ghibah
politik vs dosa politik jariyah
Bangsa pribumi dengan berbasis tepo
sliro, mampu memahami apapun bentuk kejadian akibat ulah segelintir elit
politik. Walau perih hati maupun perih perut serta perih mata, semua diendapkan
tanpa protes.
Bangsa pribumi dengan buta politik
namun jiwa kebangsaan tetap menyala, tanpa komando medoakan agar ketua nasional
barisan wakil rakyat – semacam Ketua DPR sekarang – segera mendapat keadilan
dan pengadilan dari langit atas. Mengandalkan kinerja pihak berwenang, pihak
berwajib, aparat penegak hukum, ibarat menebah buah manggis. Bau busuk walau
dikemas dengan aroma irama politik klas istana, tetap menyebar tanpa bisa
direkayasa.
Bangsa pribumi yang mana dimana
tempat terjadinya sila-sila Pancasila, tak sakit hati kalau hanya diposisikan
sebagai permanent underclass, eneducated people, masyarakat kurang
beruntung atau sebutan lainnya. Menjaga wibawa negara serta demi rangkaian
proses menyejahterakan penguasa maka fungsi rakyat hanya sebatas untuk syarat
memperbanyak utang luar negeri.
Bangsa pribumi tetap loyal kepada
bangsa dan negara, siapapun pihak yang memerintah, penguasa lima tahunan. Siap dijadikan
kambing hitam atau dijadikan tabung reaksi atas berbagai kebijakan pemerintah
di ketahanan pangan.
Bangsa pribumi mampu memilah dan
memilih mana hasutan politik, mana bujukan setan politik. Kendati loyalis ketua
umum sebuah partai politik, penderek setia yang bukan kader parpol, dengan buta
hati menjadikan tindak pikir, tindak
tutur, tindak laku penguasa seolah bak panutan total. Dosa politik akibat sikap
kawanan loyalis menjadikan dosa politik jariyah bagi pencetusnya, pemrakarsa.
Bangsa pribumi dengan etika
berbangsa, bernegara, bermasyarakat tak akan menggunjing atau ghibah apa saja
yang dilakukan oleh komponen penguasa dari unsur partai politik. Jangan sampai
terjadi, segelintir elit politik menumpuk dosa politik, malah rakyat yang masuk
neraka karena gemar ujar ghibah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar