Perkuat Tanah Papua Sebagai Gerbang Timur Indonesia
RPJMN 2015-2019 menyebutkan provinsi Papua dan provinsi Papua Barat, masuk
kawasan Indonesia timur Indonesia, berdasarkan enam kriteria utama yaitu ekonomi,
sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah, aksesibilitas
dan karakteristik daerah, ditetapkan sebagai daerah tertinggal.
Posisi dan konstelasi geografis pulau Papua
di ujung timur Indonesia serta masuk rumpun atau ras Melanesia, menjadikannya
rawan, rentan dan riskan dari campur tangan, intervensi asing, khususnya negara
tetangga. Tak heran, Papua bisa luput dari pengamatan pemerintah yang berpusat
di Jakarta. Kondisi ini memang selalu dimanfaatkan oleh negara asing, baik oleh
negara adidaya maupun negara tetangga. Jika terjadi intervensi politis enam
negara di wilayah Pasifik yaitu Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan
Marshal, Tuvalu, dan Tonga mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM),
bukan barang baru.
Ironisnya, kegiatan penambangan di kabupaten
Mimika, provinsi Papua luput dari pengendusan pihak asing. Negara asing tidak
pernah ada yang mempersoalkannya. Semua negara terkait dengan “perampokan di
siang bolong” ini sudah tahu sama tahu. Sepakat untuk tidak memperkarakan
sampai PBB. Bahkan PBB diam-diam merestui kegiatan ini.
Indonesia bisa kebobolan siang malam atas
kasus dalam negeri, yang oleh pihak asing serta merta dikaitkan dengan HAM ,
menjadi sasaran empuk. Indonesia menjadi incaran dan sasaran tembak. Selain perkuatan
politik luar negeri, sistem diplomasi, tak kurang pentingnya adalah kebijakan
pemerintah berupa otonomi khusus, percepatan pembangunan, kawasan strategis
nasional lebih dinyatakan.
Kalau perlu para pejuang politik diajak
langsung membangun tanah Papua. Menjadi transmigran. Langsung berkiprah, berkontribusi
dan berkarya nyata, tidak hanya berjubel di pulau Jawa. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar