Humaniora Dibaca :164 kali , 0 komentar
Anggota Keluarga Tidak Sholat, Berdukakah Kita?
Ditulis : Herwin Nur, 23 Agustus 2013 | 17:43
Kejutan
Saat
sholat tahiyatul masjid di masjid dusun Singosutan, kabupaten Sleman,
Yogyakarta, jelang sholat maghrib, saya terkejut tiba-tiba anak batita
perempuan berdiri dengan polosnya di sisi kiri saya. Di hari yang lain,
anak balita masuk masjid bersama ayahnya. “Dahulukan kaki kanan”, kata
ayahnya sambil menunjuk kaki sang anak.
Pengalaman
sebelumnya, hari jum’at, jalan kaki ke masjid, disalib anak lelaki naik
sepeda dan menyapa. Saya cukup terkejut, karena anak kelas 2 SD
tersebut juga mau ke masjid. Pakai busana koko dan peci. Tiga kejutan
ini, kita wajib bersyukur, ada anak sudah ahli masjid.
Kejutan
keempat, yang bisa membuat kita mengusap dada. Iseng saya tanya ke anak
tetangga depan rumah, anak perempuan klas 5 SD yang masuk siang : “Tadi
sholat subuh pukul berapa?”. Jawabnya santai : “Tidak sholat”.
Penasaran, saya tanya lanjut : “Ibu sholat, bapak sholat?”. Jawaban
jujurnya : “Ibu kadang-kadang sholat, bapak tidak sholat!”.
Yang
membuat saya terkejut sekaligus prihatin karena eyang kakung anak
perempuan tadi dikenal dengan panggilan pak Haji. Terkadang pak Haji
melantunkan bacaan surat/ayat Al-Qur’an, walau suara tua, tetap enak
didengar dan berpahala. Pak Haji sering diundang pada acara tahlilan
atau do’a bersama di rumah tetangga. Bahkan di lingkungan RT jadi
sesepuh atau tetua.
Kambing Hitam
Menyimak
kejutan keempat tadi, bisa terjadi di keluarga kita, jika kita sebagai
orangtua tidak melakukan pendidikan agama sejak dalam kandungan. Sebagai
individu yang memasuki usia wajib sholat, mungkin faktor ajar`dan
sistem panutan kalah oleh lingkungan luar atau pergaulan. Maklum, karena
tinggal di kompleks perumahan, banyak warga yang hidupnya serba
praktis. Untuk pendidikan anak cari lokasi yang bisa dijangkau dengan
jalan kaki. Budaya instan menyebabkan anak lulus SMA lebih pilih
bekerja. Bekerja apa saja, yang penting dengan motor kreditan menambah
penampilan dan gaya.
Atau
karena sudah jadi ciri warga yang tinggal di kompleks perumahan. Bahkan
ada yang menemukan jodoh di tetangga. Ada yang bisa bekerja karena
bantuan tetangga. Soal pendidikan umum, banyak juga yang bisa sampai
alumni dan almamater perguruan tinggi.
Wajar,
jika ada anggota keluarga yang wafat, kita berduka dan merasa
kehilangan. Namun, jika ada anggota keluarga yang meliwati usia wajib
sholat belum menegakkan sholat, apakah kita berduka. Apalagi sampai anak
cucu yang serumah masih belum tergerak untuk melaksanakan rukun Islam.
Pendidikan Agama
Wanita
karir menjadikan anak mandiri serta prospektus, tidak bisa dipungkiri.
Sebagai ibu rumah tangga, tantangan kehidupan keluarga di depan mata
seolah tak ada habisnya. Perjalanan hidup anak tidak bisa kita serahkan
pada nasib. Seorang lelaki wajib mencarikan calon ibu buat anak
keturunan berdasarkan nilai dan ajaran Islam. Memberi nama dan panggilan
anak yang bermakna. Mendidik anak menjadi kewajiban bersama ayah dan
ibunya. Faktor ajar dan sistem panutan dalam keluarga harus tetap
disemarakkan dan lebih antisipatif, karena adanya tantangan dan
rangsangan eksternal liwat media massa; pengaruh lingkungan; gaya hidup,
gaul dan gengsi.
Rumah
tangga dan keluarga sebagai madrasah pertama dan landasan utama
pembentuk akidah anak. Pendidikan agama lebih lanjut bisa juga
diserahkan ke pendidikan santri yang diadakan oleh masjid setempat.
Pendidikan agama tetap berlanjut jika anak memasuki lembaga pendidikan
formal/umum. Pilihan kegiatan di luar bangku sekolah pada kegiatan
sosial, olahraga, keagamaan. [Herwin Nur/wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar