Éra mégatéga,
Indonesia kebal bencana politik dan mégakorupsi
Tidak perlu buruk rupa, cermin
tetangga dijual. Sudah kehendak sejarah, bahwasanya barangsiapa di éra mégatéga ini lupa
daratan. Maka rumputlah yang tumbuh subur. Soal rumput asing yang marak dan
jadi primadona.
Kalau ada kejadian seolah di luar
jangkauan skenario, bukan kejadian luar biasa. Kendati masuk kategori bencana
alam. Muncul asas praduga tak bersalah yaitu jangan-jangan pelakunya orang
dalam. Minimal orang dalam sebagai informan, sumber informasi terpercaya.
Tindak laku konco déwé, bolo déwé,
yang membuat peta petujuk, yang main, eskekutor, pelaku aktif adalah orang luar
atau pihak yang dipercaya. Padahal nyata terpercaya bahwa loyalis penguasa
tentu ada
udang di balik batu.
Jangan asal asal-asalan membuat
skenario tandingan, waalu dengan bumbu nasionalisme. Menganalisa sebab-musabab,
asal-muasal sebuah bencana politik plus tindak konstitusional mégakorupsi, sudah layak dianggap masuk pasal berbuat tidak
menyenangkan pihak atau sang penguasa. Salah-salah malah dituduh menyusun skenario
makar kebencian.
Ironis binti miris, kalau keluguan
rakyat berbanding terbalik dengan kebebalan penguasa. Kata KBBI, lema bebal a sukar mengerti; tidak
cepat menanggapi sesuatu atau tidak tajam pikiran; bodoh; kebebalan n kebodohan.
Jadi, ujar ki dalang Sobopawon,
memang lidah tak bertulang. Kalau sudah jangan diulang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar