Halaman

Selasa, 12 Desember 2017

Indonesia di antara haus /lapar dan bersamaan kebelet ke belakang



Indonesia di antara haus /lapar dan bersamaan kebelet ke belakang

Wallahu a’lam. Banyak sejarah, babad, kisah, hikayat, riwayat, cerita yang beredar resmi di kalangan masyarakat secara turun-temurun. Episode demi épisode.  

Bagi generasi bangsa karena faktor “U” atau umur, usia, kenal dengan dongeng sebelum bobo, sebagai pengantar tidur. Zaman sekarang, zaman digital maka ujaran orangtua pengantar tidur anak batita sudah malah tinggal “dongeng”. Akhirnya Indonesia menjadi negara atau negeri dongeng.

Zaman sekarang, banyak oknum anak bangsa, putera-peteri asli daerah minat dengan sejarah diri sendiri. Rekam jejak pengabdian kepada bangsa, negara, tanah air  secara total. Namun dengan syarat sesuai motto : ing ngarso mumpung kuwoso njur adigang, adigung, adiguna.

Berkat perjuangan kakek-nenek moyangnya, mengandalkan nama besar leluhurnya, mengatasnamakan jasa besar, cucuran keringat dan darah leluhurnya, akhirnya dengan modus, manuver bak sistem féodalisme.

Efek domino, dampak negative nyata dari sebuah negara multipartai, sangat terasa. Bahkan pihak yang sedang berkuasapun, seolaj sudah kehilangan jati diri, harga diri. Mereka sudah tak tahu lagi berpijak di mana. Tahunya hanya siapa atau pihak mana yang perlu diinjak.

Ayo kawan buka KBBI versi yang ada, simak laman :
fabel n Sas cerita yg menggambarkan watak dan budi manusia yg pelakunya diperankan oleh binatang, biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti.

Terbuktikan. Selain kilas balik di atas. Tapi kalau épisode Buaya vs Cicak, apa kata dunia.

Paling runyam, pemerintah akan menindak pelaku ujaran kebencian sekaligus melindungi sang penista agama. Akankah tipikor sebagai produk unggulan manusia politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar