkungan untuk menampung penduduk malam hari sudah kewalahan, apalagi penduduk siang hari.

Kota BMKG
Media massa lebih gemar dan getol mengomentari kinerja pasangan gubernur dan wakil gubernur Jakarta, minimal mengatakan bahwa pasangan hanya mampu membuat bentuk baru dari kebijakan lama. Memang sejak 22 Juni 1527, Jakarta membawa “dosa bawaan” akibat dampak dari posisi geografisnya yang strategis.

Tidak ada resep manjur, obat mujarab atau terapi ampuh untuk mengatasi atau minimal meminimalisir dampak penyakit rutin BMKG (Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur) maupun mencegah tangkal penyakit kambuhan (misal, hubungan legislatif dengan eksekutif, tidak masuk tataran mitra kerja).

Manusia Jakarta bisa mewakili suku bangsa yang ada di Indonesia, ada yang bisa lebur menjadi satu, bersinerji, tak kurang yang masih mempertahankan peradabannya, membawa adat istiadatnya. Walhasil, penduduk asli Jakarta menjadi minoritas, terpinggirkan, kurang bisa mengikuti arus dan hanya jadi penonton di rumah sendiri. Asal jangan nasibnya mirip maskot Jakarta : elang Bondol dan salak Condet yang (nyaris) punah.

Praktek 24 Jam
Jakarta kota 24 jam, gubernur hanya praktek pagi sampai sore hari, malam hari muncul raja-raja kecil. Jakarta harus dikelola dalam 24 jam. Penyebab BMKG adalah faktor manusia. Akibat kebodohan sampai keserakahan manusia. Penyakit rutin BMKG harus ditangani secara sinergis antar pelaku pembangunan atau pemangku kepentingan (pemerintah, swasta dan masyarakat). Keberanian, atau bahkan tangan besi yang dibutuhkan adalah :

Pertama, rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun, khususnya yang berbasis dan fokus pada
BMKG, harus ditangani per periode gubernur lima tahun. Ada estafet dan kesinambungan pembangunan lima tahunan. Produk hukum terkait pembangunan harus ditegakkan tanpa tebang pilih, misal Rencana Tata Ruang Provinsi Jakarta.

Kedua, optimalisasi sumber dana dan sumber daya pembangunan. Pemanfaatan hutang maupun hibah dari luar negeri sesuai dengan kemampuan nyata pemprov dan warga Jakarta. Investor mancanegara, termasuk lokal, diikat dalam kerja sama yang saling menguntungkan.

Ketiga, intervensi secara politis harus berani diatasi secara total. Kalau perlu ada syarat khusus untuk jadi anggota DPRD DKI Jakarta, misal didukung oleh masyarakat. Fungsi RT, RW dioptimalkan secara nyata, untuk menampung aspirasi mastarakat.

Jakarta menjadi tujuan dan masa depan anak bangsa. Kemajemukan Jakarta membawa beban sekaligus berkah, baik bagi penyelenggara daerah (yang terikat kontrak lima tahunan), dan khususnya bagi penduduknya.

Jakarta sebagai kota serba ada. Tempat perwakilan negara sahabat sampai kantor perwakilan provinsi NKRI. Ada gula bertebaran di mana saja sampai gang-gang kecil, bantaran sungai, rel k.a, kolong jembatan layang, trotoar, tanah terlantar - memancing berbagai klas masyarakat untuk adu nasib, adu akal, adu otak, adu nyali, adu otot. Mereka datang sekedar jual jasa, jual barang, jual harga diri atau jual badan. Rupiah bisa dikais bak ayam, bisa ditadah dalam hitungan menit, bisa dikutip di jalanan, bisa dikeruk sambil melipat kaki (tipikor dengan tsk oknum wakil rakyat).

Sejarah Makan Sejarah
Tantangan nyata Jakarta, bisa datang dari mana saja, kapan saja, di mana saja. Tantangan dominan akibat adanya kehidupan malam hari. Moammar Emka, dalam bukunya “Sex n' the City Jakarta Undercover”, 17 Oktober 2002, mentuturkan : Kehidupan metropolis Jakarta bisa diibaratkan sebagai sebuah medan magnet yang setiap saat bisa menggaet 'siapapun' masuk ke dalamnya bahkan menjerumuskan dalam satu kehidupan semu dan samar. Aneka warna kesenangan hidup bisa ditemukan di mana-mana, seperti di sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di tiap sudut kota, dari yang bertarget market untuk kalangan bawah, menengah sampai jet set. Kalau tidak begitu, banyak orang yang pada dasarnya memang punya kebiasaan dan dengan sengaja menciptakan kesenangan untuk memuaskan diri sendiri seperti menggelar sejumlah private party yang ujung-ujungnya memang tidak jauh dari sesuatu yang bernama seks!

Bayangkan, buku tersebut disusun 11 (sebelas) tahun yang lalu, kalau dibaca sekarang, isinya mungkin bisa ketinggalan zaman. Kehidupan religius mendapat tantangan di depan mata. Ali Sadikin saat jadi gubernur Jakarta, 1966-1977, salah satu kebijakannya yang kontroversial adalah mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi pelacuran. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang dan None Jakarta.

Monumen Nasional (monas) sebagai lambang Jakarta, masalah waktu nanti akan menjadi tempat melaksanakan hukuman gantung bagi koruptor, berinisial AU. Jakarta dimarakkan dan disemarakkan bangunan religi, yang bisa menjadi tetenger atau tanda khusus. Wisata religi masjid bisa diadakan di Jakarta, misal ke masjid Istiqlal. Al-Azhar, dll.

Potensi ZIS
Untuk menghindari pembangunan Jakarta, yang bak dua sisi mata uang, dalam arti harus ada kesimbangan antara menambah saldo amal sekaligus menambah argo dosa. Tempat ibadah sesuai dengan ratio jumlah penduduk berdasarkan agama, tak ayal lokasi untuk maksiat dapat ditemui semudah menemukan toko swalayan.

Zakat Infaq Shadaqah (ZIS) Jakarta, 2012, sebesar Rp 81.453.310.876,97 mengalami kenaikan bila dibanding dengan hasil pengumpulan Tahun 2011 yang perolehannya Rp 64.780.812.886,49 Penyaluran ZIS untuk pendidikan, kesehatan, masjid/ibadah, dan bencana (sumber : http://bazisdki.go.id/pengumpulan/hasil-zis9). Kontribusi umat Islam dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota religi patut diperhitungkan. Kapan lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar