Halaman

Minggu, 03 Desember 2017

Kembalikan NKRI Ke Pangkuan Ibu Pertiwi



Kembalikan NKRI Ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Tak salah kalau NKRI defisit negarawan tetapi sekaligus surplus petugas parpol. Entah ide siapa, tahu-tahu ideologi nasional Pancasila secara meyakinkan ditinggal dan ditanggalkan.

Parpol berjaya karena mempraktikkan ramuan berbahan baku ideologi non-Pancasila. Apa saja itu, sudah menjadi rahasia obrolan di warung kopi. Mampu berkibar karena sebagai perpanjangan tangan manusia ekonomi yaitu swasta multinasional. Mampu berkacak pinggang akibat sebagai kaki tangan investor politik mancanegara.

Akibat mempraktikkan ideologi non-Pancasila, ideologi asing, tak heran apapun bisa terjadi di periode 2014-2019. Tindak pikir, tindak tutur, tindak laku penguasa seolah sudah bisa memisahkan diri dengan rakyat. Kebijakan nasional semakin nyata adanya intervensi, campur tangan, komando dari negara paling bersahabat.

Urusan dapur keluarga, ditentukan oleh pasokan bumbu dapur dari negara  ahli meramu, merakit dan menterapkan bahan alami. Mulai dari cicak kering di dinding sampai ingus semut satu suku.

Skala, kadar, posisi, porporsi, komposisi ramuan politik apa yang sedang beredar di éra mégatéga ini, apakah politik kebangsaan, politik kerakyatan, politik nasionalisme, atau politik pesanan bandar pesta demokrasi 2014. Dampaknya malah membuktikan, hal-hal yang menjadi musuh rakyat (belum masuk kategori menggerogoti dari dalam), malah menjadi bagian resmi dari pemerintah. Khususnya dan terutama tindak pidana korupsi (tipikor).

Lantas apa yang disebut dengan musuh negara?

Mulai dari ibukota NKRI, sudah disediakan tanah untuk pendatang haram. Salah kawan, ingat akan perubahan ketiga UUD NRI 1945, yang mana Pasal 6 setelah dirubah menjadi :

Pasal 6
(1)   Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2)   Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pilkada serentak 2018 yang melibatkan provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak sekedar laga politik antar parpol. Tapi sepertinya sudah sebagai ajang unjuk gigi para bandar politik internasional.

Biaya politik tampaknya bukan masalah pada beberapa bakal calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Bukan sekedar petahana, pejawat yang mau lanjut ke periode kedua/terakhir.

Oknum yang menerapkan pola Jokowi yaitu tinggal glanggang colong playu. Kendati dengan versi cetak yang berbeda. Diyakini akan meng-copas modus operandi politik penguasa 2014-2019. Bahkan lebih beradab atau biadab, lihat di kamus politik ybs.

Memang kawan, untuk meraih sukses politik dengan balutan konstitusional harus dan wajib menerapkan pasal serba mégatéga. Saling libas, saling libas, saling libas. Apa guna Pancasila . . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar