Halaman

Selasa, 03 Desember 2013

3 Cara Ukhuwah Dan Tawadhu Dalam Hidup Bermasyarakat

Humaniora     Dibaca :114 kali , 0 komentar

3 Cara Ukhuwah Dan Tawadhu Dalam Hidup Bermasyarakat

Ditulis : Herwin Nur, 03 November 2013 | 10:46
 Masyarat Demokratis
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, selain bermakna bahwa Indonesia merupakan bangsa yang serba multi, majemuk, dan heterogen, sekaligus merupakan proklamasi bahwa Indonesia adalah suatu tanah air, bangsa dan bahasa. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pernyataan atas nama rakyat bahwa Indonesia adalah negara.

Perjalan hidup berbangsa dan bernegara, di era Reformasi, dipandang perlu menambah pasal dalam UUD 1945 melalui Perubahan Kedua berupa :
Pasal 28J
(1)     Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)     Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Secara sadar diakui bahwa tertib kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dan porsi khusus, terutama dalam suatu masyarakat demokratis.

Di era Reformasi, umat Islam jangan terjebak makna masyarakat demokratis.
Pertama, masyarakat demokratis bukan berarti suara mayoritas, pengguna paling banyak dianggap yang paling berhak, paling benar dan paling baik. Atau sebaliknya, walau dalam takaran dan tataran minoritas, namun karena mempunyai kekayaan, kekuasaan, kekuatan menjadi faktor pengaruh/penentu, mempunyai hak veto.
Kedua, masyarakat demokratis adalah hak masyarakat untuk memperoleh informasi maupun menyamopaikan informasi. Berlaku fenomena “siapa menguasai informasi akan menguasai dunia”, tepatnya siapa raja media massa akan mengendalikan penyebaran informasi yang menguntungkan pelakunya.

Langkah Antisipatif
Ikhtiar mempraktekkan ukhuwah dan tawadhu, diawali dengan semangat, ilmu dan infrastruktur. Menjaga semangat dengan ilmu, akan lebih menggigit jika dilengkapi dengan prasarana dan sarana.

Ukhuwah, tidak sebatas pada internal umat Islam, juga interaksi antar umat manusia. Keterkaitan dengan masyarakat demokratis adalah :

Pertama, umat Islam jangan menunggu sampai jumlahnya banyak, sudah kaya dan bermodal, mengantongi ilmu dan keahlian, baru mengambil sikap nyata menghadapi tantangan bermasyarakat. 

Kedua, umat Islam bisa menerapkan semboyan Ki Hajar Dewantara, yaitu : ing ngarsa sung tulada (di depan, umat Islam harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara masyarakat, umat Islam harus menciptakan prakarsa dan ide), dan tut wuri handayani (dari belakang umat Islam harus bisa memberikan dorongan dan arahan).

Ketiga, umat Islam jangan hanya jadi penonton, penggembira, atau bahkan baru bereaksi, bertindak nyata setelah terjadi bencana.

Tawadhu, tidak sekedar rendah diri, lebih ke arah menggunakan ilmu padi, selayaknya tidak bersifat pasif, pasrah, menerima apa adanya. Keterkaitan dengan masyarakat demokratis adalah :

Pertama, umat Islam menyegerakan diri, menjadi yang pertama dalam kebajikan sebelum disibukkan dengan banyak urusan, terutama urusan dunia. Memanfaatkan masa singgah di dunia, mengoptimalkan waktu luang dan  saat umur/usia muda, mendayagunakan nilai sehat dan kecukupan harta

Kedua, umat Islam secara total melaksanakan “fastabiqul khoirot” yaitu berlomba dalam kebaikan dengan senantiasa memperhatikan tata krama, adat setempat, serta tidak menggurui.

Ketiga, umat Islam dalam urusan mencari kemuliaan seseorang harus berlomba dan merasa kalau dirinya adalah yang paling butuh kepada kebaikan tersebut. Mengacu pada “al iitsaru fittaqorrubi makruhun“ yaitu mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh.  (Herwin Nur/wasathon)


Berita Humaniora Lainya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar