Humaniora Dibaca :576 kali , 0 komentar
Rumah Tangga Ladang Amal Menuju Syurga
Ditulis : Herwin Nur, 07 September 2012 | 11:40
Pemahaman Tentang Rumah Tangga
Rumah
tangga dalam Islam dimaksudkan sebagai wadah untuk tempat berteduh dan
bernaung keluarga. Berfungsi sebagai tempat ibadah, sebagai tempat
terwujudnya keluarga dalam suasana sakinah (tenteram) yang disempurnakan dalam mawaddah (cinta) dan warahmah (kasih-sayang). Sebagaimana yang disabdakan Rasululah saw : `baitii jannatii', rumahku adalah surgaku.
Syarat
ber–rumah tangga, bisa diartikan pasangan suami-isteri (pasutri)
sebelum melakukan proses pernikahan, sebelum melakukan Ijab Kabul atau
akad nikah, telah memiliki rumah. Tangga sebagai tahapan dan babakan kehidupan yang akan dijalani keluarga.
“Barang
siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya
lagi”. [HR al-Hakim].
Rumah
ibarat surga, yang dikelilingi kasih dan sayang, disemarakkan oleh
pasutri dan anak keturunan yang sholeh dan sholehah. Hiasan rumah yang
utama adalah isteri yang sholehah. Luasan hati seorang isteri akan
memudahkan pasutri dan keluarga untuk memelihara surga yang separuhnya
lagi. Untuk itu dituntut rumah tidak sekedar sebagai tempat berbagai
kegiatan keluarga, tetapi sebagai pusat kegiatan keluarga yang
berdampak.
Pada umumnya manusia melakukan kehidupan dan kesibukan duniawi dimulai dari bangun
pagi sebelum fajar berkibar, beraktifitas sehari semalam, sampai fajar
berikutnya. Dalam skala 24 jam melakukan dan mengulang kegiatan yang
nyaris rutin, standar, tipikal, otomatis. Akankah kita juga akan
melakukan dan mengulang kesalahan yang sama? Tepatnya, akankah kita
secara tak sengaja menciptakan neraka di rumah?
Suasana
rumahku surgaku ditunjang dengan fungsi, materi dan bentuk rumah
tinggal yang sesuai dengan berbagai persyaratan, khususnya pada
pemanfaatan tanah atau lahan yang ada/tersisa.
Pencitraan Rumah
Rumah
secara formal yuridis (UU 1/2011 tentang “PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN”) dan fisik dimaksudkan sebagai bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan
keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi
pemiliknya.
“Rumah yang layak huni” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.
Rumah
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya memang harus
dimiliki oleh setiap keluarga, sekaligus sebagai sarana pembinaan
keluarga. Hak Asasi Manusia (HAM) menyuratkan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
HAM juga menyuratkan bahwa setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap
orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pemanfaatan Lahan Terbuka
Mengacu
UU 26/2007 tentang “PENATAAN RUANG”, yang termasuk ruang terbuka hijau
privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Model
maupun modul, bahkan pedoman pemanfaatan kebun atau halaman rumah,
untuk ditanami tumbuhan, tinggal pilih. Apa arti sebuah nama berlaku
bagi kebun atau halaman rumah. Ada perbedaan mendasar antara rumah
tinggal di kota dengan di desa, mempengaruhi pemanfaatan kebun atau
halamannya.
Rumah Sebagai Ladang Amal
Bukan
alasan kalau kita memiliki rumah dengan luas lahan minimal, terutama di
daerah perkotaan, untuk tidak menyediakan ruang khusus sholat, terutama
untuk sholat berjamaah. Keterbatasan lahan, bisa disiasati dengan
membangun secara vertikal atau tingkat.
Mewujudkan
rumahku surgaku, idealnya merupakan hasil perpaduan suasana islami
dalam keluarga dengan pemanfaatan rumah berikut kebun atau halamannnya
untuk tujuan kemaslahatan bersama.
Rumah
sebagai pusat kegiatan keluarga yang berdampak internal terhadap
pelaksanaan pembinaan keluarga dan berdampak eksternal bagi lingkungan
tempat tinggal. Rumah sebagai ladang amal dengan mempertimbangkan faktor
lingkungan dan pranata sosial, kerukunan dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, serta kepedulian antar umat.
Saran dan Tindak Lanjut
Pemanfaatan
kebun atau halaman rumah sejauh ini diintervensi oleh berbagai
kepentingan. Berarti untuk membuat ruang terbuka hijau privat ada
beberapa faktor yuridis formal yang harus dipertimbangkan, yaitu :
Ketentuan
sebagai bangunan gedung, dengan memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan
atau KDB, Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Hijau (KDH),
dalam arti tidak semua tanah/lahan habis untuk rumah. Ruang terbuka
diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan.
Tanah
yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam
pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah; rencana rinci tata
ruang; serta rencana tata bangunan dan lingkungan.
Pemanfaatan
lahan pekarangan untuk tanaman produktif, tanaman hias, tanaman
pelindung; tempat pembuangan dan pengolahan sampah pekarangan dan rumah
tangga; tampungan dan resapan air hujan, air limbah keluarga ke dalam
tanah; melindungi tanah dari kerusakan erosi.
Membatasi
luas lahan yang terbangun atau tertutup perkerasan sebagai upaya
melestarikan ekosistem, sehingga lingkungan yang bersangkutan masih
memiliki sisa tanah sebanyak-banyaknya, yang diperuntukkan bagi
penghijauan atau ruang terbuka, dan dapat menyerap/mengalirkan air hujan
ke dalam tanah.
Jadi,
untuk memasuki ranah reliji, kita juga harus melaksanakan hukum
positif serta memperhatikan kearifan lokal.(Herwin Nur/wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar