Halaman

Kamis, 06 Oktober 2016

menulis dan mengembarakan daya imajinasi



menulis dan mengembarakan daya imajinasi

Semua kegiatan, pekerjaan, aktivitas, apalagi ibadah, diawali dari dan dengan niat. Praktik menulis diawali dengan membaca. Membaca pikiran diri sendiri sampai membaca ayat kauniyah. Membaca kata hati ketika disinerjikan dengan membaca fenomena alam, kita tak akan kehabisan kata-kata. Membaca apa yang sedang terjadi di sekeliling dan dalam kehidupan pribadi, kita tak akan kehilangan akal untuk merangkai kata-kata. Memang tak semudah menghidupkan daya imajinasi.

Menulis perlu kadar reliji yang tepat takaran. Jika ada orang yang yakin akan kandungan tulisan, mempraktikkannya dan itu masuk dampak ranah dosa, maka dosa si pelaku bisa dibebankan kepada sang inspirator. Karena sifatnya tulisan – bukan perbuatan – masih ada pasal yang meringankan. Artinya, kalau kita berguru, jangan hanya kesatu guru saja. Bisa dilakukan secara paralel atau satu persatu.

Menulis dibutuhkan seperangkat keberanian. Keberanian untuk lepas dari serba merasa, padahal kita bak katak di bawah tempurung. Keberanian menerobos tempurung atau batas imajiner yang membelenggu angan-angan, khayalan, fantasi. Kaki tetap menapak ke bumi, berpijak pada asas fakta yang aktual. Berdayakan panca indra menyerap sekaligus menyaring informasi yang berseliweran di alam raya, tata surya. Tak perlu merantau jau-jauh menembus batas langit. Inspirasi yang prospektus karena kita mendengar berita dari langit melalui ayat qauliyah.

Ayat qouliyah adalah kalam Allah berupa Al-Qur’an, yang juga menyiratkan bagaimana membuat bahasa tulis yang yang sederhana tetapi melalui proses yang tidak sederhana. Karya tulis merupakan produk berbasis jiwa yang sehat. Menterjemahkan kata hati, bisikan hati, isi hati membutuhkan kecerdasan di atas rata-rata. Tak heran, jika orang bisa menulis, mengalami kesusahan untuk bicara. Tapi kalau otrang yang pernah menulis, jika diajak berdebat tak akan kehilangan akal dan nuraninya. Kok bisa?

Saya yang pernah menulis, terbentuk sebagai pendengar yang baik. Acap lawan bicara sampai kehabisan bekal kata, tetap tidak saya tanggapi. Karena, substansi dan tata bahasanya belum menyentuh radar hati saya. Masih sebagai pembuka, pemanasan lokal. Sebaliknya, jika saya mulai menanggapi ucap maupun cuap lawan bicara, ibarat mesin diesel.

Memasuki kuadran tahu banyak – ngomong banyak, walau masih memakai tata karma, jangan coba-coba ajak baku mulut utawa debat. Apalagi jika lawan bicara modalnya omong doing. Semakin ditanggapi (dalam arti disanjung, dibombong) malah tak karuan arah bicaranya. Ini yang dinamakan si lawan bicara secara sadar diri pamer bego. Yang semula ingin bertutur banyak, menguasai pembicaraan, malah jadi bomerang bagi dirinya. Malah menelanjangi diri sendiri dengan ke-aku-annya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar