Halaman

Selasa, 03 Desember 2013

Jalan Kaki Menuju Kuburannya Sendiri

Humaniora     Dibaca :110 kali , 0 komentar

Jalan Kaki Menuju Kuburannya Sendiri

Ditulis : Herwin Nur, 10 September 2013 | 09:29
Dinamika Masyarakat
Orangtua zaman dulu, ketika menasihati maupun memarahi anaknya dengan berbagai ungkapan. Tutur kata dan raut muka jauh dari emosi, hasilnya mujarab. Redaksi nasihat diadop dari kearifan dan budaya lokal.

“Sehebat-hebat orang, sekaya-kaya orang, kalau mati tak bisa jalan kaki menuju kuburannya sendiri.” Sederhana, sarat makna dan tafsir, nyaris filosofis. Perkembangan zaman, kita sudah jarang dengar nasihat semacam itu. Di sisi kehidupan lain, orang seolah berlomba menggali kuburannya sendiri.

Islam sudah mengajarkan  dan sangat menganjurkan rasa persaudaraan atau ukhuwah. Harmonis dalam rumah tangga atau keluarga, kerukunan antar tetangga, antar warga, antar SARA. Hukum formal sudah menjabarkannya, hukum adat masih ada yang melestarikannya.

Semangat kebangsaan diikrarkan sejak Sumpah Pemuda 1928, diperkuat  jiwa kenegaraan Proklamasi 1945 yang melahirkan formula  gotong royong dalam bermasyarakat.

Faktor Panutan
Pendidikan anak dan perkembangan anak Indonesia mempunyai sejarah tersendiri. Ada yang besar sebagai anak pembantu. Ada yang cepat dewasa akibat pergaulan dan lingkungan. Ada anak jalanan karena himpitan ekonomi. Ada anak liar akibat kurang perhatian orangtua. Tak kurang pemberitaan media massa adanya anak durhaka, bayi dibuang, pengguguran kandungan ilegal.

Bagaimana orangtua menyiapkan masa depan anak sudah saatnya disurvei, untuk menentukan sistem pendidikan. Suami isteri sama-sama mencari nafkah, merasa kewajiban sebagai orangtua terpenuhi. Banyak keluarga yang merasa sukses jika anaknya jebolan perguruan tinggi manca negara. Anak diorbitkan atau dikarbit jadi artis cilik, karena faktor keturunan. Menjejali anak dengan fasilitas kenikmatan dunia seolah sudah merasa menjadi orangtua super. Publik figur menjadikan keluarga sebagai obyek ketenaran, sebagai sarana mendulang rupiah.

Di era Reformasi, carut marut bernegara bisa berdampak sistemik pada pranata dan tatanan sosial dalam bermasyarakat. Bagaimana para penyelenggara negara memamerkan bahwa tidak ada kawan atau sekutu abadi, sekaligus tidak ada lawan atau seteru dibawa sampai mati, yang ada adalah kepentingan. Pelayanan publik membuktikan bahwa rakyat dalam posisi yang membutuhkan, harus mengikuti aturan main birokrasi.

Di panggung politik, domain kepentingan sangat mempengaruhi berbagai bentuk hubungan kerjasama, sangat menentukan pasal dan sanksi timbal balik dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Sistem famili atau kekerabatan menjadi resep jitu mempertahankan kursi jabatan dan kekuasaan.

Kembali Ke Agama
Setinggi-tinggi burung bangau terbang, akan kembali ke kubangan juga. Artinya, sesuai hakekat tulisan ini, semua makhluk akan saling membutuhkan. Islam menyuratkan adanya kewajiban kita terhadap Allah dan terhadap sesama manusia, pada terjemahan [QS An Nisaa’  (4) : 36] : "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabildan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”

Beda akidah pun, Islam sudah mengajarkan bagaimana kita dalam menjalin hubungan sosial. Toleransi dalam bermasyarakat tetap dalam koridor fitrah keagamaan secara individual.

Singkat kata, umat Islam jangan menyombongkan dan membanggakan diri, merasa.mayoritas. Islam menyarankan kita untuk kaya, kuat dan kuasa. Dengan   wajib zakat banyak yang bisa kita hasilkan. Amal harta bisa melancarkan perjalanan hidup manusia. Hindari perbuatan konyol, entah karena ikut arus, ikut ajakan kolega, yang kita sadari sebagai awal dan menjurus seolah kita menggali kubur sendiri [HaeN/wasathon.com].






Tidak ada komentar:

Posting Komentar