Halaman

Jumat, 29 Desember 2017

cinta tanah air vs bela negara



cinta tanah air vs bela negara

Spontanitas hati kecil kita mengatakan bahwa judul di atas adalah program pemerintah. Agak diciutkan, adalah bahasa pembangunan nasional yang mengakomodir bahasa politik. Bisa saja dari bahan kampanye saat pemilu, pilpres maupun pilkada.

Bagi penduduk, rakyat, masyarakat – apalagi dimana yang mana sebagai sumber sila-silanya Pancasila   menu harian yang mungkin tidak membangkitkan selera. Ternyata, nyatanya, nyata sekali bahwa anak bangsa yang hak ideologinya hanya dihargai pada hak pilihnya saja. 5 menit saat coblosan dan menentukan nasib bangsa dan negara 5 tahun ke depan.

Anak bangsa dimaksud tentu tak tahu apa itu rumusan ilmiah dari ‘cinta tanah air’ dan ‘bela negara’. Mereka juga tak tahu kalau sudah mempraktikkan sila-sila Pancasila.

Mulai dari petik sayur yang tumbuh di halaman atau di lahan “tak bertuan” sampai bersih-bersih rumah jangan sampai kemasukan “unsur asing” yang mengganggu kesehatan.

Kata ahlinya, apa hubungan sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia dengan ‘cinta tanah air’ dan ‘bela negara’.

Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan arus masuk orang asing. Untuk urusan dapur saja, semisal garam, daya ketahanan pangan dipertaruhkan. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing secara menerus dan berkelanjutan. Karhutla menjadi menu politik. Siapa yang wajib bertanggung jawab!

Rakyat bersyukur sebagai pihak yang tidak bisa berhubungan dengan pihak asing.  Kecuali bisa berkominukasi dengan turis mancanegara yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Jangan diartikan dengan berbodongnya tenaga kerja asing akibat efek domino masyarakat ekonomi ASEAN. Atau dampak perdaganagn bebas dunia. Khususnya karena Indonesia ramah investor.

Orang asing tersebut pada hakikatnya mempunyai niat dan tujuan serta keperluan, kepentingan, kebutuhan beraneka ragam. Sebagai tamu yang tak diundang sampai menjadi tamu kehormatan presiden.  Dengan dalih untuk berwisata, berniaga, kunjungan kerja, tengok lelihir dan keluarga, menjadi bagian kerja sama antar pemerintah serta dan ada pula yang hanya iseng transit.

Saat rakyat bergelut, bergumul, berkubang dengan nasibnya yang mempraktikkan ekonomi sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang tembolok sarat rezeki buat anaknya, maka kawanan parpolis mulai tingkat daerah (bahkan tingkat kelurahan/desa), sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat maupun ketua/kepala rakyat, sibuk menumpuk warisan dunia, warisan dari anak cucunya.

Artinya, diharapkan agar rakyat bersikap acuh, bertindak pasif, tak mau tahu terhadap kejadian nyata di depan mata. Rakyat diharapkan menghindarkan diri dari stigma ‘pahlawan kesiangan’.

Jadi, apapun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan tangung jawab rakyat. Rakyat diposisikan sebagai penonton, dilarang ber-reaksi separah dan sepatah katapun, dengan tangan tengadah ke atas tetapi bukan untuk berdoa. Namanya penguasa artinya berkuasa menentukan nasib dan masa depan rakyat. Penguasa koq dilawan., masuk pasal makar. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar