Halaman

Selasa, 19 Desember 2017

PG merajut benang kusut sejarah kelam



PG merajut benang kusut sejarah kelam

Sederhana saja. PG (partai golkar) sedang menerima fakta dinamika pergantian antar waktu pucuk pimpinan. Mungkin, sejalan dengan periode pemerintah yang finish di tahun 2019. Bukan sekedar mau kembali ke strata seperti era Orde Baru. Mana mungkin.

Menilik tampang petinggi PG yang gemar nongol di layar kaca terkhususnya, juga tentu tak mengabaikan tayangan di lain tempat. Sepertinya rakyat melihat jejer wayang dengan aneka watak, karakter dan semangat revolusi mental.

Bedalah, antara PG di pulau Jawa dengan yang berada di luar dan bertebaran di Nusantara. Karakter sebagai partai pemerintah, yang identik dengan Orde Baru, susah luntur.

Asas partai mengambang peninggalan Orde Baru, menjadikan ada kesan di masyarakat papan bawah. Proyek kuningisasi pernah menyemarakkan peta politik Nusantara.

Soal PG menjadi pabrik manusia politik, manusia sosial, manusia ekonomi dengan aneka strata, itulah namanya politik. Kendati PG termasuk penyubur dinasti politik sampai tingkat pemerintah yang langsung behubungan dengan penduduk . . . ini kan efek asas”mengambang”.

PG masih diuntungkan dengan ulah pimpinannya. Semakin oknum ketua umum merapat atau jadi loyalis penguasa maka semakin membuka kesempatan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya.

Pimpinan PG tingkat kabupaten/kota yang sebenarnya menjadi penentu nasib dan masa depannya. Karena politik dalam kondisi tertentu mengakibatkan rakyat yang tetap buta politik tetapi tidak buta mata hati.

Selama masih ber-ingin tentu banyak maunya. Setiap pentolan malah banyak maunya. Akumulasinya PG jadi serba mau. Apa-apa mau. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar