dua tahun Jokowi-JK menuju dua periode
Gaya JK saat jadi wapres
di 2004-2009, yang merasa bisa lebih cepat, pokoknya merasa serba lebih. Yakin diri
ini dengan membuktikan dirinya layak
jadi presiden. Ikut pilpres 2009. Pemilu 2009 menyambut kehadiran JK yang
bersaing dengan SBY, dengan berbagai versi. Kita tidak lupa terjadinya bencana
administrasi dengan adegam kisruh DPT. Hak-hak
politik rakyat diperdagangkan atau direkayasa dengan berbagai modus operandi.
Munculnya JK sebagai
pendamping Jokowi di pilpres 2014 memunculkan berbagai asumsi politik. Asumsi sederhana
dan dirasakan oleh rakyat kebanyakan, jangan-jangan JK malah menjadi beban
negara, beban politik Nasional. Ibarat pepatah Jawa : “Kebo gegeden weteng”. Arti bahasanya “kerbau kebesaran perut”. Secara hukum
ekonomi, porsi makan sang kerbau jauh di atas rata-rata nasional.
Terbukti, pemerintah
2014-2019 – yang tidak identik dengan
Jokowi-JK – kebijakan ketahanan
pangan menjadi dilematis. Perut rakyat menjadi tabung reaksi. Kebijakan tata
niaga mengalami bongkar pasang, mempraktikkan resep kanibalisme. Kalau dikaji
secara jujur, berbagai kebijakan ekonomi dinilai memerankan perang saudara
antara tangan kanan dengan tangan kiri.
Media massa menjadi
ajang pencitraan Jokowi-JK. Ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai koalisi
penjilat dan pihak lawan mendaulat dirinya dengan sebagai koalisi penghujat. Bayangkan,
prestasi setahun 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2015 mampu mengungguli kinerja
pemerintah dua periode sebelumnya. Dengan kata lain keterbatasan akal sang
penjilat, malah memblusukan Jokowi agar cukup setahun saja jadi presiden.
Sebagai rakyat, untuk
menilai bagaimana kinerja Jokowi-JK, jangan seperti meludah ke langit,
terpercik wajah sendiri. Ada pakemnya, ada aturan mainnya. Ikhwal ini, yaitu
bahwasanya Joko Widodo mengandalkan primbon politiknya. Ada perhitungan yang menentukan
ada hari baik, hari hoki, hari keberuntungan. Langkah politis Jokowi berbasis
asas weton atau faktor penentu lainnya.
Sayangnya, fakta pangan
lokal Nusantara lebih sehat, menyehatkan dan cocok dengan perut rakyat, tidak
diacu dengan bijak. Apalagi menjadi kebijakan nasional menggalakan dan
memanfaatkan produk lokal. Kondisi ini yang menjadikan atau karena efek JK. Mau
tak mau akan mempengaruhi kadar ideologi rakyat. Arinya, walau memang betul
negara sibuk agar dapur negara tetap berasap. Jangan biarkan dapur keluarga,
dapur rakyat kebanyakan berasapnya senin-kamis. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar