Halaman

Senin, 23 Desember 2013

Ketika Kaum Hawa Terjebak Belantara Korupsi

IslamView     Dibaca :340 kali , 0 komentar

Ketika Kaum Hawa Terjebak Belantara Korupsi

Ditulis : Herwin Nur, 15 Oktober 2012 | 00:01
Kesetaraan Gender
Keberadaan kaum hawa di legislatif, kendati belum memenuhi kuota, namun gebrakkannya tak kalah dengan kaum adam. Keterwakilan dan partisipasi perempuan di DPR RI 2009-2014 hanya mampu mencapai 17,49% atau 101 anggota, belum bisa memenuhi kuota 30% dari 560 anggota,

Rakyat melalui layar kaca disuguhi berbagai acara dan atraksi kaum hawa berurusan dengan hamba hukum, sebagai saksi sampai terdakwa kasus korupsi. Ironisnya, tampilan kaum hawa sebagai pesakitan mendadak alim, agamis, dengan busana muslimah. Mendadak pandai akting sebagai pihak yang terzalimi. Mendadak terjangkit penyakit lupa. Atau pandai menghilangkan diri sampai manca negara. Tidak hanya kaum hawa dari wakil rakyat yang berpredikat koruptor, mereka datang dari berbagai kalangan profesi.

Korupsi merupakan prestasi duniawi, karena pelakunya tidak masuk kategori warga negara bodoh, miskin, buta hukum dan terbelakang mental. Niat korupsi hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan formal, baik di tatanan politik maupun di tataran bisnis. Dari sisi internal kaum hawa, hawa nafsu korupsi dipacu dan dipicu oleh gaya hidup sosialita, gaul kalangan papan atas dan gengsi tidak mau tersaingi.

Modus Operandi
Mata rantai korupsi, khususnya yang dibingkai dan dijalin secara politis sebagai perilaku yang memabukkan dan merendahkan harkat kemanusiaannya sendiri. Fenomena kaum hawa yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi, atau mengambil uang yang bukan haknya,  bukan sekedar masuk ranah gender, apalagi emansispasi.

Koruptor belajar dari pendahulunya, tak akan mengulang kesalahan yang sama. Modus operandinya lebih canggih, sudah memperhitungkan dan mempersiapkan Rencana B, atau kemungkinan terburuk lainnya. Tidak mau jadi pelaku tunggal, bahkan tidak mau dikorbankan, dijadikan kambing hitam, koruptor akan “menyanyi”.

Model korupsi di NKRI sangat dinamis. Mulai skala lokal, skala regional sampai skala nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang jeruji besi. Perlakuan hukum atas koruptor, manipulator klas paus yang masuk kategori terpidana dikatakan malah memuliakannya. Beda dengan tindak kriminal lainnya yang karena setoran utawa upetinya tidak layak, tidak sesuai dengan standar jual beli perkara, tidak ada lampirannya langsung diproses, tidak perlu penyelidikan dan penyidikan yang bertele-tele.

Dampak Korupsi
Koruptor dipersidangan nampak tenang, tanpa merasa dosa, pasal hukum bisa diatur. Dampak korupsi bisa dirasakan oleh keluarga, terlebih jika pelakunya kaum hawa. Tidak hanya dampak yuridis. Dampak relijius, dampak moral, dampak sosial akan menghantui. Masa depan keluarga dipertaruhkan. Lingkungan mungkin tak ambil peduli.

Hukuman yang dirasakan justru dari perikehidupan keluarga. Reaksi anak sebagai bentuk hukuman tersendiri. Sisi peka terakhir adalah status sebagai ibu. Mengkonsumsi sajian dan hidangan yang tak bawa berkah. Membelanjakan uang yang bukan haknya. Gaya hidup yang jauh dari kesederhanaan. Tinggal di rumah mewah dari uang menjarah. Finansial dan ekonomi terlihat terjamin, ketenangan hati bergejolak tanpa henti.

Mata hati tak bisa tertipu, ketika menyaksikan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, pemulung berjuang di jalanan. Di relung hati terdalam, terlebih melihat contoh sesama koruptor (walau tak dimiskinkan oleh pengadilan) menyesali diri tujuh turunan, akan terketuk. (Herwin Nur/Wasathon.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar