Indonesia
di antara haus /lapar dan bersamaan kebelet ke belakang
Wallahu a’lam. Banyak sejarah, babad, kisah,
hikayat, riwayat, cerita yang beredar resmi di kalangan masyarakat secara
turun-temurun. Episode demi épisode.
Bagi generasi bangsa karena faktor “U”
atau umur, usia, kenal dengan dongeng sebelum bobo, sebagai pengantar tidur. Zaman
sekarang, zaman digital maka ujaran orangtua pengantar tidur anak batita sudah
malah tinggal “dongeng”. Akhirnya Indonesia menjadi negara atau negeri dongeng.
Zaman sekarang, banyak oknum anak
bangsa, putera-peteri asli daerah minat dengan sejarah diri sendiri. Rekam jejak
pengabdian kepada bangsa, negara, tanah air secara total. Namun dengan syarat sesuai motto
: ing ngarso
mumpung kuwoso njur adigang, adigung, adiguna.
Berkat perjuangan kakek-nenek
moyangnya, mengandalkan nama besar leluhurnya, mengatasnamakan jasa besar, cucuran
keringat dan darah leluhurnya, akhirnya dengan modus, manuver bak sistem féodalisme.
Efek domino, dampak negative nyata
dari sebuah negara multipartai, sangat terasa. Bahkan pihak yang sedang
berkuasapun, seolaj sudah kehilangan jati diri, harga diri. Mereka sudah tak
tahu lagi berpijak di mana. Tahunya hanya siapa atau pihak mana yang perlu
diinjak.
Ayo kawan buka KBBI versi yang ada,
simak laman :
fabel n Sas cerita yg
menggambarkan watak dan budi manusia yg pelakunya diperankan oleh binatang,
biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti.
Terbuktikan. Selain kilas balik di
atas. Tapi kalau épisode Buaya vs Cicak, apa kata dunia.
Paling runyam, pemerintah akan
menindak pelaku ujaran kebencian sekaligus melindungi sang penista agama. Akankah
tipikor sebagai produk unggulan manusia politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar