Kembalikan
NKRI Ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Tak salah kalau NKRI defisit
negarawan tetapi sekaligus surplus petugas parpol. Entah ide siapa, tahu-tahu
ideologi nasional Pancasila secara meyakinkan ditinggal dan ditanggalkan.
Parpol berjaya karena mempraktikkan
ramuan berbahan baku ideologi non-Pancasila. Apa saja itu, sudah menjadi
rahasia obrolan di warung kopi. Mampu berkibar karena sebagai perpanjangan
tangan manusia ekonomi yaitu swasta multinasional. Mampu berkacak pinggang
akibat sebagai kaki tangan investor politik mancanegara.
Akibat mempraktikkan ideologi
non-Pancasila, ideologi asing, tak heran apapun bisa terjadi di periode
2014-2019. Tindak pikir, tindak tutur, tindak laku penguasa seolah sudah bisa
memisahkan diri dengan rakyat. Kebijakan nasional semakin nyata adanya
intervensi, campur tangan, komando dari negara paling bersahabat.
Urusan dapur keluarga, ditentukan
oleh pasokan bumbu dapur dari negara ahli meramu, merakit dan menterapkan bahan
alami. Mulai dari cicak kering di dinding sampai ingus semut satu suku.
Skala, kadar, posisi, porporsi,
komposisi ramuan politik apa yang sedang beredar di éra mégatéga ini, apakah
politik kebangsaan, politik kerakyatan, politik nasionalisme, atau politik
pesanan bandar pesta demokrasi 2014. Dampaknya malah membuktikan, hal-hal yang menjadi
musuh rakyat (belum masuk kategori menggerogoti dari dalam), malah menjadi
bagian resmi dari pemerintah. Khususnya dan terutama tindak pidana korupsi
(tipikor).
Lantas apa yang disebut dengan musuh
negara?
Mulai dari ibukota NKRI, sudah
disediakan tanah untuk pendatang haram. Salah kawan, ingat akan perubahan
ketiga UUD NRI 1945, yang mana Pasal 6 setelah dirubah menjadi :
Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon
Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak
pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pilkada serentak 2018 yang
melibatkan provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak sekedar laga
politik antar parpol. Tapi sepertinya sudah sebagai ajang unjuk gigi para
bandar politik internasional.
Biaya politik tampaknya bukan
masalah pada beberapa bakal calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Bukan sekedar
petahana, pejawat yang mau lanjut ke periode kedua/terakhir.
Oknum yang menerapkan pola Jokowi
yaitu tinggal
glanggang colong playu. Kendati dengan versi cetak yang
berbeda. Diyakini akan meng-copas modus operandi politik penguasa 2014-2019. Bahkan
lebih beradab atau biadab, lihat di kamus politik ybs.
Memang kawan, untuk meraih sukses
politik dengan balutan konstitusional harus dan wajib menerapkan pasal serba mégatéga.
Saling libas, saling libas, saling libas. Apa guna Pancasila . . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar