menulis dan mengembarakan daya imajinasi
Semua kegiatan,
pekerjaan, aktivitas, apalagi ibadah, diawali dari dan dengan niat. Praktik menulis
diawali dengan membaca. Membaca pikiran diri sendiri sampai membaca ayat kauniyah.
Membaca kata hati ketika disinerjikan dengan membaca fenomena alam, kita tak
akan kehabisan kata-kata. Membaca apa yang sedang terjadi di sekeliling dan
dalam kehidupan pribadi, kita tak akan kehilangan akal untuk merangkai
kata-kata. Memang tak semudah menghidupkan daya imajinasi.
Menulis perlu kadar
reliji yang tepat takaran. Jika ada orang yang yakin akan kandungan tulisan,
mempraktikkannya dan itu masuk dampak ranah dosa, maka dosa si pelaku bisa
dibebankan kepada sang inspirator. Karena sifatnya tulisan – bukan perbuatan –
masih ada pasal yang meringankan. Artinya, kalau kita berguru, jangan hanya
kesatu guru saja. Bisa dilakukan secara paralel atau satu persatu.
Menulis dibutuhkan
seperangkat keberanian. Keberanian untuk lepas dari serba merasa, padahal kita
bak katak di bawah tempurung. Keberanian menerobos tempurung atau batas
imajiner yang membelenggu angan-angan, khayalan, fantasi. Kaki tetap menapak ke
bumi, berpijak pada asas fakta yang aktual. Berdayakan panca indra menyerap
sekaligus menyaring informasi yang berseliweran di alam raya, tata surya. Tak perlu
merantau jau-jauh menembus batas langit. Inspirasi yang prospektus karena kita
mendengar berita dari langit melalui ayat qauliyah.
Ayat qouliyah adalah kalam Allah berupa Al-Qur’an, yang juga menyiratkan
bagaimana membuat bahasa tulis yang yang sederhana tetapi melalui proses yang
tidak sederhana. Karya tulis merupakan produk berbasis jiwa yang sehat. Menterjemahkan
kata hati, bisikan hati, isi hati membutuhkan kecerdasan di atas rata-rata. Tak
heran, jika orang bisa menulis, mengalami kesusahan untuk bicara. Tapi kalau
otrang yang pernah menulis, jika diajak berdebat tak akan kehilangan akal dan
nuraninya. Kok bisa?
Saya yang pernah menulis, terbentuk sebagai pendengar yang baik. Acap lawan
bicara sampai kehabisan bekal kata, tetap tidak saya tanggapi. Karena,
substansi dan tata bahasanya belum menyentuh radar hati saya. Masih sebagai
pembuka, pemanasan lokal. Sebaliknya, jika saya mulai menanggapi ucap maupun
cuap lawan bicara, ibarat mesin diesel.
Memasuki kuadran tahu banyak – ngomong banyak, walau masih memakai tata karma,
jangan coba-coba ajak baku mulut utawa debat. Apalagi jika lawan bicara modalnya
omong doing. Semakin ditanggapi (dalam arti disanjung, dibombong) malah tak
karuan arah bicaranya. Ini yang dinamakan si lawan bicara secara sadar diri
pamer bego. Yang semula ingin bertutur banyak, menguasai pembicaraan, malah
jadi bomerang bagi dirinya. Malah menelanjangi diri sendiri dengan
ke-aku-annya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar