Humaniora Dibaca :110 kali , 0 komentar
Jalan Kaki Menuju Kuburannya Sendiri
Ditulis : Herwin Nur, 10 September 2013 | 09:29
Dinamika Masyarakat
Orangtua
zaman dulu, ketika menasihati maupun memarahi anaknya dengan berbagai
ungkapan. Tutur kata dan raut muka jauh dari emosi, hasilnya mujarab.
Redaksi nasihat diadop dari kearifan dan budaya lokal.
“Sehebat-hebat
orang, sekaya-kaya orang, kalau mati tak bisa jalan kaki menuju
kuburannya sendiri.” Sederhana, sarat makna dan tafsir, nyaris
filosofis. Perkembangan zaman, kita sudah jarang dengar nasihat semacam
itu. Di sisi kehidupan lain, orang seolah berlomba menggali kuburannya
sendiri.
Islam
sudah mengajarkan dan sangat menganjurkan rasa persaudaraan atau
ukhuwah. Harmonis dalam rumah tangga atau keluarga, kerukunan antar
tetangga, antar warga, antar SARA. Hukum formal sudah menjabarkannya,
hukum adat masih ada yang melestarikannya.
Semangat
kebangsaan diikrarkan sejak Sumpah Pemuda 1928, diperkuat jiwa
kenegaraan Proklamasi 1945 yang melahirkan formula gotong royong dalam
bermasyarakat.
Faktor Panutan
Pendidikan
anak dan perkembangan anak Indonesia mempunyai sejarah tersendiri. Ada
yang besar sebagai anak pembantu. Ada yang cepat dewasa akibat pergaulan
dan lingkungan. Ada anak jalanan karena himpitan ekonomi. Ada anak liar
akibat kurang perhatian orangtua. Tak kurang pemberitaan media massa
adanya anak durhaka, bayi dibuang, pengguguran kandungan ilegal.
Bagaimana
orangtua menyiapkan masa depan anak sudah saatnya disurvei, untuk
menentukan sistem pendidikan. Suami isteri sama-sama mencari nafkah,
merasa kewajiban sebagai orangtua terpenuhi. Banyak keluarga yang merasa
sukses jika anaknya jebolan perguruan tinggi manca negara. Anak
diorbitkan atau dikarbit jadi artis cilik, karena faktor keturunan.
Menjejali anak dengan fasilitas kenikmatan dunia seolah sudah merasa
menjadi orangtua super. Publik figur menjadikan keluarga sebagai obyek
ketenaran, sebagai sarana mendulang rupiah.
Di
era Reformasi, carut marut bernegara bisa berdampak sistemik pada
pranata dan tatanan sosial dalam bermasyarakat. Bagaimana para
penyelenggara negara memamerkan bahwa tidak ada kawan atau sekutu abadi,
sekaligus tidak ada lawan atau seteru dibawa sampai mati, yang ada
adalah kepentingan. Pelayanan publik membuktikan bahwa rakyat dalam
posisi yang membutuhkan, harus mengikuti aturan main birokrasi.
Di
panggung politik, domain kepentingan sangat mempengaruhi berbagai
bentuk hubungan kerjasama, sangat menentukan pasal dan sanksi timbal
balik dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Sistem famili atau
kekerabatan menjadi resep jitu mempertahankan kursi jabatan dan
kekuasaan.
Kembali Ke Agama
Setinggi-tinggi
burung bangau terbang, akan kembali ke kubangan juga. Artinya, sesuai
hakekat tulisan ini, semua makhluk akan saling membutuhkan. Islam
menyuratkan adanya kewajiban kita terhadap Allah dan terhadap sesama
manusia, pada terjemahan [QS An Nisaa’ (4) : 36] : "Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
dan teman sejawat, ibnu sabildan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”
Beda
akidah pun, Islam sudah mengajarkan bagaimana kita dalam menjalin
hubungan sosial. Toleransi dalam bermasyarakat tetap dalam koridor
fitrah keagamaan secara individual.
Singkat
kata, umat Islam jangan menyombongkan dan membanggakan diri,
merasa.mayoritas. Islam menyarankan kita untuk kaya, kuat dan kuasa.
Dengan wajib zakat banyak yang bisa kita hasilkan. Amal harta bisa
melancarkan perjalanan hidup manusia. Hindari perbuatan konyol, entah
karena ikut arus, ikut ajakan kolega, yang kita sadari sebagai awal dan
menjurus seolah kita menggali kubur sendiri [HaeN/wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar