Halaman

Rabu, 11 Desember 2013

Anggota Keluarga Tidak Sholat, Berdukakah Kita?

Humaniora     Dibaca :164 kali , 0 komentar


Anggota Keluarga Tidak Sholat, Berdukakah Kita?

Ditulis : Herwin Nur, 23 Agustus 2013 | 17:43

Kejutan     
Saat sholat tahiyatul masjid di masjid dusun Singosutan, kabupaten Sleman, Yogyakarta, jelang sholat maghrib, saya terkejut tiba-tiba anak batita perempuan berdiri dengan polosnya di sisi kiri saya. Di hari yang lain, anak balita masuk masjid bersama ayahnya. “Dahulukan kaki kanan”, kata ayahnya sambil menunjuk kaki sang anak.

Pengalaman sebelumnya, hari jum’at, jalan kaki ke masjid, disalib anak lelaki naik sepeda dan menyapa. Saya cukup terkejut, karena anak kelas 2 SD tersebut juga mau ke masjid. Pakai busana koko dan peci. Tiga kejutan ini, kita wajib bersyukur, ada anak sudah ahli masjid.

Kejutan keempat, yang bisa membuat kita mengusap dada. Iseng saya tanya ke anak tetangga depan rumah, anak perempuan klas 5 SD yang masuk siang : “Tadi sholat subuh pukul berapa?”. Jawabnya santai : “Tidak sholat”. Penasaran, saya tanya lanjut : “Ibu sholat, bapak sholat?”. Jawaban jujurnya : “Ibu kadang-kadang sholat, bapak tidak sholat!”.

Yang membuat saya terkejut sekaligus prihatin karena eyang kakung anak perempuan tadi dikenal dengan panggilan pak Haji. Terkadang pak Haji melantunkan bacaan surat/ayat Al-Qur’an, walau suara tua, tetap enak didengar dan berpahala. Pak Haji sering diundang pada acara tahlilan atau do’a bersama di rumah tetangga. Bahkan di lingkungan RT jadi sesepuh atau tetua.

Kambing Hitam
Menyimak kejutan keempat tadi, bisa terjadi di keluarga kita, jika kita sebagai orangtua tidak melakukan pendidikan agama sejak dalam kandungan. Sebagai individu yang memasuki usia wajib sholat, mungkin faktor ajar`dan sistem panutan kalah oleh lingkungan luar atau pergaulan. Maklum, karena tinggal di kompleks perumahan, banyak warga yang hidupnya serba praktis. Untuk pendidikan anak cari lokasi yang bisa dijangkau dengan jalan kaki. Budaya instan menyebabkan anak lulus SMA lebih pilih bekerja. Bekerja apa saja, yang penting dengan motor kreditan menambah penampilan dan gaya.

Atau karena sudah jadi ciri warga yang tinggal di kompleks perumahan. Bahkan ada yang menemukan jodoh di tetangga. Ada yang bisa bekerja karena bantuan tetangga. Soal pendidikan umum, banyak juga yang bisa sampai alumni dan almamater perguruan tinggi.

Wajar, jika ada anggota keluarga yang wafat, kita berduka dan merasa kehilangan. Namun, jika ada anggota keluarga yang meliwati usia wajib sholat belum menegakkan sholat, apakah kita berduka. Apalagi sampai anak cucu yang serumah masih belum tergerak untuk melaksanakan rukun Islam.

Pendidikan Agama
Wanita karir menjadikan anak mandiri serta prospektus, tidak bisa dipungkiri. Sebagai ibu rumah tangga, tantangan kehidupan keluarga di depan mata seolah tak ada habisnya. Perjalanan hidup anak tidak bisa kita serahkan pada nasib. Seorang lelaki wajib mencarikan calon ibu buat anak keturunan berdasarkan nilai dan ajaran Islam. Memberi nama dan panggilan anak yang bermakna. Mendidik anak menjadi kewajiban bersama ayah dan ibunya. Faktor ajar dan sistem panutan dalam keluarga harus tetap disemarakkan dan lebih antisipatif, karena adanya tantangan dan rangsangan eksternal liwat media massa; pengaruh lingkungan; gaya hidup, gaul dan gengsi.

Rumah tangga dan keluarga sebagai madrasah pertama dan landasan utama pembentuk akidah anak. Pendidikan agama lebih lanjut bisa juga diserahkan ke pendidikan santri yang diadakan oleh masjid setempat. Pendidikan agama tetap berlanjut jika anak memasuki lembaga pendidikan formal/umum. Pilihan kegiatan di luar bangku sekolah pada kegiatan sosial, olahraga, keagamaan. [Herwin Nur/wasathon.com].




Tidak ada komentar:

Posting Komentar