Halaman

Jumat, 21 Oktober 2016

dua tahun Jokowi-JK menuju dua periode



dua tahun Jokowi-JK menuju dua periode

Gaya JK saat jadi wapres di 2004-2009, yang merasa bisa lebih cepat, pokoknya merasa serba lebih. Yakin diri ini  dengan membuktikan dirinya layak jadi presiden. Ikut pilpres 2009. Pemilu 2009 menyambut kehadiran JK yang bersaing dengan SBY, dengan berbagai versi. Kita tidak lupa terjadinya bencana administrasi dengan adegam kisruh DPT.  Hak-hak politik rakyat diperdagangkan atau direkayasa dengan berbagai modus operandi.

Munculnya JK sebagai pendamping Jokowi di pilpres 2014 memunculkan berbagai asumsi politik. Asumsi sederhana dan dirasakan oleh rakyat kebanyakan, jangan-jangan JK malah menjadi beban negara, beban politik Nasional. Ibarat pepatah Jawa : “Kebo gegeden weteng”. Arti bahasanya “kerbau kebesaran perut”. Secara hukum ekonomi, porsi makan sang kerbau jauh di atas rata-rata nasional.

Terbukti, pemerintah 2014-2019 yang tidak identik dengan Jokowi-JK kebijakan ketahanan pangan menjadi dilematis. Perut rakyat menjadi tabung reaksi. Kebijakan tata niaga mengalami bongkar pasang, mempraktikkan resep kanibalisme. Kalau dikaji secara jujur, berbagai kebijakan ekonomi dinilai memerankan perang saudara antara tangan kanan dengan tangan kiri.

Media massa menjadi ajang pencitraan Jokowi-JK. Ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai koalisi penjilat dan pihak lawan mendaulat dirinya dengan sebagai koalisi penghujat. Bayangkan, prestasi setahun 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2015 mampu mengungguli kinerja pemerintah dua periode sebelumnya. Dengan kata lain keterbatasan akal sang penjilat, malah memblusukan Jokowi agar cukup setahun saja jadi presiden.

Sebagai rakyat, untuk menilai bagaimana kinerja Jokowi-JK, jangan seperti meludah ke langit, terpercik wajah sendiri. Ada pakemnya, ada aturan mainnya. Ikhwal ini, yaitu bahwasanya Joko Widodo mengandalkan primbon politiknya. Ada perhitungan yang menentukan ada hari baik, hari hoki, hari keberuntungan. Langkah politis Jokowi berbasis asas weton atau faktor penentu lainnya.

Sayangnya, fakta pangan lokal Nusantara lebih sehat, menyehatkan dan cocok dengan perut rakyat, tidak diacu dengan bijak. Apalagi menjadi kebijakan nasional menggalakan dan memanfaatkan produk lokal. Kondisi ini yang menjadikan atau karena efek JK. Mau tak mau akan mempengaruhi kadar ideologi rakyat. Arinya, walau memang betul negara sibuk agar dapur negara tetap berasap. Jangan biarkan dapur keluarga, dapur rakyat kebanyakan berasapnya senin-kamis. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar