gonjang-ganjing
éra mégatéga, aktor intelèktual vs Rp penggerak
Gerimis, hujan, bahkan banjir pun
terkadang tak mampu menyatukan masyarakat. Predikat BMKG (banjir, macet,
kebakaran, gusur) yang merupakan karakter ibukota NKRI, bukannya menjadikan
gubernur Jakarta saat itu untuk mawas diri. Malah menyalahkan pihak pemerintah
c.q Kementerian PU.
Berkat karakter leluhur, maka ujar kebencian
berupa penistaan agama meluncur bebas dari mulut sang gubernur, terjadilah
kebangkitan nasionalisme. Minimal semangat ikhuwah umat Islam terusik. Berbagai
gerakan turun ke jalan sebagai aksi protes.
Sang gubernur adem-ayem karena bagian
integral dari penguasa tunggal, penyelenggara negara. Bahkan sebagai
perpanjangan tangan manusia ekonomi, investor politik negara sponsor makar PKI.
Ironis binti miris, di periode 2014-2019,
antara mana musuh rakyat dengan musuh negara, hanya beda tipis. Artinya antara
skneario istana bisa bertolak belakang dengan suara rakyat.
Demi wibawa negara, maka NKRI
menjadi serba mégatéga terhadap lawan politik bangsa sendiri. Sekaligus membuka
diri dan siap dijajah oleh produk dan ideologi asing. Biaya politik menjadikan
penguasa yang akan berlanjut ke periode terakhir, rawan, riskan, rentan terhadap
intervensi manusia ekonomi multinasional maupun investor politik mancanegara.
Umat Islam diharapkan selalu
proaktif sejak dini. Cerdas ideologi dalam membaca perubahan zaman. Karena kerikil
kecil orang bisa tergelincir. Bukan berarti harus menunggu batu sandungan. Menanti
durian tuntuh baru bertindak.
Umat Islam harus mampu mendeteksi
aksi pihak tertentu yang secara ramah merangkul tetapi untuk memukul,
mendengkul. Apalagi ada pihak yang kuasa, kuat, kaya dengan asas main gebug
duluan, rembug belakangan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar