PR
Besar Umat Islam di Tahun Politik 2018 dan 2019
Singkat kata, di atas kertas loyalitas sistem pertahanan
dan keamanan NKRI periode 2014-2019 sudah di bawah satu kendali. Kondisi ini
sebagai prestasi tersendiri atau sesuai skenario istana di akhir 2017. Total
jenderal seolah jalan mulus menuju pemilu legislatif serentak dengan pilpres
2019, sudah bisa diantisipasi sejak dini. Argo konspirasi dan skenario politik
terbuka, bebas berdaya saing, sudah mulai bergulir.
Terang terus bahwasanya sistem pertahanan dan keamanan
NKRI sudah diyakini dalam kondisi kontrak politik. Loyalitas mereka di bawah
satu kendali, yang memang secara konstitusional sang komandan adalah sebagai
atasan langsung.
Ramuan politik penguasa, resultan dari perpaduan,
kolaborasi, kolusi, koalisi antara kepentingan manusia ekonomi supernasional
dengan skenario, kekuatan dari negara besar populasinya.
Di atas kertas, penguasa merasa di atas angin. Semua
jalur, lajur menuju sukses 2019 sudah dirintis seolah menjadi hak milik.
Kesetiaan pihak yang berwajib, berwenang atas tegak dan terjaganya wibawa
negara sudah tidak bisa diabaikan.
Ditunjang dengan loyalitas parpol yang berorientasi pada
nikmat dunia, semakin menjadi merasa digdaya tanpa tanding.
Eksperimen atau rekam jejak politik balas jasa, balas
budi vs balas dendam di pesta demokrasi 2014 akan berlanjut. Seolah pemerintah,
penyelenggara negara, penguasa bak menghitung mundur. Tinggal panen raya. Langkah
prediktif penguasa jelang pesta demokrasi 2019, tidak mulai dari 0 (nol), masuk
pasal legitimit serta konstitusional. Ini keuntungan pejawat, petahana.
Seolah, istana kepresidenan menjadi penentu nasib rakyat
selama periode sedang berlangsung. Berkat ramuan ajaib revolusi mental,
diperkuat obat kuat tradisional dari investor politik, maka istana menjadi
markas politik. Fungsi utamanya adalah memperkuat langkah politik
konstitusional untuk berlanjut ke periode terakhir.
Babakan
kehidupan bermasyarakat maupun persaingan antar petugas partai saat mempraktikkan pasal berbangsa,
bernegara sangat mungkin hukum keseimbangan terjadi.
Contoh
sederhana dengan meliwati proses yang tidak sederhana, yaitu :
Pertama. Musuh rakyat belum tentu menjadi musuh negara.
Jelasnya, perilaku korup – baik yang terkena OTT KPK maupun yang bebas merdeka
sampai ajal tiba – yang menjadi lagu wajib di sebuah negara multipartai. Akankah
tipikor sebagai produk unggulan manusia politik.
Bukan salah jodoh kalau ternyata nyatanya negara ramah
koruptor. Bahkan sangat ramah investor. Ini tidak perlu diuraikan karena masih
berlangsung, épisode demi épisode.
Efek domino ramuan ajaib revolusi mental, menjadikan
kasta masyarakat menengah ke atas semakin berkibar. Masyarakat papan bawah
secara konstitusional diformat dalam sistem pembangunan nasional sebagai warga
kurang beruntung, permanent underslass, uneducated education.
Kedua. Musuh negara belum tentu musuh rakyat. Karena,
konon pihak yang berseberangan dengan penguasa, penyelenggara negara,
pemerintah yang sedang kontrak politik, atau yang masuk radar deteksi sebagai
lawan politik. Rakyat yang buta politik dengan kearifannya maklum bahwasanya
pihak yang semakin jauh dari rakyat berbanding lurus dengan semakin jauh dari
Pancasila.
Pihak yang bertugas melakukan uji asas taat, patuh,
loyal, setia terhadap bagian utama penguasa, sudah dimaklumi isi perut maupun
kandungan jiwa dan rasa.
Terlihat di langit bintang-bintang pajangan.
Berkerlap-kerlip bukan sinar sendiri.
Akhirnya, akumulasi doa rakyat dari pojok, sudut, pelosok
negeri atau dari arah tak terduga, akan . . .
Efek domino, dampak negatif nyata dari sebuah negara
multipartai, sangat terasa. Bahkan pihak yang sedang berkuasapun, seolah sudah
kehilangan jati diri, harga diri, pesona diri. Mereka sudah tak tahu lagi bergelantungan,
berpijak di mana. Tahunya hanya siapa atau pihak mana yang perlu diinjak. Asas bergelantungan
sesuai kiadah perpanjangan tangan.
Wajar, dalam kehidupan di dunia umat Islam tak akan lepas
dari konflik internal. Akibat mulai dari beda mazhab, selisih memahami makna
ayat Al-Qur’an, saling sengketa mengacu dalil sunah Rasulullah sampai daya
religi ybs.
Jadi, selain
akibat faktor eksternal terhadap pembentukan karakter umat Islam, ternyata dari
tataran internal ada sifat turunan yang malah bisa potensial menjadi titik
retak umat secara sistematis. Sifat turunan yang masuk kategori sifat buruk
disebut dengan penyakit umat.
Kondisi ini mungkin saja terjadi pada umat Islam yang
mayoritas di Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Kita simak bahwasanya Rasulullah saw telah memperingatkan:
“Penyakit umat-umat
(lain) akan mengenai umatku, (yaitu) mengingkari nikmat, sombong,
bermegah-megahan, bermusuhan dalam (perkara) dunia, saling membenci, saling
mendengki hingga melampaui batas.” (HR Hakim).
Ironisnya, umat Islam sebagai manusia sosial, seolah
hanya kebagian strata warga negara klas bawah, masuk daftar kasta masyarakat
papan bawah. Umat Islam sebagai manusia ekonomi masih sebatas sebagai penerima
manfaat, pengguna akhir. Bahkan untuk urusan bumbu dapur, nyaris seolah tak
berdaya. Kalau sebagai manusia politik, jati diri sebagai umat Islam dipastikan
melebur dengan kamus dan bahasa politik yang mengutamakan urusan dan perkara
dunia.
Tentunya, umat Islam tak mau hanya sebagai penggembira,
tukang keplok, juru sorak. Juga tak rela diri jika hanya diposisikan sebagai
yang duduk manis di bangku cadangan, menunggu kebaikan hati juragan politik
atau menunggu durian runtuh. Jangan sampai mengikuti dan terperdaya oleh aroma
irama suara dendang dan gendang yang ditabuh penguasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar