PG
merajut benang kusut sejarah kelam
Sederhana saja. PG (partai golkar)
sedang menerima fakta dinamika pergantian antar waktu pucuk pimpinan. Mungkin,
sejalan dengan periode pemerintah yang finish di tahun 2019. Bukan sekedar mau
kembali ke strata seperti era Orde Baru. Mana mungkin.
Menilik tampang petinggi PG yang
gemar nongol di layar kaca terkhususnya, juga tentu tak mengabaikan tayangan di
lain tempat. Sepertinya rakyat melihat jejer wayang dengan aneka watak,
karakter dan semangat revolusi mental.
Bedalah, antara PG di pulau Jawa
dengan yang berada di luar dan bertebaran di Nusantara. Karakter sebagai partai
pemerintah, yang identik dengan Orde Baru, susah luntur.
Asas partai mengambang peninggalan
Orde Baru, menjadikan ada kesan di masyarakat papan bawah. Proyek kuningisasi
pernah menyemarakkan peta politik Nusantara.
Soal PG menjadi pabrik manusia
politik, manusia sosial, manusia ekonomi dengan aneka strata, itulah namanya
politik. Kendati PG termasuk penyubur dinasti politik sampai tingkat pemerintah
yang langsung behubungan dengan penduduk . . . ini kan efek asas”mengambang”.
PG masih diuntungkan dengan ulah
pimpinannya. Semakin oknum ketua umum merapat atau jadi loyalis penguasa maka
semakin membuka kesempatan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya.
Pimpinan PG tingkat kabupaten/kota
yang sebenarnya menjadi penentu nasib dan masa depannya. Karena politik dalam
kondisi tertentu mengakibatkan rakyat yang tetap buta politik tetapi tidak buta
mata hati.
Selama masih ber-ingin tentu banyak
maunya. Setiap pentolan malah banyak maunya. Akumulasinya PG jadi serba mau. Apa-apa
mau. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar