IslamView Dibaca :340 kali , 0 komentar
Ketika Kaum Hawa Terjebak Belantara Korupsi
Ditulis : Herwin Nur, 15 Oktober 2012 | 00:01
Kesetaraan Gender
Keberadaan
kaum hawa di legislatif, kendati belum memenuhi kuota, namun
gebrakkannya tak kalah dengan kaum adam. Keterwakilan dan partisipasi
perempuan di DPR RI 2009-2014 hanya mampu mencapai 17,49% atau 101
anggota, belum bisa memenuhi kuota 30% dari 560 anggota,
Rakyat
melalui layar kaca disuguhi berbagai acara dan atraksi kaum hawa
berurusan dengan hamba hukum, sebagai saksi sampai terdakwa kasus
korupsi. Ironisnya, tampilan kaum hawa sebagai pesakitan mendadak alim,
agamis, dengan busana muslimah. Mendadak pandai akting sebagai pihak
yang terzalimi. Mendadak terjangkit penyakit lupa. Atau pandai
menghilangkan diri sampai manca negara. Tidak hanya kaum hawa dari wakil
rakyat yang berpredikat koruptor, mereka datang dari berbagai kalangan
profesi.
Korupsi
merupakan prestasi duniawi, karena pelakunya tidak masuk kategori warga
negara bodoh, miskin, buta hukum dan terbelakang mental. Niat korupsi
hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan formal,
baik di tatanan politik maupun di tataran bisnis. Dari sisi internal
kaum hawa, hawa nafsu korupsi dipacu dan dipicu oleh gaya hidup
sosialita, gaul kalangan papan atas dan gengsi tidak mau tersaingi.
Modus Operandi
Mata
rantai korupsi, khususnya yang dibingkai dan dijalin secara politis
sebagai perilaku yang memabukkan dan merendahkan harkat kemanusiaannya
sendiri. Fenomena kaum hawa yang terlibat dalam berbagai skandal
korupsi, atau mengambil uang yang bukan haknya, bukan sekedar masuk
ranah gender, apalagi emansispasi.
Koruptor
belajar dari pendahulunya, tak akan mengulang kesalahan yang sama.
Modus operandinya lebih canggih, sudah memperhitungkan dan mempersiapkan
Rencana B, atau kemungkinan terburuk lainnya. Tidak mau jadi pelaku
tunggal, bahkan tidak mau dikorbankan, dijadikan kambing hitam, koruptor
akan “menyanyi”.
Model
korupsi di NKRI sangat dinamis. Mulai skala lokal, skala regional
sampai skala nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang
jeruji besi. Perlakuan hukum atas koruptor, manipulator klas paus yang
masuk kategori terpidana dikatakan malah memuliakannya. Beda dengan
tindak kriminal lainnya yang karena setoran utawa upetinya tidak layak,
tidak sesuai dengan standar jual beli perkara, tidak ada lampirannya
langsung diproses, tidak perlu penyelidikan dan penyidikan yang
bertele-tele.
Koruptor
dipersidangan nampak tenang, tanpa merasa dosa, pasal hukum bisa
diatur. Dampak korupsi bisa dirasakan oleh keluarga, terlebih jika
pelakunya kaum hawa. Tidak hanya dampak yuridis. Dampak relijius, dampak
moral, dampak sosial akan menghantui. Masa depan keluarga
dipertaruhkan. Lingkungan mungkin tak ambil peduli.
Hukuman
yang dirasakan justru dari perikehidupan keluarga. Reaksi anak sebagai
bentuk hukuman tersendiri. Sisi peka terakhir adalah status sebagai ibu.
Mengkonsumsi sajian dan hidangan yang tak bawa berkah. Membelanjakan
uang yang bukan haknya. Gaya hidup yang jauh dari kesederhanaan. Tinggal
di rumah mewah dari uang menjarah. Finansial dan ekonomi terlihat
terjamin, ketenangan hati bergejolak tanpa henti.
Mata
hati tak bisa tertipu, ketika menyaksikan anak jalanan, gelandangan dan
pengemis, pemulung berjuang di jalanan. Di relung hati terdalam,
terlebih melihat contoh sesama koruptor (walau tak dimiskinkan oleh
pengadilan) menyesali diri tujuh turunan, akan terketuk. (Herwin
Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar