PON
regenerasi atlet vs pemilu penyepuhan politisi
Bedanya antara lain,
Pekan OlahragaNasional (PON) diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Pemilu setiap
5 tahun sekali. PON mencari atlet baru, berbakat dan menerus. Pembinaan atlet
bisa sejak dini. Tetapi juga karena faktor ajar di keluarga. Lungkungan mampu
memicu dan memacu bakat terpendam olahragawan. Masalahnya, hanya cabang
olahraga yang menjanjikan masa depan yang dominan peminatnya.
Pemilu atau pesta
demokrasi sebagai hajat nasional berlabel pemilihan umum legislatif dan
pemilihan umum presiden, didominasi wajah lama. Syarat pengalaman sangat
menentukan partisipasi. Kita tidak tahu seberapa sedikit pemain, pekerja,
petugas, pelaku, pegiat partai yang berbakat, cuma kurang publikasi malah redup
sebelum berkilau.
Setiap jelang pemilu
maupun pilkada, banyak kader tiban muncul. Dipoles mendadak, ditopang menang
merek, jadilah sebagai penyelenggara negara. Banyak jalan pintas sukses di
syahwat politik. Tidak betah antri, gengsi ikut ikut ajang pencarian bakat, tidak
mau merintis dari bawah – asal punya “modal” – bisa laju berkibar. Mungkin saja
malah mendirikan partai politik.
Atlet berani
berkeringat untuk bisa ikut laga, mulai ambang atau kompetisi dasar. Kawanan parpolis
baru bekeringat setelah pesta demokrasi selesai. Apakah tersandung mahar
politik yang mencekik karena kalah suara, atau malah belum jatuh tempo
tersandung pasal tipikor.
Atlet di panggung
politik, tampak gemilang karena mana emas mana Loyang. Mana emas, mana sepuhan
emas. Tak heran, atlet politik yang sepuh padahal berkadar Loyang. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar