percepatan
tahun politik 2018 dan 2019, tambeng, ndhendheng, vs aleman, geleman
Tentu bukan karena salah bunda
mengandung. Juga bukan salah jika elit parpol, semakin disanak malah
semakin nranyak, nglunjak. Manusia Jawa faham akan paribasan “diwènèhi ati ngrogoh
rempela” alias wis diwènèhi sethithik, malah njaluk kang akèh.
Ironis binti miris, ketika penguasa
yang notabene kawanan parpolis pemenang pesta demokrasi lima tahunan, ketika
menghadapi manusia ekonomi dari negara paling bersahabat, malah siap jadi budak
di negeri sendiri.
Secara awampun langkah politik
penguasa sudah bisa ditebak. Memang penuh dengan ide, gagasan. Tapi gagasannya
berbasis gas-gasan, nggragas. Masih mengandalkan asas balas jasa, balas budi. Tak heran
jika bolo
dupak yang dipilih dipastikan akan mati-matian membela tuannya. Pasang badan
bela juragan, bukan beka negara.
Loyalis penguasa yang memberikan
dukungan moril agar maju lagi di pilpres 2019, bukan sekedar mblusuké urip-urip.
Masih ingatkah kawan akan dua
periode SBY 2004-2009 dan 2009-2014, ada sebentuk parpol yang tak mau masuk
barisan pembantu presiden. Tapi mau jatah ketua MPR. Hebatnta lagi, mereka
ngebet kursi gubernur yang adalah perpanjangan tangan pemerintah. Mereka memposisikan
diri sengai oposisi banci, oposisi setengah hati.
Modal pengalaman duduk manis d
bangku cadangan selama periode SBY, begitu merasa sukses di periode 2014-2019
maka terbitlah presiden senior. Terjadilah pembuktian anak cucu ideologis tak ada
matinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar